Analisa Anda, mengapa dibiarkan?
Ada banyak faktor, di antaranya faktor politik. Orang memanfaatka isu radikalisme dan SARA sebagai jualan. Misal di Jawa Timur orang kalau tidak memihak kelompok mayoritas, mereka akan dikucilkan. Ada asusmsi, yang tidak toleran itu adalah kelompok mayoritas.
Padahal kelompok itu mayoritas. Karena nyatanya nggak pada peduli tuh kebanyakan orang.
Di kasus lain, para pejabat di Jawa Timur beranggapan kalau Sunni adalah mayoritas dan Syiah adalah minoritas. Kalau menekan syiah, maka akan menang dalam pemilu. Padahal masyarakat nggak tahu itu, dan tidak peduli juga. Maka pejabat politik itu menggunakan tokoh muslim yang suaranya vokal untuk menyuarakan.
Kasus lain juga, FPI. FPI juga bukan mayoritas. Mereka itu minoritas yang suaranya riuh atau yang kita sebut noisy minority. Dia ini bisa mempengaruhi petugas keamanan, pempengaruhi anggapan masyarakat.
Faktor lain, faktor ekonomi. Biasa terjadi di daerah. Misal peristiwa di Sunnni-Syiah di Sampang, Madura. Di sana ada ulama-ulama yang dapat bantuan uang dari yayasan di Surabaya untuk menyerang Syiah. Demi mendapatkan uang itu, mereka ikut memusuhi Syiah. Di Sampang juga ada kawasan pengeboran minyak dan gas di lepas pantai Camplong. Jadi pemerintah menilai sebelum itu, lebih baik disingkirkan dulu supaya tidak terjadi pengusiran. Jadi semua orang di sana dianggap syiah atau disyiahkan saja. Sebab pengungsi yang ada di Sidoarjo itu tidak semua warga Syiah, Sunni juga banyak.
Selain itu ada faktor geo politik internasional. Saat ini Arab Saudi tengah menyerang Yaman. Yaman, secara kultural dekat dengan Indonesia. Yaman itu negara kecil yang sedang diserang Arab Saudi dan sekutunya.
Di sisi lain dahulu Indonesia ‘diislamkan’ oleh orang Yaman. Habib-habib itu datang dari Yaman. Semesatinya Indonesia ini membantu. Tapi diplomasi dari Arab Saudi dengan model diplomasi cash. Saudi memberikan uang ke beberapa tokoh Islam. Padahal politik Indonesia bebas dan aktif. Tapi semua itu dilanggar.
Anda perlu ketahui, Saudi menganut mazhab negaranya yang anti toleransi, itulah yang mengilhami ISIS. ISIS itu lahir di Saudi, mereka juga yang betuk. Dan mereka juga yang melawan. Persamaan ISIS dengan Saudi itu adalah paham wahabisme. Wahabisme itu anti toleransi. Mereka beranggapan pokoknya yang non muslim itu harus dibunuh. Sampai sekarang mereka perlahan-lahan dia masuk ke Indonesia.
Berapa jumlah populasi wahabi di Indonesia?
Jumlahnya kecil. Tapi pastinya tidak tahu karena itu bentuk ideologi dan masuknya dengan cara menyusup. Bisa ke Muhammadiyah dan ke Nahdalatul Ulama.
Wahabisme menjadi penyebab gerakan radikalisme indoneisa subur?
Dia sebagai salah satu faktor penting.
Apa yang harus dilakukan pemerintah untuk menghentikan paham radikalisme?
Di Indonesia itu sudah ada cikal bakal gerakan untuk menegakan syariat Islam jauh sebelumnya. Gerakan politik Masyumi dan gerakan bersenjata DI/TII, tahun 1965. Tapi gerakan itu dihabisi pemerintah orde lama. Gerakan politik juga dihabisi di zaman orde baru.
Saat reformasi, gerakan mendirikan syariat Islam itu bangkit kembali. Tapi tidak ada hubungannya dengan ISIS. Jauh sebelum ISIS, kelompok syariat Islam punya kedudukan kuat di Indonesia.
Ketika muncul ISIS, kelompok yang merindukan khilafah di Indonesia, Mujahidin, Abu Bakar Baasyir menemukan gerakan internasional. Yang terjadi sekarang ini ‘rebranding’, seperti merk dagang agar lebih laku. Selain itu mereka juga melakukan remainding atau mengikatkan dirinya dengan ISIS. Sebenarnya ISIS juga nggak tahu ada pembaiatan di Indonesia. Tapi mereka menyambut baik saja.
Saya menyimak komentar ahli terorisme Australia, Profesor Greg Barton soal bom sarinah kemarin. Dia menyebut gerakan itu sangat amatiran. ISIS yang benar itu, 1 orang membunuh 25 orang. Kalau di Indonesia yang terbunuh malah terorisnya. Sehingga dia menduga kayaknya bukan benar-benar dikomandoi ISIS di sana, hanya menggunakan nama ISIS untuk gerakan. Jadi Indonesia sudah ada potensi untuk gerakan seperti itu masuk.
Saat ini ada anggapan paham barat pindah ke timur tengah. Sebab cara berpakaian perempuan di sana sudah terbuka. Sementara Indonesia akan dijadikan negara Islam dengan menerapkan kehidupan Islami akibat seruan habib-habib. Apakah ini akan berhasil?
Menurut saya metode ISIS tidak cocok dengan kultur Indonesia yang keberagaaan. ISIS itu pemahaman agamanya masih dangkal. Karena sebetulnya kehadiran agama kan rahmatan lil alamiin. Cocoknya dengan negara barat yang baru masuk Islam dan berusaha memberontak nilai-nilai mereka sendiri. Sebagai pilihannya Islam yang benar-benar anti barat.
Para pengikut ISIS itu kebanyakan dari negara-negara peradaban barat. Indonesia mayoritas Islam, tapi sedikit yang mengirimkan ke Suriah. Di barat, mereka berangkat sendiri. Kalau di Indonesia, diberangkatkan.
Islam phobia juga menyebar di seluruh negara barat. Ditambah dengan pascabom Sarinah, beberapa negara makin mewaspadai keamanan Indonesia. Sehingga stigma ‘Islam teroris’ pun menguat di Indonesia. Bagaimana pandangan Anda?
Saat ini seolah-olah Indonesia sepakat membagi dua label Islam garis keras dan Islam moderat. Yang merepotkan orang seperti saya ini (Syiah), dalam satu hal mereka anggap saya ini orang fundamentalis yang menjalankan agama dengan taat. Nah dari fundamentalis menuju ke garis keras itu tinggal selangkah saja.
Dari isu ini, kasihan orang-orang yang benar-benar ingin menjalankan agamanya, lalu mereka terjebak dalam kelompok-kelompok radikal. Atau akhirnya terkena labeling sebagai kelompok radikal.
Saya menemukan di beberapa daerah, ada orang yang mulai kembali kepada Islam, dia menemukan nilai hidupnya dalam Islam. Nah, si pembina mereka itu langsung kelompok garis keras.
Misalnya para artis yang celananya tiba-tiba menjadi jingkrak, dahinya menghitam, sudah ramai. Itu tanda kesolehan dan kita harus turut berbahagia. Cuma sayang guru mengaji mereka kebanyakan dari kelompok garis keras.
Saya pernah ke Papua, ada seorang muslim di sana dari Bugis, dia mau kasih aqiqah. Karena di sana tidak banyak ulama Islam, mereka mengirimkan ke perkampungan Islam garis keras. Letaknya tidak jauh dari lapangan terbang Sentani. Banyak orang Papua masuk Islam, kemudian islamnya garis keras. Mereka ingin menjalankan Islam dengan tulus, tapi terjerembab ke garis keras.
Saya tidak tahu sampai kapan labeling ini terus berlanjut.
Bagaimana dengan program deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)?
Tapi belum nampak hasilnya. Karena ada kelompok yang berusaha menggeserkan radikal ke kelompok lain. Misal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) beberapa waktu lalu mengumpulkan berapa ratus dai dari berbagai daerah dan judulnya deradikalisasi. Tapi mereka memasukan syiah sebagai kelompok radikal. Itu sama saja menyebarkan kebencian dan tidak ada bedanya dengan kelompok garis keras yang mudah mengkafirkan.
Sebenarnya ada peran penting dari tokoh Islam atau Dai yang dari Islam moderat. Mengapa mereka tidak angkat bicara?
Dalam teori komunikasi ada yang disebut sebagai spiral kebisuan. Media sosial saat ini kebanyakan menampilkan dai dari Islam garis keras. Ada ribuan websitenya. Orang yang melihat itu, merasa pendapatnya tidak sama dengan itu. Jadi dia tidak mengungkapkan pendapatnya. Kalau dia mengungkapkan pendapatnya dia bakal di-bully. Jadi sebetulnya mereka yang mayoritas. Jadi ada lingkaran kebisuan yang menyebabkan orang-orang moderat itu tidak dikenal.
Anda dari kaum minoritas dan masuk DPR, sejauhmana pengaruh Anda untuk mengampanyekan toleransi beragama?
Pertama DPR kan mewakili mayoritas, saya di PDIP Perjuangan, partai pemenang pemilu. Tapi partai kecil ini bergabung menjadi mayoritas. Itu lah yang mengusasi parlemen. Itulah sulitnya menyuarakan kaum minoritas.
Mereka membela kelompok mayoritas dan partainya. Tapi saya percaya masih banyak juga di antara mereka yang membela kelompok minoritas, tapi tidak berani bersuara saja.
Biografi singkat Jalaluddin Rakhmat
Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Dia salah satu tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia. Kang Jalal besar di lingkungan Nahdiyyin (orang-orang NU). Semasa kecil ia mendalami buku-buku filsafat dan kenal dengan para filosof, dan terutama sekali sangat terpengaruh oleh Spinoza dan Nietzsche.
Dia pernah menempuh pendidikan di Fakultas Publisistik, Unpad Bandung. Kemudian, S2-nya diselesaikan di Fakultas Komunikasi dan Psikoloogi di Lowa State University. Dia lulus dengan predikat magna cum laude karena memperoleh 4.0 grade point average. Terakhir, S3-nya diselesaikan di Australian National University dan memperoleh gelar doctor ilmu politik.
Saat ini Kang Jalal menjadi Ketua Dewan Syura Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) sejak Juli 2000. Sejak itu penganut Syiah terus melonjak sampai 2,5 juta orang. Dia pun mendirikan Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta bersama Haidar Bagir dan Umar Shahab. Lebih dari 45 buku sudah dia tulis dan diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka.