Suara.com - Jumat (1/1/2016) siang Dandhy Dwi Laksono dan Suparta Arz atau Ucok disiram dengan air di Kantor WatchdoC di Pondok Gede, Bekasi. Belasan orang menyambut kepulangan mereka setelah 1 tahun penuh berkeliling Indonesia.
Durian, madu hutan Badui Dalam, dan rawon buntut goreng Jawa Timur menjadi hidangan pesta kepulangan mereka dari ‘Ekspedisi Indonesia Biru’. Dalam ekspedisi itu, Dandhy dan Ucok merekam Indonesia dari sisi berbeda. Ternyata di balik keindahan Ibu Pertiwi, ada realita menyedihkan di negara yang selalu mengklaim kaya akan sumber daya alam.
Selama setahun itu, Dandhy yang juga pendiri WatchdoC Documentary Maker itu menempuh jarak lebih dari 20.000 km menggunakan motor bebek 125 cc. Begitu juga dengan Ucok. Mereka memulai perjalanan dari Badui, Banten menelusuri Jawa, Bali, NTB, Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Aceh, Sumatera dan kembali ke Badui.
Banyak cerita menarik di perjalanan itu. Dari hasil bidikan kamera mereka, sudah 6 film yang sudah jadi. Di antaranya ‘Baduy’, ‘70 Tahun Merdeka’, ‘Lewa di Lembata’, ‘Kala Benoa’, ‘Samin VS Semen’, dan ‘Kasepuhan Ciptagelar’.
Kata Dandhy, perjalanan itu bukan sekadar ‘gaya-gayaan’, melainkan mencari sisi lain dari Indonesia. Uniknya mereka merangkum cerita tersebut tanpa pesanan dan kepentingan. Sebab tim WatchdoC menggunakan kocek pribadi untuk membiayai perjalanan itu. ‘Ekspedisi Indonesia Biru’ tanpa sponsor.
“Setelah 5 tahun mengamati ini, kayaknya sesekali boleh juga WatchdoC membuat dokumenter yang tidak berbasis sponsor atau pesanan siapa pun. Bahkan tidak berbasis peluang, ini akan dibeli siapa pun. Bahkan tidak memikirkan peluang cocok untuk TV apa tidak. Kita bikin saja, tanpa memikirkan penting,” kata mantan jurnalis SCTV itu.
Dandhy sudah lama malang melintang di dunia dokumenter. Lewat karya-karyanya, dia mengkritik televisi saat ini yang dimiliki konglomerat dan ‘bos’ partai politik. Dia jengah dengan campur tangan kepentingan yang membuat produk jurnalistik TV tidak ‘renyah’. Sudah pasti, klaim Dandhy, produk jurnalisme mereka tidak independen dan mungkin saja ada yang disembunyikan.
Di sisi lain tidak mudah membuat produk dokumenter ‘populer’ yang cocok masuk televisi. Bahkan ada produk dokumenter Dandhy yang ditolak tayang di TV karena terlalu ‘keras’, padahal isinya bagus. Dia sadar perlu inovasi dan trik agar produk dokumenternya bisa dinikmati penonton TV. Bagaimana caranya?
Simak kisah perjalanan ‘Ekspedisi Indonesia biru’ Dandhy dan Ucok yang diceritakan kepada suara.com di Kantor WatchdoC di Bekasi pekan lalu:
Selama setahun perjalanan ‘Ekspedisi Indonesia Biru’, apa yang kalian bawa?
Secara material ada 12 terabyte video tentang 3 isu utama yang kami angkat. Pertama, isu keadilan sosial ekonomi, kearifan budaya, dan isu lingkungan. Dari 12 terabyte itu, setelah kami breakdown ada 33 bakal calon film documenter. Saat ini baru jadi 6 film dan sudah diupload ke Youtube.
Bagaimana latarbelakang perjalanan ‘Ekspedisi Indonesia Biru’?
Kami sehari-hari memproduksi film dokumenter, ada beberapa topik yang kami anggap penting tapi tidak dianggap penting oleh pihak lain. Kami produksi dokumenter untuk TV. Lalu kami melihat dimensi lain yang lebih dalam, mungkin nilainya tidak besar secara komersial.
Setelah 5 tahun mengamati ini, kayaknya sesekali boleh juga WatchdoC membuat dokumenter yang tidak berbasis sponsor atau pesanan siapa pun. Bahkan tidak berbasis peluang ini akan dibeli siapa pun. Bahkan tidak memikirkan peluang cocok untuk TV apa tidak. Kita bikin saja, tanpa memikirkan penting. Kita share di Youtube tanpa mempertimbangkan itu semua.
Anda mengangkat isu keadilan sosial ekonomi, kearifan budaya, dan isu lingkungan. Mengapa memilih 3 tema besar itu?
Konflik sumber daya alam baru masuk di headline media setelah ada konflik fisik dan kekerasan. Mungkin ada bencana alam besar, tapi detail konflik serhari-hari tidak terlalu penting untuk media. Padahal itu fundamental ekonomi masyarakat.
Saya melihat sawah orang dikonversi menjadi tambang semen di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah. Lalu areal tangkap nelayan di Teluk Benoa ingin direklamasi. Hutan sagu di Papua ingin dikonversi menjadi sawah, padahal sagu pangan utama.
Praktik yang sehari-hari terjadi karena tidak ada konflik berdarah-darah, nggak bisa masuk ke media. Jadi memang akhirnya masyarakat ini selalu memikirkan bagaimana caranya suara mereka didengar. Begitu mereka tidak mempunyai saluran, mereka berpikir hanya satu cara untuk bisa didengar, yaitu kekerasan, penyandraan aset perusahaan. Begitu itu terjadi, di sana jebakan kriminalisasinya. “Nah loh ini yang gue mau,” kata negara. Itu dilakukan dengan keterpaksaan.
Apa kesimpulan yang Anda dapat di penelusuran perjalanan setahun itu?
Selama perjalanan setahun itu kami mengkontruksi ada 7 hama masyarakat. Pertama, pejabat publik dan elit politik yang tercemar kepentingan tertentu. Kedua, modal atau korporasi yang ekspansif. Ketiga, aparat sipil atau bersenjata yang memburu rente. Keempat, milisi atau preman upahan yang berkedok organisasi masyarakat. Kelima, kalangan intelektual kampus dan agamawan. Keenam, media massa atau jurnalis yang melacurkan profesi. Ketujuh, Lembaga Swadaya Masyarakat dibagian ‘kue’ CSR.
Dokumentasi ini diperlukan untuk menyeimbankan arus informasi yang tidak seimbang. Sebab masyarakat tidak punya apa-apa. Beruntung ada sosial media, kemarahan dituangkan di sana dengan marah-marah dan jangan harapkan bahasa kesopanan. Itu lah suara publik.
Bisa Anda ceritakan beberapa peristiwa yang menarik ketahui?
Di semua tempat di yang kami ekstrak di keenam film itu mewakilkan hama-hama itu. Misalnya mulai dari Pengungan Kendeng. Di sana ada konflik pabrik semen dengan petani. Sangat terlihat bagaimana masyarakat tidak mendapat sosialisasi awal mula ada pabrik semen di sana yang memerlukan tanah pertanian produktif untuk bahan baku semen. Ketika masyarakat menyampaikan pendapat dihalangi polisi dengan alasan berbagai hal. Mereka menggugat ke PTUN, mereka kalah karena alasan kadaluarsa.
Dosen UGM yang menjadi saksi ahli ternyata tidak pernah turun ke lapangan. Lucunya, dua saksi ahli diterima oleh hakim dan PT Semen Indonesia dimenangkan. Mereka juga frustasi dengan media lokal Jawa Tengah, wartawannya ikut field trip semen. Preman mengintimidasi warga.
Soal kasus reklamasi Teluk Benoa, sama persis kasusnya. Bedanya di kasus semen ‘tukang stempelnya’ UGM, di kasus Teluk Benoa Bali itu Universitas Udayana. Resources masyarakat ini lemah. Tapi ini disebut sebagai gerakan sosial terbesar di Bali dengan jumlah ribuan. Tiap minggu mereka punya stamina yang dahsyat. Tapi dianggap kosong dan lama-lama hilang.
Jadi mereka mikir, “harus ada yang gue bakar kali yah biar ini menunjukkan serius”. Tapi cara-cara damai nggak mempan. Misal DPR mengatakan setuju reklamasi, lalu apa tolak ukur wakil rakyat jika suara yang mewakilkan mereka saja mengatakan tidak.
Di Baduy, mereka mempercayai tatanan sosialnya yang terbaik dan bisa mendukung kehidupan mereka. Di antaranya melarang penggunaan listrik, mekanisme pertanian, melarang pakai alas kaki, menjual beras dan melarang sekolah. Dikasih sekolah gratis, listrik gratis, traktor gratis, jalan aspal gratis, kalau mereka bilang “nggak”, mau apa? Padahal itu baik semua. Mereka punya value kebahagiaan dan kecukupan sendiri. Ada nalar dasar yang fundamental.
Di Papua ada proyek sawah 1,2 juta hektar yang dicanangkan Presiden Joko Widodo. Yang sebenarnya meneruskan program SBY-Boediono terdahulu. Meski pun sejak tahun 1954 Belanda sudah bikin sawah, orang Papua tidak pindah makan beras, tetap makan sagu. Kalau pun mereka makan beras, karena memang aksesnya lebih mudah mendapatkan beras. Ini konsep pembangunan yang nggak nyambung. Ada lagi pembangunan pabrik sagu di Sorong berkapasitas produksi 100 ton perhari, sama dengan 1000 batang sagu. Ini juga kami kritik. Karena setelah kami geledah, ternyata pemerintah tengah mempersiapkan rantai suplay sagu untuk industri di Jawa.
Ujungnya bukan membicarakan pangan lokal, tapi sedang mensuplaly bahan bentah untuk tepung roti, industri roti di Jawa. Sagu yang ada bukan untuk orang Papua. Karena pabriknya jauh di Sorong, bukannya industri rumahan yang dipakai. Sementara kawasan lain tidak bisa mengakses, transportasi tidak memadai. Harga akan mahal kalau sampai kota lain selain Sorong.
Di lihat dari foto dan video yang diunggah WatchdoC (https://watchdoc.co.id), Anda hanya membawa motor dengan keamanan yang minim. Apa pertimbangan Anda membawa motor itu?
Pertama soal logistik. Karena nggak ada sponsor, kami pakai tabungan 5 tahun, kami habiskan setahun. Uang yang kami habiskan selama setahun itu sekitar Rp300 juta lebih sedikit. Kalau kami bawa mobil, ongkos lebih mahal karena untuk membayar penyeberangan antar pulau. Kedua, kalau bawa mobil kami kami tidak bisa penetrasi ke daerah yang tidak terjangkau. Dan tidak semua jalan bisa dilalui mobil.
Ketiga, rugi pengalaman kalau pakai mobil. Kalau naik mobil, kita akan tidur di perjalanan. Kalau naik motor kita dipaksa melek dan mencium suasana sekitar. Keempat, kalau naik mobil panca indra kita tidak terpakai. Kalau naik motor kita bisa cium aroma ikan di pantai dan menyimpulkan ini kampung nelayan. Kalau di hutan, kita cium aroma cengkeh dan disimpulkan ini kawasan penghasil cengkeh. Tapi di saat yang sama kita melihat batubara, maka ada yang salah. Karena produk ekonominya cengkeh tapi kok diarahkan ke tambang. Di sana kita berhenti melihat, mencium. Kami bisa membuat konstruksi sosial di daerah yang kami lewati.
Anda menempuh 20.000 km jalan dan berkunjung ke berbagai tempat. Seperti apa persiapan yang Anda dan Ucok lakukan?
Sebanyak 40 persen rencana rute kami riset, 60 persen sisanya spontan. Teman-teman jurnalis lokal, lembaga sosial dan lembaga agama memberikan petunjuk ke mana arah kami harus jalan. Kami selalu melewati pintu teman-teman lokal itu.
Kami hanya menyuarakan ulang isu-isu yang sudah diungkap media. Kami hanya membantu untuk terdokumentasikan, dan mereka pun butuh teman. Nggak mungkin kita riset mendalam dalam perjalanan yang hanya setahun.
Perlengkapan logistik apa saja saja yang dibawa?
Saat berangkat membawa 6 kamera, termasuk ponsel. Drone dan sebagai macam. Kami membawa ponsel dengan resolusi tinggi agar dalam segala macam keadaan bisa digunakan. Ada 18 baterai yang harus diisii tiap hari di mana pun kalau ada listrik. Kami menginap di tempat liputan di mana pun itu. Kalau di perjalanan mencari penginapan.
Hanya di lokasi tertentu saja buka tenda. Misal di kaki Semeru untuk ambil gambar Semeru. Tapi untuk pertimbangan alat kami menginap di hotel. Selebihnya tidur di masjid, TPA, kebon kepala dan segala macam.
Apakah tantangan terberat dalam perjalanan itu?
Masyarakat mengidentikan kamera degan media besar. Kalau kami datang biasanya ditanya dari media mana. Kami bilang bukan dari media mana-mana, tapi dicurigai dikira intelijen. Tapi kami terbantu dengan bantuan teman-teman lokal. Mereka sudah kenal kami sudah bikin karya apa saja.
Bahkan banyak lokasi di 6 bulan terakhir sudah banyak kenal kami. Tapi 6 bulan pertama yang berat. Saya menyebut pembuat dokumenter.
Keadaan produk tontonan televisi bnayak banyak mengkritik tidak mendidik. Sejauhmana peran dokumenter dengan kondisi media, khususnya televisi saat ini?
Ini menjadi pertimbangan ketika saya dan kawan-kawan merintis WatchdoC, ruang kebudayaan di industri media sudah sangat jengah dengan kepentingan ratting dan iklan. Memang media tidak hidup tanpa iklan. Tapi media yang di kepalanya hanya uang dan keuntungan, juga salah. Karena basis bisnis media bukan itu, meski belum ada contoh sukses media yang bertahan tanpa iklan. Bahkan di Inggris ada BBC, dan NHK di Jepang, sebagai TV publik. Masyarakat membayar iuran.
Ruang tontotan Indonesia diokupasi sekali sama industri. Ruangan pengetahuan, sosial, isu minoritas tidak disedian. Bahkan dokumenter pun tidak terjangkau. Kebanyakan dokumenter di TV saat ini hanya memperlihatkan sisi keindahan dan eksotisme Indonesia. Tapi tidak mengambil sisi lain di balik itu.
Misal orang Dayak yang korban sawit, atau orang Baduy yang melawan terhadap pertanian organic. Jadi sangat permukaan dan cenderung dieksploitasi. Jadi perlu ada alternatif tontonan. Di mana? Yah di TV juga, karena pertempurannya di TV.
Kami membuat production house dokumenter untuk konsumen TV. Jadi kami adu nyali. Bagaimana kita mengkritik konsep tontonan di TV, tapi kita juga membuat tontonan yang cocok untuk TV. Itu pekerjaan sulit. Maka tidak heran, WatchdoC untuk buat dokumenter 11 episode saja butuh 3 tahun. Bayangkan ada program di TV setiap hari tayang dengan durasi 4 jam. Kami 3 tahun hanya 11 produksi.
Memang tidak semua TV yang mau, sedikit sekali. Kami berupa berinovasi, bagaimana membuat konten yang kuat memiliki knowledge, social messege, dan dibuat populer untuk TV.
Bagaimana membuat dokumenter yang laku di TV dalam kemasan populer?
Dokumenter sudah lama disaksikan di Indonesia, cuma tidak disebut dokumenter. TV di Indonesia dulu memproduksi dokumenter dengan berbagai nama. Tapi belakangan produksinya hanya dibuat renyah saja. Nggak pede dengan posisioningnya, program pengetahuan dan perbincangan sosial. Selalu kemasan dianggap lebih baik dari isi.
Misal, pemilihan lokasi didekatkan dengan pemandangan yang indah, tapi itu tidak salah. Tapi agak terlalu sering seperti itu. Akhirnya pemanis seperti itu dijadikan ‘menu utama’ dokumenter. Ini karena program itu selalu dibandingkan dengan program reality show, dibenturkan dengan acara gossip di jam TV yang sama. Ini sama saja membandingkan program National Geograpic dengan program K-pop, ini dua segmen berbeda.
Dalam hal ini kami menyeimbangkan, apakah ingin bertarung di front konvensional atau di linier TV atau juga di internet. Karena fenomena TV masih sangat kuat. Sebab internet pun fenomena masyarakat urban saja.
Saya keliling Indonesia, tidak ada orang ngomong internet. Nggak ada orang ngomongin 4G, sudah bagus sinyal kencang di Sumbawa, atau juga di Merauke yang ada listrik saja masih syukur. Jadi pengaruh TV memang sangat kuat. Dia menjadi rujukan utama karena beli korang tidak sanggup dan radio sudah ditinggalkan. Makanya kami disitribusi produk ke TV dan internet.
Pegiat dokumenter seperti Anda tidak banyak, karena alasan tidak banyak ruang dan budget. Jika begini, tidak akan banyak pegian dokumenter yang menciptakan produk bermutu. Apa yang harus disiasati untuk pemain baru dokumenter?
Dokumenter karakternya mirip dengan jurnalisme. Jurnalisme ini jenis produk sosial budaya yang tidak selalu fix dengan logika bisnis. Seperti minyak dan air. Jurnalisme yang baik, konsisten dan istikomah kadang menabrak logika bisnis. Sama juga dengan dokumenter.
Dokumenter yang disiplin kadang tidak bisa menghasilkan uang. Kesimpulan saya setelah 5 tahun merintis WatchdoC ini, dokumenter kalau ditujudkan medium budaya, jangan mikir untung. Kita sebagai film maker mencari nafkah di bidang lain.
Jadi produk dokumenter ini tidak bisa hidup dan besar?
Bisa, contohnya National Geographic masih bisa hidup. Jadi ini persoalan market education, bagaimana penonton terbiasa dengan produk dokumenter jadi ada penghargaan dan dia punya nilai secara ekonomi.
Biografi singkat Dandhy Laksono
Dandhy Dwi Laksono lahir 29 Juni 1976. Dia merupakan video jurnalis yang memperoleh gelar sarjana hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran. Dandhy lama malang melintang di dunia video jurnalis. Dia pernah menjadi produser di program Liputan 6 SCTV, jurnalis lepas Radio ABC Australia, dan di Head of Assignment Desk di RCTI. Lelaki tambun itu juga pernah berkarir di radio RAMAKO, SMART FM dan PAS FM.
Selama berkarir sebagai video jurnalis, Dandhy sudah memproduksi puluhan dokumenter. Dokumenter itu ditayangkan di media nasional seperti Kompas TV dan Metro TV. Dia juga aktif menulis buku sejak 2006. Sebut saja sejumlah karyanya, ‘Jurnalisme Investigasi’, ‘Indonesia for Sale’, ‘Menyingkap Fakta: Panduan Liputan Investigasi Media Cetak, Radio, dan Televisi’, dan ‘Dalam Pusaran Sejarah: Catatan Tentang Djoko Utomo’.
Karya-karya Dandhy juga mendapatkan penghargaan. Terakhir dia mendapatkan People Choice Award for “Alkinemokiye”, Screen Below the Wind, Southeast Asia Documentary Festival tahun 2012. Saat ini Dandhy menjadi pendiri sekaligus CEO dari WatchdoC Documentary Maker. Rumah produksi audio visual itu didirikan sejak 2009 bersama Andhy Panca Kurniawan. Ratusan judul dokumenter sudah ditelurkan. Termasuk hampir 1.000 feature TV. Selain memproduksi dokumenter ‘idealis’, WatchdoC juga membuat video komersial untuk perusahaan swasta.
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/1fJuJ28WZ_Q" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>