Prof Irwanto: Asal Mula LGBT dari Sisi Psikologi dan Kedokteran

Senin, 22 Februari 2016 | 07:00 WIB
Prof Irwanto: Asal Mula LGBT dari Sisi Psikologi dan Kedokteran
Guru Besar Fakultas Psikologi Atma Jaya, Irwanto. (suara.com/Periansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apakah medis atau terapi tertentu bisa menghilangkan orientasi seksual?

Tidak bisa dan tidak ada caranya. Yang ada psikiater mencari kecenderungan orientasi seksual serta identitas gender (SOGI). Tapi ini persoalan ekspresi saja. Tiap orang bisa mengekspresikan diri sendiri. Memang pada akhirnya ekspresi identitas gender itu kalau diketahui mempuyai kecenderungan kewanitaan untuk lelaki, banyak dianggap sebagai penyimpangan. Bukan penyimpangan yang diartikan sebagai penyakit. Tapi menyimpang dari norma yang berlaku di kawasan dia tinggal.

Lalu, basis ilmiah atau keilmuan apa yang kuat menyebutkan asal mula LGBT ini?

Banyak, tapi kan antara yang pro dan kontra saling mematahkan. Karena soal LGBT ini bukan persoalan dari abad 20. Bahkan dari zaman nabi sudah ada kaum sodom, karena perilaku di sana dicampur dengan pengaruh alkohol.

Basis keilmuan apa yang kuat jelaskan LGBT terbentuk dari oleh faktor biologis?

Neurologi. Memang banyak teori yang menjelaskan soal perkembangan orientasi seksual dari perkembangan saraf janin. Jadi ini persoalan gen. Dalam penelitian yang dilakuan berpuluh tahun itu menunjukan area kecil di hipotalamus otak pada laki-laki homoseksual ukurannya dua kali lebih besar dibandingkan laki-laki heteroseksual. Sementara tidak ada bukti kuat jika homoseksual ditimbulkan dari pengaruh lingkungan dan proses belajar.

Penelitian itu mengatakan otak manusia dapat membentuk sifat maskulin atau juga feminine. Ini terlepas dari bentuk seksual fisik yang mempunyai vagina atau juga penis. Ketika janin berkembang, identitas gender dan diferensiasi seksual dari alat kelamin berkembang secara mandiri dari satu sama lain.

Ketakutan lain dari penolak LGBT adalah kelompok ini dianggap sebagai potensi penyebar virus HIV/AIDS?

Lihat statistiknya di Indonesia pengidap HIV/AIDS yang tertinggi pada pasangan heteroseksual, bukan homoseksual.

HIV AIDS di kalangan LGBT pernah tinggi karena didorong lifestyle atau gaya hidup. Jumlahnya sempat sepertiga dari kasus infeksi. Dulu HIV dikatakan sebagai penyakit homoseksual, tapi setelah diteliti secara mendalam ternyata heteroseksual lebih tinggi. Saat ini LGBT menyumbang 15 persen yang terinveksi HIV/AIDS. Karena mereka saat ini aktif mencegah penularan di antara mereka sendiri.

Bagaimana cara penularan HIV/AIDS di kalangan LGBT dari sisi hubungan seksual?

LGBT yang berhubungan seksual sesama jenis tudak otomatis menularkan atau menimbulkan AIDS. Sama sepeti heteroseksual. Asalkan dilakukan dengan pasangan yang sama, meskipun gay berhubungan dengan melakukan oral dimasukan ke dubur.

Yang jadi masalah kalau salah satu dari mereka sudah terinfeksi HIV. Karena hubungan dengan dubur selalu membuat luka gesekan. Luka itu lah yang menyebabkan darah mengalir ke tubuh. Tanpa itu nggak masalah, apalagi kalau pakai kondom.

Bagaimana dengan lesbian?

Lesbian tidak pernah penetrasi, mereka hanya oral. Kasus HIV AIDS lesbian tidak ada, nol.

Bagaimana hubungan seksual yang aman untuk kalangan LGBT agar tidak menyebarkan virus HIV/AIDS?

Harus pasangan seks yang tetap. Tapi ini realitasnya sulit, karena lagi-lagi ini persoalan lifestyle. Bergaul banyak orang dan merasa tidak mempunyai tanggungan kelahiran dan kehamilan. Sehingga hubungan seks menjadi bebas. Tetapi kalau dengan pasangan yang sama dan pakai kondom, tidak pernah ada masalah. Atau tidak penetrasi dalam berhubungan.

Sebesar apa faktor lingkungan mempengaruhi kecenderungan heteroseksual menjadi LGBT?

Kalau bisa dibilang 50-50 persen. Itu pun jika memang Anda (lelaki) bergaul dan hidup dengan mereka sejak kecil dalam waktu lama, ditambah dengan Anda dominan mempunyai hormon progesteron, dan dilihat dari makanan yang Anda konsumsi mempengaruhi dan menguatkan hormone itu, bisa jadi. Salah satunya harus ada dorongan hormonal. Kalau Anda mendadak bergaul dengan LGBT, Anda akan tertular? Nggak mungkin. Jika terjadi kebingungan identitas, harus diterapi.

Anak-anak bisa mencontoh perilaku orang dewasa. Dikhawatirkan mereka bisa menjadi ‘pencontoh baik’ kaum LGBT. Pandangan Anda seperti apa?

Peran orang tua ini yang harus bermain. Pengetahuan soal LGBT harus jelas. Anak diajak bicara dan diskusi baik-baik, jangan cuma dilarang-larang. Sama seperti anak bertanya soal seks, tapi dilarang “jangan… jangan”. Akhirnya si anak nyari sendiri.

Orangtua harus terbuka soal orientasi seks. Sebab lebih celaka di internet ini penjelasan soal orientasi seksual dan seksualitas sudah dimanipulasi agar si pembaca bisa terangsang.

Jika kelompok LGBT ini sekadar mengekspresikan diri, tidak apa-apa. Yang tidak boleh itu mengajak-mengajak untuk menjadi seperti mereka. Ini juga berlaku untuk heteroseksual yang ingin menjadi LGBT seperti mereka. Tidak dibenarkan. Kalau hanya mengekspresikan identitas dari sisi berpakaian, tidak masalah.

Anak-anak melihat perlaku LGBT, sejauh mana mereka bisa mencontoh?

Kita tidak perlu munafik karena separuhnya orang di TV seperti itu. Sebut nama artis, saya bisa tahu mana LGBT dan mana yang bukan. Tiap hari di TV, kenapa tidak protes itu? Bahkan orangtuanya juga kektawa-ketawa. Bahkan di acara Ludruk, transgender itu bagian dari budaya kita. Orang-orang dulu tidak pernah khawatir, mengapa sekarang kita khawatir.

Bagaimana untuk menangkap itu?

Orangtua harus mempunyai penyetahuan soal LGBT. Dan bisa menjelaskan dengan baik, tidak menggurui, dan tidak menganggap mereka sebagai ‘masalah besar’. Jangan-jangan si anak itu mempunyai potensi menjadi gay atau lesbian. Ini perlu hati-hati.

Biografi singkat Irwanto

Profesor Drs. Irwanto, M.Sc, Ph.D lahir di Purwodadi 28 Februari 1957. Ayah dua anak ini memperoleh gelar sarjana psikologi dari Univesitas Gajah Mada Yogyakarta. Pascasarjananya dia dapatkan di Child Development and Family Studies, Purdue University, Amerika Serikat. Begitu juga gelar Ph.D. Namun dia mendapatkan beasiswa postdoctoral di Department of Community Health, University of Illinois di Chicago AS.

Sejak tahun 80-an Irwanto konsentrasi di bidang pendidikan dan penelitian di berbagai negara seperti di Austraia dan Switzerland. Sejak itu, Irwanto menjadi pengajar di Universitas Atma Jaya Jakarta hingga dinobatkan sebagai guru besar ilmu psikologi di kampus itu.

Selain bekerja di kampus Atma Jaya, Irwanto juga bekerja untuk lembaga PBB, UNDP dan UNICEFF khusus di bidang penanggulangan HIV/AIDS. Dia juga konsentrasi mengkaji masalah-masalah LGBT dari sisi ilmu psikologi.

Kepakarannya dihargai dengan mendapatkan penghargaan nasional dan internasional sejak taun 1988. Terakhir Irwanto mendalatkan penghargaan National Narcotic Board Award for pioneering work on providing assistance to Injecting Drug Users tahun 2005. Puluhan buku dia sudah terbitan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI