Suara.com - September 2015 lalu, untuk pertama kalinya Indonesia meluncurkan satelit ‘mini’ ke luar angkasa setelah 70 tahun Indonesia merdeka. Kalah jauh di bandingkan India.
Satelit itu diberinama LAPAN A2. Satelit ini dibuat oleh teknisi Indonesia dan bekerjasama dengan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI). Sementara satelit Palapa yang tahun 1976 bukan buatan Indonesia, melainkan buatan Hughes atau Boeing saat ini.
Di zamannya, Indonesia menjadi negara ketiga yang menggunakan satelit komunikasi setelah Amerika dan Kanada. Namun kemudian disalip India, bahkan Malaysia yang sudah mempunyai astronot.
Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, Thomas Djamaluddin mengatakan sejak tahun lalu, Indonesia baru benar-benar mewujudkan mimpinya membangun luar angkasa. Hasil pengindraan satelit LAPAN A2 itu belum bisa digunakan secara penuh. Makanya, saat ini LAPAN tengah membuat satelit LAPAN A3 yang akan diluncurkan pertengahan tahun ini ke angkasa.
Selama 40 tahun ke depan, kata profesor astronomi itu, Indonesia mulai serius menggaram proyek-proyek pembangunan luar angkasa. Seperti memproduksi satelit, pesawat dan roket. Dalam waktu dekat LAPAN akan memangun bandara luar angkasa untuk peluncuran roket di Indonesia timur.
Namun banyak tantangan yang dihadapi Indonesia saat ini. Menurut Djamal, sebagai negara besar, Indonesia sudah ketinggalan jauh dari sisi keilmuan luar angkasa. Bahkan kalah dari India yang mempunyai jumlah penduduk miskin tidak kalah dengan Indonesia.
Apa saja tantangan yang dihadapi Indonesia yang mulai menggarap proyek luar angkasa? Lalu sejauhmana peran Indonesia dalam membangun dunia luar angkasa bersama negara lain?
Simak wawancara khusus suara.com dengan Djamaludin di ruang kerjanya pekan lalu:
Indonesia pertama kali membangun dunia antariksanya tahun 1976 dengan peluncuran satelit Palapa. Satelit tersebut Hughes atau Boeing saat ini. Lalu Indonesia membuat satelit sendiri tahun 2012, Lapan A2/Orari. Satelit ini pemantauan permukaan Bumi, identifikasi kapal laut, dan komunikasi radio amatir. Diluncurkan tahun kemarin dengan menumpang India. Mengapa begitu lama untuk membuat satelit sendiri?
Sejarah keantariksaan di Indonesia itu dimulai sejak era 60-an, baru akhirnya ditetapkan berdirinya LAPAN tahun 1963. Kegiatan LAPAN pertama lebih difokuskan ke pembuatan roket dan satelit, ditambah dengan penerbangan. Tapi banyak kendala sebagai negara yang baru berkembang. Pertama masalah anggaran dan kedua masalah sumber daya manusia.
Tahun 1976, Indonesia melalui perusahaan telekomunikasi kemudian membeli satelit komunikasi, SKSD Palapa. Indonesia menjadi negara ketiga yang menggunakan satelit komunikasi setelah Amerika dan Kanada. Tahun 1976, LAPAN masih menggeluti pembuatan roket, satelit juga masih dalam tahap wacana. Kemudian fokus pada pengembangan pesawat.
Saat itu juga dimulai dengan pemanfaatan satelit. Jadi sebelum bisa mengembangkan satelitnya, mulai mengembangkan pemanfaatkan data hasil satelit, seperti pengindraan jauh.
Kemudian tahun 2007, kita mulai putuskan kita harus mempercepat pengusaan teknologi satelit dengan bekerjasama dengan Jerman. LAPAN menyediakan anggarannya dan mengirimkan SDM ke sana. Saat itu kita perlu menyiapkan anggaran yang cukup besar untuk menguasai teknologi satelit. Akhirnya engineering kita membuat satelit dengan bimbingan profesor di Jerman.
Biaya sepenuhnya dari LAPAN, dari komponen sampai membayar profesor pembimbing. Satelit LAPAN pertama, A1 diluncurkan di India pada 10 Januari 2010. Bobot satelit ini 57 kg. Total anggaran yang dikeluarkan saat itu Rp35 miliar.
Engineering yang dikirim ke sana, mereka mempersiapkan program satelit generasi berikutnya. Jadi membuat fasilitas pembuatan satelit untuk satelit kelas 100 Kilogram. Mereka membuat LAPAN A2 yang bekerjasama dengan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI). Satelit ini bukan hanya untuk pemantauan tapi juga untuk keperluan radio ORARI.
Bobot satelit ini 70 kg. Biayanya sekitar Rp50 miliar. Teknologi kamera ini lebih baru dan ditambah dengan sensor pemantau otomatis kapal laut. Ada dua kamera pemantauan. Mengambil citra dan video. Selain itu untuk komunikasi radio. Satelit ini diorbitkan di equator dengan kemiringan 6 derajat, melerati Indonesia 14 hari dalam sehari.
Sebenarnya LAPAN A2 siap diluncurkan tahun 2012. Tapi roket India menunggu penyelesaian Astro SAT karena sudah ditentukan akan diluncurkan dengan LAPAN A2 karena di orbit yang sama. Akhirnya bisa diluncurkan September 2015 lalu.
Setelah A2 selesai, saat ini menunggu pembuatan A3 yang bekerjasama dengan IPB. Ini untuk memantau pertanian dan kapal laut. Bobotnya hampir 100 kg. Ditargetkan bisa diluncurkan pertengahan 2016 ke antariksa.
Untuk fungsi, LAPAN A1 sepenuhnya eksperimen. LAPAN A2 ada 20 persen opersional dan data sudah bisa dimanfaatkan. LAPAN A3 bisa dimanfaatkan operasional sampai 40 persen. Aspek operasional itu, data-datanya sudah bisa dipakai.
Mengapa begitu lama? Karena memang SDM LAPAN ini dibatasi dengan aturan formasi pegawai negeri. Kita tidak bisa merekrut begitu saja, karena tergantung anggaran. Untuk teknologi satelit relatif mudah diperoleh karena sebagai teknologi yang disebut teknologi non militer.
Selain itu anggaran kita sangat kecil. Misal lembaga antariksa Cina mempunyai tempat pembuatan satelit seluas 1 kota sehingga disebut space city. Jumlah pegawainya lebih dasri 10 ribu khsus untuk pembuatan satelit.
LAPAN mempunyai tempat pembuatan roket dan satelit di Bogor, bukankah itu luas?
Itu tergolong kecil untuk pembuatan satelit dan sebagainya. Pegawainya juga cuma 50 orang.
Lalu bagaimana untuk mengembangkan dunia antariksa Indonesia dengan keterbatasan itu?
LAPAN bekerjasama dengan BPPT dan industri. Tapi sementara ini dengan BPPT saja. Kami mengembangkan satellite nasional tapi terbentur dari segi biaya. Biayanya ditaksir sampai Rp5 trilun. Itu dipakai untuk 3 fase.
Pertama pengembangan satelit di luar negeri dengan mitra, kemudian kembali ke Indonesia membuat fasilitas pembuatan satelit. Kemudian ketika membuat satelit mandiri di Indonesia. Ini sulit untuk memperoleh anggaran seperti itu. Sementara LAPAN memutuskan ditunda dulu. Kita fokus pada satelit mikro sambil menunggu tambahan anggaran.
LAPAN tengah membangun Stasiun Luar Angkasa Republik Indonesia (SLARI) yang targetnya tahun 2030-2035 rampung. Apa kabar proyek itu?
Media ada yang salah manafsirkan. Space port bukan space station. Jadi kita akan buat Bandara Antariksa atau Space port, tapi ditafsirkan sebagai stasiun luar angkasa. Jadi yang dimaksud tempat peluncuran roket. Jadi direncanakan di Biak atau Morotai. Tapi ini belum diputuskan di mana. Sekarang kita sudah mempunyai stasiun uji peluncuran roket di Garut. Tapi skalanya kecil.
Tapi yang ukurannya besar, perlu daerah khusus di arahkan lokasinya dekat ekuator. Agar biaya untuk peluncuran akan lebih murah untuk mencapi orbit.
Bagaimana detil rencana pembangunan itu?
Baru rancangan kasar. Sebenarnya amanat dalam UU Keantariksaan sudah dimasukan dalam direncana induk keantariksaan 25 tahun atau sampai 2040. Diharapkan nanti penguasaan 3 teknologi bisa masuk, terkait saint antariksa, teknologi pemerbangan dan antariksa, dan pengindraan jauh. Ditambah dengan pengoperasian bandara antariksa.
Seberapa luas bandara itu?
Di Biak, sejak LAPAN berencana untuk membangun keantariksaan, sudah menyediakan lahannya. Sudah ada lahan sekitar 100 hektar. Itu masih kurang. Di motorai sudah ada tawaran, tapi LAPAN belum punya lahan. Tawaran itu belum secara spesifik memutuskan berapa disiapkan.
Apakah juga akan dipakai untuk pendaratan pesawat ulang aling?
Belum, baru peluncuran roket saja. Kalau pun ada, peluncuran melalui pesawat. Tapi itu masih sangat kasar perencanaannya. Bahkan bentuk pengelolaan juga belum ditentukan.
Sejauh mana keterlibatan badan antariksa Indonesia dalam 'percaturan' proyek antariksa dunia?
Keantariksaan luas, soal science antariksa, teknologi wahana dan pemanfaatnya. Dengan internasional LAPAN sudah bekerjasama karena kita masih pakai data pengindraan satelit internasional. Indonesia juga masuk dalam komunitas science antariksa dalam pertemuan ilmiah.
Soal teknologi, teknologi roket dan satelit meski kalah dengan negara maju, dibandingkan negara berkembang kita mempunyai kelebihan penguasaan teknologi roket hanya ada di Indonesia di kawasan ASEAN. Kalau satelit kita hampir sama kayak Singapura, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Sama-sama membangun satelit.
Negara mana yang sebanding dengan Indonesia dari sisi pengembangan dunia antariksa?
Sulit mencari perbandinganya. Tapi yang di atas Indonesia itu Korea Selatan dan India. Kalau teknologi pesawat terbang, Indonesia unggul di ASEAN.
Pekan lalu ada pertemuan untuk membicarakan teknologi antariksa, Galaxy Forum. Negera-negara maju, bahkan Malaysia hadir dalam forum yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah itu. Bagaimana keterlibatan Indonesia?
Galaxy Forum itu mengharahkan kerjasama pemanfaatan pengamatan keantariksaan berbasis di bulan. LAPAN belum memutuskan sejauh mana bisa berpartisipasi untuk pengamatan antariksa dari bulan. Sebab itu anggarannya besar sekali. Karena kendala kita itu masalah anggaran. Tapi kalau kita ikut bersama-sama mengembangkan kesadaran publik, LAPAN mendukung.
Kalau pun Indonesia ikut, apa bentuk nyatanya?
Karena itu dilaksanakan kumpulan swasta, kemudian mereka akan mengembangkan. Tentu harus ada kontribusi. Memang di satu sisi menjadi tantangan ilmiah. Pada sisi lain pasti ditanya kemanfaatannya. Minimal kemanfaatan ilmu pengetahuan menjadi tujuan yang utama.
Anggaran LAPAN untuk kembangkan keantariksaan kecil. Berapa jumlahnya? Dan bagaimana pola pembiayaannya?
Anggaran itu selalu dikaitkan dengan program, kita tidak bisa ngotot. Kita ajukan program dan meminta SDM biasanya dalam bersamaan. Dengan program yang kita buat di 2017, kita minta anggaran Rp2 triliun. Dengan catatan semua program yang diusulkan LAPAN ini dibiayai. Tahun 2015 kita dapat Rp600 miliar, di 2016 Rp 777 miliar.
Kalau saya mencari di google dengan kata kunci astronot Indonesia keluar nama Pratiwi Sudarmono, yang belum sempat ke luar angkasa karena tidak jadi ikut terbang dengan Palapa. Lalu Rizman Adhi Nugraha, pemenang undian salah satu produk minyak wangi yang diklaim sebagai astronot pertama Indonesia. Apakah Indonesia tidak mempunyai astronot?
Persoalan astronot itu masuk dalam persoalan kebanggaan nasionalisme negara saja. Tapi memerlukan biaya besar. Malaysia mengirimkan astronot, karena anggaran mereka besar. Indonesia punya sumberdaya untuk astronot, tapi tidak ada anggaran.
Astronot itu dikirimkan ke Rusia, Amerika, Jepang dan Cina. Negara membayar untuk pendidikan itu sampai nanti si astronot bisa terbang dengan misi luar angkasa di antara kedua negara. Negara belum ada uang untuk itu. Kalau pun ada pihak swasta yang membantu membiayai, mereka pun akan menghitung keuntungannya. Sementara keuntungan pengiriman itu tidak ada keuntungan uang, tapi hanya kebanggaan nasional saja.
Berapa yang harus dibayar negera untuk memberangkatkan calon astronot ke pendidikan astronot dan berangkat ke luar angkasa?
Saya belum tahu pasti besarnya, mungkin sampai triliunan. Kalau Indonesia ada anggarannya, kita bisa kirim. Sebab belum ada sekolah astronot, yang ada hanya pelatihan hingga bisa menerbangkannya. Pendidikan untuk astronot itu bukan untuk beberapa bulan ke depan, tapi tahunan. Sampai nanti waktunya peluncuran, dan melakukan pelatihan ketat.
Berapa jumlah astronot atau bakal calon astronot Indonesia?
Belum ada.
Pada 9 Maret nanti akan ada gerhana matahari. Riset apa yang dilakukan LAPAN?
Kejadian itu 300 tahun sekali. Kita menyebar peneliti saat terjadi gerhana itu. Tujuannya untuk pendidikan. LAPAN menyebar di 5 lokasi. Di antaranya di Palembang yang meneliti soal atmosfer, Palangkaraya melakukan edukasi publik, Ternte untuk penelitian terkait pembelokan cahaya oleh matahari dan penelitian magnet bumi, dan di Musi Banyuasin terkait penelitian fisika matahari atau fisika korona.
Apa dampak nyata gerhana matahari itu?
Tidak ada dampak apapun di bumi. Kecuali perubahan sedikit pada medan magnet bumi.
Biografi singkat Thomas Djamaluddin
Profesor Thomas Djamaluddin lahir di Purwokerto, 23 Januari 1962. Lelaki yang lebih suka namanya disingkat T. Djamaludin itu lulusan Ilmu Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah itu Djamal bergabung dengan LAPAN sebagai peneliti antariksa. Dalam kurun waktu 1988 sampai 1994 Djamal meneruskan S2 dan S3 ke Jepang di Department of Astronomy, Kyoto University. Dia mendapatkan beasiswa Monbusho.
Tesis master dan doktor Djamal berkaitan dengan materi antarbintang dan pembentukan bintang dan evolusi bintang muda. Selama sekolah di Jepang, Djamal membuat program jadwal salat, arah kiblat, dan konversi kalender. Tak heran, menjelang awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha Djamal paling sibuk menjawab pertanyaan melalui telepon maupun via internet dalam mailing list ISNET.
Saat ini Djamal menjadi Kepala LAPAN dan Peneliti Utama IVe (Profesor Riset) Astronomi dan Astrofisika. Sebelumnya pernah menjadi Kepala Unit Komputer Induk LAPAN Bandung (Eselon IV), Kepala Bidang Matahari dan Antariksa (Eselon III), Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim (Eselon II) LAPAN, dan Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan (Eselon I). Saat ini juga mengajar dan menjadi pembimbing di Program Magister dan Doktor Ilmu Falak di IAIN Walisongo Semarang.
Di tengah kesibukannya itu, Djamal tergabung dalam anggota Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), International Astronomical Union (IAU), dan National Committee di Committee on Space Research (COSPAR). Lebih dari 50 makalah ilmiah, lebih dari 100 tulisan populer, dan 5 buku tentang astronomi dan keislaman sudah publikasikan Djamal.
Djamal juga pernah mengikuti kegiatan internasional bidang kedirgantaraan di Australia, Cina, Honduras, Iran, Brazil, Jordan, Jepang, Amerika Serikat, Slovakia, Uni Emirat Arab, India, Vietnam, Swiss, Thailand, Singapura, dan Austria. Selain itu dalam bidang keislaman di konferensi WAMY (World Assembly of Muslim Youth) di Malaysia.