Prof Irwanto: Asal Mula LGBT dari Sisi Psikologi dan Kedokteran

Senin, 22 Februari 2016 | 07:00 WIB
Prof Irwanto: Asal Mula LGBT dari Sisi Psikologi dan Kedokteran
Guru Besar Fakultas Psikologi Atma Jaya, Irwanto. (suara.com/Periansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Perdebatan soal keberadaan lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) sering mengambil dari sudut pandang agama, budaya dan norma. Di Indonesia, jelas homoseksual ditolak habis-habisan jika dibahas dari ketiga sudut pandang itu.

Stigma LGBT diperburuk dengan ditangkapnya artis Saipul Jamil karena dituduh melakukan pelecehkan seksual terhadap seorang anak lelaki 17 tahun. 

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya Profesor Irwanto mengatakan perdebatan itu lumrah dan biasa. Tapi sia-siap saja. Perdebatan itu terus terjadi selama ratusan tahun, bahkan sejak zaman nabi.

Irwanto banyak menangani pasien yang mencari identitas gender atau sexual orientation and gender identity (SOGI). Dia melihat kecenderungan orientasi seksual dianalisa dari sisi ilmu pengetahuan.

Peraih National Narcotic Board Award itu menjelaskan ada penelitian resmi jika orientasi seksual adalah bawaan sejak lahir. Hanya saja bisa juga dibentuk karena faktor pergaulan. Namun pengaruh itu tidak berdampak cepat, bisa puluhan tahun.

“Pernah, satu klien perempuan pernah datang ke saya, dia kesulitan dengan identitas diri. Dia merasa terperangkap dalam tubuh yang salah,” cerita Irwanto.

Dalam perdebatan pro-kontra LGBT itu menimbulkan ketakutan soal dampak buruk LGBT. Mulai dari sisi pergaulan sampai ancaman penyebaran virus HIV/AIDS. Irwanto justru melihat ancaman terbesarnya adalah ketidaktahuan masyarakat, terutama orangtua soal orientasi homoseksual.

“Mereka hanya mengatakan menyimpang dan ini penyakit. Sementara dasarnya tidak kuat,” kata Irwanto.

Darimana orientasi itu datang? Seberapa besar pengaru keberadaan LGBT terhadap penyebaran HIV/AIDS? Bagaimana cara orangtua menjelaskan jika anaknya ternyata berorientasi homoseksual?

Simak wawancara lengkap suara.com soal analisa Irwanto mengenai orientasi homoseksual.

Perdebatan soal ‘kemunculan’ gay, lesbian, biseksual dan transgender kebanyakan menggunakan sudut padang agama, budaya dan norma. Jarang sekali LGBT dibahas di taraf keilmuan. Dari sisi kedokteran dan psikologi, bagaimana menjelaskan adanya orientasi LGBT?

Kita tengok sejarah masa lalu. Salah satu agama tertua dan mempunyai catatan sejarah terbaik adalah Katolik. Katolik pernah mengatakan semesta ini berputar searah mengitari bumi, bukan matahari. Sampai satu hari ahli matematika, Nicolaus Copernicus mengatakan gereja salah. Hal yang sama dikatakan oleh Galileo. Tapi secara menyedihkan mereka dihukum mati dianggap penemuan mereka menyesatkan gereja.

Teori Darwin yang menyatakan manusia berasal dari kera juga diperdebatkan oleh institusi agama, banyak pastor yang dipecat karena meyakini teori itu, termasuk di Indonesia. Ini antara kepercayaan agama dan teori penelitian tidak klop. Sebab agama harus diyakini dan tidak bisa diganggu gugat. Sementara ilmu pengetahuan bisa diperbarui berdasarkan kajian, misal fenomena alam.

LGBT di lihat dari sudut pandang biologi. Analogi awal, misal kita mengenal ikan lele dengan banyak jenis ikan lele dan tidak sama persis. Begitu juga dalam ilmu biologi tidak pernah ditemukan bahwa seks itu hanya dua. Seks itu bukan hanya laki-laki dan perempuan. Ada juga Hermafrodit yang merupakan individu yang memiliki 2 alat kelamin.

Lalu mengapa manusia dikatakan hanya dua jenis kelaminan. Padahal dalam fenomena alam dikatakan ada laki-laki yang mempunyai vagina dan perempuan yang mempunyai penis. Kita seolah-olah membodohi diri sendiri dan membodohkan tuhan kita.

Di lihat dari penelitian ilmiah, ada argument yang awalnya dicoba didorong oleh komunitas LGBT. Mereka ingin membuktikan dirinya bukan pada perilaku menyimpang, melainkan berdasarkan variasi alam. Ditemukan pada variasi tertentu yang mendukung bahwa mereka adalah variasi dari alam.

Yaitu di otak di bagian hipotalamus. Bagian ini ada rasa artistik dan sebagainya. Ini diuji pada tikus, hasilnya kebanyakan tikus yang mempunyai sifat kreativitas dan kewanita-wanitaan mempunyai bagian hipotalamus-nya lebih besar.

Tapi science kan bukan monopoli yang pro LGBT saja. Pihak kontra LGBT juga berusaha mematahkan itu dengan berbagai penelitian.

Tapi sampai hari jika memandang LGBT berdasarkan science saja, dua-duanya bisa membuktikan pro alam benar dan pro penciptaan benar. Kebanyakan saat ini berdasarkan kitab suci saja jika tuhan ciptakan laki-laki dan perempuan.

Padahal di Bugis ada istilah bissu. Yaitu kaum pendeta yang tidak mempunyai golongan gender dalam kepercayaan tradisional Tolotang yang dianut oleh komunitas Amparita Sidrap dalam masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan di Pulau Sulawesi, Indonesia.

Di sana ada 4 jenis kelamin. Yaitu Oroane (laki-laki), Makunrai, (perempuan), Calalai (perempuan yang berpenampilan seperti layaknya laki-laki), dan Calabai (laki-laki yang berpenampilan seperti layaknya perempuan). Di lingkungan Bugis, Bissu ini dimuliakan karena dia protector dari raja. Itu tradisi ribuan tahun yang sangat maju. Pernah di larang pemerintah tahun 80-an, lalu dibebaskan oleh Gus Dur.

Saat ini memandang fenomena alam bukan hanya diamati oleh orang dulu yang minim teknologi, saat ini diamati oleh ilmuan terhebat di dunia. Sehingga mereka menemukan berbagai hal tentang variasi seks di dunia, dan variasi itu bukan cuma 2.

Apa yang menentukan orientasi seksual?

Manusia ditentukan oleh hormon. Manusia mempunyai dua hormnon sekaligus, yaitu testosteron dan progesteron. Pernah, satu klien perempuan pernah datang ke saya, dia kesulitan dengan identitas diri. Dia merasa terperangkap dalam tubuh yang salah, perempuan tapi merasa sebagai lelaki. Atau bisa disebut sebagai transgender.

Dia memeriksakan hormonnya di Inggris. Dia di sana, apakah menstruasi regular, katanya regular tapi sedikit. Ternyata hormon testosteron dia lebih banyak di tubuhnya. Di sana mulai mantap mengatakan seharusnya dia lelaki, tapi terperangkap ke dalam tubuh perempuan.

Bagaimana seharusnya masyarakat melihat LGBT ini sebagai sebuah perdebatan?

Ini sia-sia saja, menghabiskan energi. Mereka ada, mengapa kita tidak mendengarkan kelompok LGBT? Menghargai perbedaan itu.

Bagaimana kedokteran dan psikolog memandang perdebatan itu?

Kami tidak bisa, tidak harus mengatakan harus menghormati perbedaan itu. Kode etik kita mengatakan semua orang sama, tidak boleh memilih.

Di mana posisi LGBT di ilmu kedokteran dan psikologi?

Ada argumen yang masih lantang dan banyak dikatakan jika gay dan lesbian itu sebuah penyakit, penyakit jiwa. Tahun 1973, asosiasi psikiater di Amerika mencabut kategori homoseksualitas dari semua kategorinya dari buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders Source (DSM-IV). Kemudian tahun 1990, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencabut homoseksualitas dari Klasifikasi Penyakit Internasional (ICD). Ini diikuti Kementerian Kesehatan mencabut LGBT sebagai penyakit kejiwaan di Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) edisi III pada 1993.

Yang masih mereka cantumkan sampai sekarang, kebingungan identitas. Tetapi LGBT sebagai gangguan jiwa sudah dihapus melalui riset yang sangat empirik dan sahih.

Jadi kalau ada orang yang memakai LGBT sebagai paham yang menghancurkan generasi muda, mulai bercermin. Kita harus belajar untuk menjawab hal ini, mengapa ada LGBT? Mengapa kecenderungan LGBT ini ada pada manusia? Jarang orang mempunyai keterampilan untuk menjelaskan secara konprehensif. Sebab orang tidak mau tahu soal LGBT ini.

Dari keilmuan psikologi, tidak bisa manusia dilarang dengan alasan yang tidak jelas dan tidak memuaskan pihak yang dilarang. Mengapa mereka dilarang? Sebab yang seperti ini harus mengerti, karena ini ekspresi.

Di Thailand saya pernah dirawat dan dilayani oleh suster transgender karena saya mengalami kelumpuhan. Dia tidak macam-macam tuh, sangat professional dan ahli dibidangnya. Tidak lantas dia menggoda. Mengapa bisa begitu? Dia diterima dengan baik. Di Indonesia, orang seperti itu dihina sejak kecil, dianggap aneh dan menyimpang. Sehingga lari ke jalanan menjadi pelacur. Ditambah media tidak mendapatkan informasi yang baik soal LGBT sampai saat ini.

Apakah medis atau terapi tertentu bisa menghilangkan orientasi seksual?

Tidak bisa dan tidak ada caranya. Yang ada psikiater mencari kecenderungan orientasi seksual serta identitas gender (SOGI). Tapi ini persoalan ekspresi saja. Tiap orang bisa mengekspresikan diri sendiri. Memang pada akhirnya ekspresi identitas gender itu kalau diketahui mempuyai kecenderungan kewanitaan untuk lelaki, banyak dianggap sebagai penyimpangan. Bukan penyimpangan yang diartikan sebagai penyakit. Tapi menyimpang dari norma yang berlaku di kawasan dia tinggal.

Lalu, basis ilmiah atau keilmuan apa yang kuat menyebutkan asal mula LGBT ini?

Banyak, tapi kan antara yang pro dan kontra saling mematahkan. Karena soal LGBT ini bukan persoalan dari abad 20. Bahkan dari zaman nabi sudah ada kaum sodom, karena perilaku di sana dicampur dengan pengaruh alkohol.

Basis keilmuan apa yang kuat jelaskan LGBT terbentuk dari oleh faktor biologis?

Neurologi. Memang banyak teori yang menjelaskan soal perkembangan orientasi seksual dari perkembangan saraf janin. Jadi ini persoalan gen. Dalam penelitian yang dilakuan berpuluh tahun itu menunjukan area kecil di hipotalamus otak pada laki-laki homoseksual ukurannya dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki heteroseksual. Sementara tidak ada bukti kuat jika homoseksual ditimbulkan dari pengaruh lingkungan dan proses belajar.

Penelitian itu mengatakan otak manusia dapat membentuk sifat maskulin atau juga feminine. Ini terlepas dari bentuk seksual fisik yang mempunyai vagina atau juga penis. Ketika janin berkembang, identitas gender dan diferensiasi seksual dari alat kelamin berkembang secara mandiri dari satu sama lain.

Ketakutan lain dari penolak LGBT adalah kelompok ini dianggap sebagai potensi penyebar virus HIV/AIDS?

Lihat statistiknya di Indonesia pengidap HIV/AIDS yang tertinggi pada pasangan heteroseksual, bukan homoseksual.

HIV AIDS di kalangan LGBT pernah tinggi karena didorong lifestyle atau gaya hidup. Jumlahnya sempat sepertiga dari kasus infeksi. Dulu HIV dikatakan sebagai penyakit homoseksual, tapi setelah diteliti secara mendalam ternyata heteroseksual lebih tinggi. Saat ini LGBT menyumbang 15 persen yang terinveksi HIV/AIDS. Karena mereka saat ini aktif mencegah penularan di antara mereka sendiri.

Bagaimana cara penularan HIV/AIDS di kalangan LGBT dari sisi hubungan seksual?

LGBT yang berhubungan seksual sesama jenis tudak otomatis menularkan atau menimbulkan AIDS. Sama sepeti heteroseksual. Asalkan dilakukan dengan pasangan yang sama, meskipun gay berhubungan dengan melakukan oral dimasukan ke dubur.

Yang jadi masalah kalau salah satu dari mereka sudah terinfeksi HIV. Karena hubungan dengan dubur selalu membuat luka gesekan. Luka itu lah yang menyebabkan darah mengalir ke tubuh. Tanpa itu nggak masalah, apalagi kalau pakai kondom.

Bagaimana dengan lesbian?

Lesbian tidak pernah penetrasi, mereka hanya oral. Kasus HIV AIDS lesbian tidak ada, nol.

Bagaimana hubungan seksual yang aman untuk kalangan LGBT agar tidak menyebarkan virus HIV/AIDS?

Harus pasangan seks yang tetap. Tapi ini realitasnya sulit, karena lagi-lagi ini persoalan lifestyle. Bergaul banyak orang dan merasa tidak mempunyai tanggungan kelahiran dan kehamilan. Sehingga hubungan seks menjadi bebas. Tetapi kalau dengan pasangan yang sama dan pakai kondom, tidak pernah ada masalah. Atau tidak penetrasi dalam berhubungan.

Sebesar apa faktor lingkungan mempengaruhi kecenderungan heteroseksual menjadi LGBT?

Kalau bisa dibilang 50-50 persen. Itu pun jika memang Anda (lelaki) bergaul dan hidup dengan mereka sejak kecil dalam waktu lama, ditambah dengan Anda dominan mempunyai hormon progesteron, dan dilihat dari makanan yang Anda konsumsi mempengaruhi dan menguatkan hormone itu, bisa jadi. Salah satunya harus ada dorongan hormonal. Kalau Anda mendadak bergaul dengan LGBT, Anda akan tertular? Nggak mungkin. Jika terjadi kebingungan identitas, harus diterapi.

Anak-anak bisa mencontoh perilaku orang dewasa. Dikhawatirkan mereka bisa menjadi ‘pencontoh baik’ kaum LGBT. Pandangan Anda seperti apa?

Peran orang tua ini yang harus bermain. Pengetahuan soal LGBT harus jelas. Anak diajak bicara dan diskusi baik-baik, jangan cuma dilarang-larang. Sama seperti anak bertanya soal seks, tapi dilarang “jangan… jangan”. Akhirnya si anak nyari sendiri.

Orangtua harus terbuka soal orientasi seks. Sebab lebih celaka di internet ini penjelasan soal orientasi seksual dan seksualitas sudah dimanipulasi agar si pembaca bisa terangsang.

Jika kelompok LGBT ini sekadar mengekspresikan diri, tidak apa-apa. Yang tidak boleh itu mengajak-mengajak untuk menjadi seperti mereka. Ini juga berlaku untuk heteroseksual yang ingin menjadi LGBT seperti mereka. Tidak dibenarkan. Kalau hanya mengekspresikan identitas dari sisi berpakaian, tidak masalah.

Anak-anak melihat perlaku LGBT, sejauh mana mereka bisa mencontoh?

Kita tidak perlu munafik karena separuhnya orang di TV seperti itu. Sebut nama artis, saya bisa tahu mana LGBT dan mana yang bukan. Tiap hari di TV, kenapa tidak protes itu? Bahkan orangtuanya juga kektawa-ketawa. Bahkan di acara Ludruk, transgender itu bagian dari budaya kita. Orang-orang dulu tidak pernah khawatir, mengapa sekarang kita khawatir.

Bagaimana untuk menangkap itu?

Orangtua harus mempunyai penyetahuan soal LGBT. Dan bisa menjelaskan dengan baik, tidak menggurui, dan tidak menganggap mereka sebagai ‘masalah besar’. Jangan-jangan si anak itu mempunyai potensi menjadi gay atau lesbian. Ini perlu hati-hati.

Biografi singkat Irwanto

Profesor Drs. Irwanto, M.Sc, Ph.D lahir di Purwodadi 28 Februari 1957. Ayah dua anak ini memperoleh gelar sarjana psikologi dari Univesitas Gajah Mada Yogyakarta. Pascasarjananya dia dapatkan di Child Development and Family Studies, Purdue University, Amerika Serikat. Begitu juga gelar Ph.D. Namun dia mendapatkan beasiswa postdoctoral di Department of Community Health, University of Illinois di Chicago AS.

Sejak tahun 80-an Irwanto konsentrasi di bidang pendidikan dan penelitian di berbagai negara seperti di Austraia dan Switzerland. Sejak itu, Irwanto menjadi pengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta hingga dinobatkan sebagai guru besar ilmu psikologi di kampus itu.

Selain bekerja di kampus Atma Jaya, Irwanto juga bekerja untuk lembaga PBB, UNDP dan UNICEFF khusus di bidang penanggulangan HIV/AIDS. Dia juga konsentrasi mengkaji masalah-masalah LGBT dari sisi ilmu psikologi.

Kepakarannya dihargai dengan mendapatkan penghargaan nasional dan internasional sejak taun 1988. Terakhir Irwanto mendalatkan penghargaan National Narcotic Board Award for pioneering work on providing assistance to Injecting Drug Users tahun 2005. Puluhan buku dia sudah terbitan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI