LAPAN tengah membangun Stasiun Luar Angkasa Republik Indonesia (SLARI) yang targetnya tahun 2030-2035 rampung. Apa kabar proyek itu?
Media ada yang salah manafsirkan. Space port bukan space station. Jadi kita akan buat Bandara Antariksa atau Space port, tapi ditafsirkan sebagai stasiun luar angkasa. Jadi yang dimaksud tempat peluncuran roket. Jadi direncanakan di Biak atau Morotai. Tapi ini belum diputuskan di mana. Sekarang kita sudah mempunyai stasiun uji peluncuran roket di Garut. Tapi skalanya kecil.
Tapi yang ukurannya besar, perlu daerah khusus di arahkan lokasinya dekat ekuator. Agar biaya untuk peluncuran akan lebih murah untuk mencapi orbit.
Bagaimana detil rencana pembangunan itu?
Baru rancangan kasar. Sebenarnya amanat dalam UU Keantariksaan sudah dimasukan dalam direncana induk keantariksaan 25 tahun atau sampai 2040. Diharapkan nanti penguasaan 3 teknologi bisa masuk, terkait saint antariksa, teknologi pemerbangan dan antariksa, dan pengindraan jauh. Ditambah dengan pengoperasian bandara antariksa.
Seberapa luas bandara itu?
Di Biak, sejak LAPAN berencana untuk membangun keantariksaan, sudah menyediakan lahannya. Sudah ada lahan sekitar 100 hektar. Itu masih kurang. Di motorai sudah ada tawaran, tapi LAPAN belum punya lahan. Tawaran itu belum secara spesifik memutuskan berapa disiapkan.
Apakah juga akan dipakai untuk pendaratan pesawat ulang aling?
Belum, baru peluncuran roket saja. Kalau pun ada, peluncuran melalui pesawat. Tapi itu masih sangat kasar perencanaannya. Bahkan bentuk pengelolaan juga belum ditentukan.
Sejauh mana keterlibatan badan antariksa Indonesia dalam 'percaturan' proyek antariksa dunia?
Keantariksaan luas, soal science antariksa, teknologi wahana dan pemanfaatnya. Dengan internasional LAPAN sudah bekerjasama karena kita masih pakai data pengindraan satelit internasional. Indonesia juga masuk dalam komunitas science antariksa dalam pertemuan ilmiah.
Soal teknologi, teknologi roket dan satelit meski kalah dengan negara maju, dibandingkan negara berkembang kita mempunyai kelebihan penguasaan teknologi roket hanya ada di Indonesia di kawasan ASEAN. Kalau satelit kita hampir sama kayak Singapura, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Sama-sama membangun satelit.
Negara mana yang sebanding dengan Indonesia dari sisi pengembangan dunia antariksa?
Sulit mencari perbandinganya. Tapi yang di atas Indonesia itu Korea Selatan dan India. Kalau teknologi pesawat terbang, Indonesia unggul di ASEAN.
Pekan lalu ada pertemuan untuk membicarakan teknologi antariksa, Galaxy Forum. Negera-negara maju, bahkan Malaysia hadir dalam forum yang digelar di Taman Mini Indonesia Indah itu. Bagaimana keterlibatan Indonesia?
Galaxy Forum itu mengharahkan kerjasama pemanfaatan pengamatan keantariksaan berbasis di bulan. LAPAN belum memutuskan sejauh mana bisa berpartisipasi untuk pengamatan antariksa dari bulan. Sebab itu anggarannya besar sekali. Karena kendala kita itu masalah anggaran. Tapi kalau kita ikut bersama-sama mengembangkan kesadaran publik, LAPAN mendukung.
Kalau pun Indonesia ikut, apa bentuk nyatanya?
Karena itu dilaksanakan kumpulan swasta, kemudian mereka akan mengembangkan. Tentu harus ada kontribusi. Memang di satu sisi menjadi tantangan ilmiah. Pada sisi lain pasti ditanya kemanfaatannya. Minimal kemanfaatan ilmu pengetahuan menjadi tujuan yang utama.
Anggaran LAPAN untuk kembangkan keantariksaan kecil. Berapa jumlahnya? Dan bagaimana pola pembiayaannya?
Anggaran itu selalu dikaitkan dengan program, kita tidak bisa ngotot. Kita ajukan program dan meminta SDM biasanya dalam bersamaan. Dengan program yang kita buat di 2017, kita minta anggaran Rp2 triliun. Dengan catatan semua program yang diusulkan LAPAN ini dibiayai. Tahun 2015 kita dapat Rp600 miliar, di 2016 Rp 777 miliar.
Kalau saya mencari di google dengan kata kunci astronot Indonesia keluar nama Pratiwi Sudarmono, yang belum sempat ke luar angkasa karena tidak jadi ikut terbang dengan Palapa. Lalu Rizman Adhi Nugraha, pemenang undian salah satu produk minyak wangi yang diklaim sebagai astronot pertama Indonesia. Apakah Indonesia tidak mempunyai astronot?
Persoalan astronot itu masuk dalam persoalan kebanggaan nasionalisme negara saja. Tapi memerlukan biaya besar. Malaysia mengirimkan astronot, karena anggaran mereka besar. Indonesia punya sumberdaya untuk astronot, tapi tidak ada anggaran.
Astronot itu dikirimkan ke Rusia, Amerika, Jepang dan Cina. Negara membayar untuk pendidikan itu sampai nanti si astronot bisa terbang dengan misi luar angkasa di antara kedua negara. Negara belum ada uang untuk itu. Kalau pun ada pihak swasta yang membantu membiayai, mereka pun akan menghitung keuntungannya. Sementara keuntungan pengiriman itu tidak ada keuntungan uang, tapi hanya kebanggaan nasional saja.
Berapa yang harus dibayar negera untuk memberangkatkan calon astronot ke pendidikan astronot dan berangkat ke luar angkasa?
Saya belum tahu pasti besarnya, mungkin sampai triliunan. Kalau Indonesia ada anggarannya, kita bisa kirim. Sebab belum ada sekolah astronot, yang ada hanya pelatihan hingga bisa menerbangkannya. Pendidikan untuk astronot itu bukan untuk beberapa bulan ke depan, tapi tahunan. Sampai nanti waktunya peluncuran, dan melakukan pelatihan ketat.
Berapa jumlah astronot atau bakal calon astronot Indonesia?
Belum ada.
Pada 9 Maret nanti akan ada gerhana matahari. Riset apa yang dilakukan LAPAN?
Kejadian itu 300 tahun sekali. Kita menyebar peneliti saat terjadi gerhana itu. Tujuannya untuk pendidikan. LAPAN menyebar di 5 lokasi. Di antaranya di Palembang yang meneliti soal atmosfer, Palangkaraya melakukan edukasi publik, Ternte untuk penelitian terkait pembelokan cahaya oleh matahari dan penelitian magnet bumi, dan di Musi Banyuasin terkait penelitian fisika matahari atau fisika korona.
Apa dampak nyata gerhana matahari itu?
Tidak ada dampak apapun di bumi. Kecuali perubahan sedikit pada medan magnet bumi.
Biografi singkat Thomas Djamaluddin
Profesor Thomas Djamaluddin lahir di Purwokerto, 23 Januari 1962. Lelaki yang lebih suka namanya disingkat T. Djamaludin itu lulusan Ilmu Astronomi Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah itu Djamal bergabung dengan LAPAN sebagai peneliti antariksa. Dalam kurun waktu 1988 sampai 1994 Djamal meneruskan S2 dan S3 ke Jepang di Department of Astronomy, Kyoto University. Dia mendapatkan beasiswa Monbusho.
Tesis master dan doktor Djamal berkaitan dengan materi antarbintang dan pembentukan bintang dan evolusi bintang muda. Selama sekolah di Jepang, Djamal membuat program jadwal salat, arah kiblat, dan konversi kalender. Tak heran, menjelang awal Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha Djamal paling sibuk menjawab pertanyaan melalui telepon maupun via internet dalam mailing list ISNET.
Saat ini Djamal menjadi Kepala LAPAN dan Peneliti Utama IVe (Profesor Riset) Astronomi dan Astrofisika. Sebelumnya pernah menjadi Kepala Unit Komputer Induk LAPAN Bandung (Eselon IV), Kepala Bidang Matahari dan Antariksa (Eselon III), Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim (Eselon II) LAPAN, dan Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan (Eselon I). Saat ini juga mengajar dan menjadi pembimbing di Program Magister dan Doktor Ilmu Falak di IAIN Walisongo Semarang.
Di tengah kesibukannya itu, Djamal tergabung dalam anggota Himpunan Astronomi Indonesia (HAI), International Astronomical Union (IAU), dan National Committee di Committee on Space Research (COSPAR). Lebih dari 50 makalah ilmiah, lebih dari 100 tulisan populer, dan 5 buku tentang astronomi dan keislaman sudah publikasikan Djamal.
Djamal juga pernah mengikuti kegiatan internasional bidang kedirgantaraan di Australia, Cina, Honduras, Iran, Brazil, Jordan, Jepang, Amerika Serikat, Slovakia, Uni Emirat Arab, India, Vietnam, Swiss, Thailand, Singapura, dan Austria. Selain itu dalam bidang keislaman di konferensi WAMY (World Assembly of Muslim Youth) di Malaysia.