Anda menempuh 20.000 km jalan dan berkunjung ke berbagai tempat. Seperti apa persiapan yang Anda dan Ucok lakukan?
Sebanyak 40 persen rencana rute kami riset, 60 persen sisanya spontan. Teman-teman jurnalis lokal, lembaga sosial dan lembaga agama memberikan petunjuk ke mana arah kami harus jalan. Kami selalu melewati pintu teman-teman lokal itu.
Kami hanya menyuarakan ulang isu-isu yang sudah diungkap media. Kami hanya membantu untuk terdokumentasikan, dan mereka pun butuh teman. Nggak mungkin kita riset mendalam dalam perjalanan yang hanya setahun.
Perlengkapan logistik apa saja saja yang dibawa?
Saat berangkat membawa 6 kamera, termasuk ponsel. Drone dan sebagai macam. Kami membawa ponsel dengan resolusi tinggi agar dalam segala macam keadaan bisa digunakan. Ada 18 baterai yang harus diisii tiap hari di mana pun kalau ada listrik. Kami menginap di tempat liputan di mana pun itu. Kalau di perjalanan mencari penginapan.
Hanya di lokasi tertentu saja buka tenda. Misal di kaki Semeru untuk ambil gambar Semeru. Tapi untuk pertimbangan alat kami menginap di hotel. Selebihnya tidur di masjid, TPA, kebon kepala dan segala macam.
Apakah tantangan terberat dalam perjalanan itu?
Masyarakat mengidentikan kamera degan media besar. Kalau kami datang biasanya ditanya dari media mana. Kami bilang bukan dari media mana-mana, tapi dicurigai dikira intelijen. Tapi kami terbantu dengan bantuan teman-teman lokal. Mereka sudah kenal kami sudah bikin karya apa saja.
Bahkan banyak lokasi di 6 bulan terakhir sudah banyak kenal kami. Tapi 6 bulan pertama yang berat. Saya menyebut pembuat dokumenter.
Keadaan produk tontonan televisi bnayak banyak mengkritik tidak mendidik. Sejauhmana peran dokumenter dengan kondisi media, khususnya televisi saat ini?
Ini menjadi pertimbangan ketika saya dan kawan-kawan merintis WatchdoC, ruang kebudayaan di industri media sudah sangat jengah dengan kepentingan ratting dan iklan. Memang media tidak hidup tanpa iklan. Tapi media yang di kepalanya hanya uang dan keuntungan, juga salah. Karena basis bisnis media bukan itu, meski belum ada contoh sukses media yang bertahan tanpa iklan. Bahkan di Inggris ada BBC, dan NHK di Jepang, sebagai TV publik. Masyarakat membayar iuran.
Ruang tontotan Indonesia diokupasi sekali sama industri. Ruangan pengetahuan, sosial, isu minoritas tidak disedian. Bahkan dokumenter pun tidak terjangkau. Kebanyakan dokumenter di TV saat ini hanya memperlihatkan sisi keindahan dan eksotisme Indonesia. Tapi tidak mengambil sisi lain di balik itu.
Misal orang Dayak yang korban sawit, atau orang Baduy yang melawan terhadap pertanian organic. Jadi sangat permukaan dan cenderung dieksploitasi. Jadi perlu ada alternatif tontonan. Di mana? Yah di TV juga, karena pertempurannya di TV.
Kami membuat production house dokumenter untuk konsumen TV. Jadi kami adu nyali. Bagaimana kita mengkritik konsep tontonan di TV, tapi kita juga membuat tontonan yang cocok untuk TV. Itu pekerjaan sulit. Maka tidak heran, WatchdoC untuk buat dokumenter 11 episode saja butuh 3 tahun. Bayangkan ada program di TV setiap hari tayang dengan durasi 4 jam. Kami 3 tahun hanya 11 produksi.
Memang tidak semua TV yang mau, sedikit sekali. Kami berupa berinovasi, bagaimana membuat konten yang kuat memiliki knowledge, social messege, dan dibuat populer untuk TV.
Bagaimana membuat dokumenter yang laku di TV dalam kemasan populer?
Dokumenter sudah lama disaksikan di Indonesia, cuma tidak disebut dokumenter. TV di Indonesia dulu memproduksi dokumenter dengan berbagai nama. Tapi belakangan produksinya hanya dibuat renyah saja. Nggak pede dengan posisioningnya, program pengetahuan dan perbincangan sosial. Selalu kemasan dianggap lebih baik dari isi.
Misal, pemilihan lokasi didekatkan dengan pemandangan yang indah, tapi itu tidak salah. Tapi agak terlalu sering seperti itu. Akhirnya pemanis seperti itu dijadikan ‘menu utama’ dokumenter. Ini karena program itu selalu dibandingkan dengan program reality show, dibenturkan dengan acara gossip di jam TV yang sama. Ini sama saja membandingkan program National Geograpic dengan program K-pop, ini dua segmen berbeda.
Dalam hal ini kami menyeimbangkan, apakah ingin bertarung di front konvensional atau di linier TV atau juga di internet. Karena fenomena TV masih sangat kuat. Sebab internet pun fenomena masyarakat urban saja.
Saya keliling Indonesia, tidak ada orang ngomong internet. Nggak ada orang ngomongin 4G, sudah bagus sinyal kencang di Sumbawa, atau juga di Merauke yang ada listrik saja masih syukur. Jadi pengaruh TV memang sangat kuat. Dia menjadi rujukan utama karena beli korang tidak sanggup dan radio sudah ditinggalkan. Makanya kami disitribusi produk ke TV dan internet.
Pegiat dokumenter seperti Anda tidak banyak, karena alasan tidak banyak ruang dan budget. Jika begini, tidak akan banyak pegian dokumenter yang menciptakan produk bermutu. Apa yang harus disiasati untuk pemain baru dokumenter?
Dokumenter karakternya mirip dengan jurnalisme. Jurnalisme ini jenis produk sosial budaya yang tidak selalu fix dengan logika bisnis. Seperti minyak dan air. Jurnalisme yang baik, konsisten dan istikomah kadang menabrak logika bisnis. Sama juga dengan dokumenter.
Dokumenter yang disiplin kadang tidak bisa menghasilkan uang. Kesimpulan saya setelah 5 tahun merintis WatchdoC ini, dokumenter kalau ditujudkan medium budaya, jangan mikir untung. Kita sebagai film maker mencari nafkah di bidang lain.
Jadi produk dokumenter ini tidak bisa hidup dan besar?
Bisa, contohnya National Geographic masih bisa hidup. Jadi ini persoalan market education, bagaimana penonton terbiasa dengan produk dokumenter jadi ada penghargaan dan dia punya nilai secara ekonomi.
Biografi singkat Dandhy Laksono
Dandhy Dwi Laksono lahir 29 Juni 1976. Dia merupakan video jurnalis yang memperoleh gelar sarjana hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran. Dandhy lama malang melintang di dunia video jurnalis. Dia pernah menjadi produser di program Liputan 6 SCTV, jurnalis lepas Radio ABC Australia, dan di Head of Assignment Desk di RCTI. Lelaki tambun itu juga pernah berkarir di radio RAMAKO, SMART FM dan PAS FM.
Selama berkarir sebagai video jurnalis, Dandhy sudah memproduksi puluhan dokumenter. Dokumenter itu ditayangkan di media nasional seperti Kompas TV dan Metro TV. Dia juga aktif menulis buku sejak 2006. Sebut saja sejumlah karyanya, ‘Jurnalisme Investigasi’, ‘Indonesia for Sale’, ‘Menyingkap Fakta: Panduan Liputan Investigasi Media Cetak, Radio, dan Televisi’, dan ‘Dalam Pusaran Sejarah: Catatan Tentang Djoko Utomo’.
Karya-karya Dandhy juga mendapatkan penghargaan. Terakhir dia mendapatkan People Choice Award for “Alkinemokiye”, Screen Below the Wind, Southeast Asia Documentary Festival tahun 2012. Saat ini Dandhy menjadi pendiri sekaligus CEO dari WatchdoC Documentary Maker. Rumah produksi audio visual itu didirikan sejak 2009 bersama Andhy Panca Kurniawan. Ratusan judul dokumenter sudah ditelurkan. Termasuk hampir 1.000 feature TV. Selain memproduksi dokumenter ‘idealis’, WatchdoC juga membuat video komersial untuk perusahaan swasta.
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/1fJuJ28WZ_Q" frameborder="0" allowfullscreen></iframe>