Handoko Wibowo: Tionghoa, Sang Pahlawan Petani Batang

Senin, 08 Februari 2016 | 07:00 WIB
Handoko Wibowo: Tionghoa, Sang Pahlawan Petani Batang
Pembela HAM petani Batang, Handoko Wibowo. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Nama Soe Hok Gie atau juga Yap Thiam Hien, sudah banyk dikenal sebagai aktivis keturunan Cina. Tidak banyak aktivis seperti mereka yang bersedia menyediakan 100 persen waktunya untuk membela rakyat kecil.

Handoko Wibowo, dia juga seperti Gie dan Yap. Bedanya, Handoko puluhan tahun membela petani di Kabupaten Batang dari konflik-konflik lahan. Di sana Handoko berjuang agar petani mendapatkan lahan garapan untuk kehidupan mereka.

Handoko lahir dari keluar konglomerat Tionghoa di tahun 1960-an. Ayahnya mempunyai beberapa perusahaan petanian. Namun tidak menjadikan Handoko ‘manja’. Dia sekolah hukum dan dididik menjadi orang berpendidikan oleh ayahnya.

“Ayah ingin saya tahu hukum. Karena saat itu sengketa lahan sangat tinggi pascakemerdekaan,” kata Handoko bercerita santai dengan suara.com pekan lalu.

Memimpin gerakan petani, Handoko berpikiran maju. Dia tidak ingini hanya berdemo teriak soal hak. Handoko mempunyai terobosan untuk ‘bermain’ ke jalur politik. Sebab dia sadar, perjuangan akan sia-sia jika tidak ada ‘restu’ dari pemangku kebijakan.

Dia mempunyai gagasan fase perjuangan petani. Fase perjuangan lapangan, perjuangan politik dan perjuangan ekonomi. Semua itu dia lewati. Hasilnya?

“Panen mereka utuh untuk mereka sendiri. Sekarang mereka sudah punya rumah. Pondasi musala dan masjidnya bagus. Bisa sekolahkan anak sampai pondok pesantren. Kalau dulu itu nggak bisa. Bahkan nggak ada yang lulus SMP,” kata Handoko seraya tersenyum.

Di balik raut wajahnya Handoko yang terlihat keras dengan kumis tebalnya, ternyata Handoko sosok yang hangat dan bersahaja. Dia sambil tersenyum menceritakan bab kelam perjuangan petani di Batang.
Seperti apa kisah perjuangan Handoko? Bagaimana gagasan dia agar konflik lahan ‘berdarah’ di Indonesia berakhir?

Simak wawancaranya dengan suara.com di Museum Monumen Nasional, Jakarta:

Anda mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award 2015. Penghargaan ini sangat bergengsi, karena status Anda disejajarkan dengan pejuang HAM lainnya seperti Munir. Bagaimana Anda memulai perjuangan Anda dalam membela petani di Kabupaten Batang?

Tahun 1987 saya lulus dari fakultas hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Saat itu zaman Soeharto banyak sosialisasi gizi, koperasi. Kasus pertama yang saya advokasi kasus iu sendiri yang menghadapi gugatan bisnis perusahaan cengkeh milik sendiri. Saat itu perusahaan menghadapi kebangkrutan.

Tahun 1998 tetangga saya mengamuk dengan mandor perkebunan di Kecamatan Bandar, Batang, Jawa Tengah. Saat itu petani ngamuk dan merusak rumah karena merasa diperas PT Tratak. PT Tratak pemenang Hak Guna Usaha seluas 89,9 hektar. Mereka melakukan penelantaran tanah.

Petani dimintai 30 persen pendapatan dari hasil pengolahan lahan itu. Akhirnya ada petani yang disekap semalam. Kemudian mereka marah. Saat itu saya menjadi pengacara mereka. Saya bilang jangan bayar, karena itu melanggar Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960.

Sekarang, panen mereka utuh untuk mereka sendiri. Sekarang mereka sudah punya rumah. Pondasi musala dan masjidnya bagus. Bisa sekolahkan anak sampai pondok pesantren. Kalau dulu itu nggak bisa. Bahkan nggak ada yang lulus SMP.

Saya nyaman sekali sepeti ini. Yang saya lakukan adalah dari kata hati, tapi sekarang nggak nyaman sekarang. Orang pada tahu saya karena disorot media. Dulu orang nggak banyak tahu saya.

Anda sempat membuka kantor pengacara, namun ditutup karena Anda ingin focus berjuang untuk petani yang tertindas. Apa yang mendasari Anda melakukan itu?

Dulu saya membuka kantor Advokat di Pekalongan. Tapi aktivitas saya jadi terganggu. Saya mengalami kesulitan membagi waktu untuk klien yang membayar honor dan untuk oara petani. Tahun 2001 kantor saya tutup dan saya full terlibat langsung menangani konflik tanah dengan petani yang miskin.

Saya percaya apa yang diberikan pada yang di atas (Tuhan) harus diamalkan. Saya menikmati benar apa yang saya lakukan. Ketimbang saya membuka kantor pengacara seperti dulu. Sekarang ini saya merasa ada manfaatnya.

Bisa Anda gambarkan gerakan petani Batang saat ini?

Kami sekarang sudah menginjak ke ‘go ekonomi’ setelah kemarin ‘go politik’. Jadi pada saat konflik tanah, saya temukan ada satu hal penting. Ternyata dalam konflik apa pun selalu mengarah ke kepentingan politik. Baik penyelesaiannya maupun penyebabnya.

Tahun 2007 dibantu dengan teman-teman mahasiswa yang ada di tempat kami, kami mengadakan eksperimen politik pertama. Kami melakukan eksperimen pemilihan kepala desa tanpa duit. Dari 13 kepala desa, ada 9 orang yang kita undang. Mereka kita dukung, tapi sayangnya kesembilannya menghianati semua. Tapi tidak apa-apa.

Kita terus lanjut mengusung orang untuk naik ke lembaga politik formal. Kita juga usung anggota DPR. Saat ada Yoyok Riyo Sudibyo yang mencalonkan diri sebagai bupati tahun 2012, kita coba dukung. Saya lihat ini menarik.

Tapi awalnya resisten. Karena dia latar belakangnya tentara dan intelijen. Tapi tak apa, kita coba saja. Selama ini sipil (jadi kepala daerah) juga nggak benar kok kelakuannya. Saya pun bisa bilang sekarang kita berhasil mengusung sosok yang nggak salah. Sekaran gini kita lagi ‘bulan madu’ dengan kekuasaan. Kita jangan rebut kayak kemarin. Kan energinya sia-sia.

 Sudah berapa petani yang mendapatkan tanahnya? Berapa hektar jumlahnya?

Petani harus dibebaskan dari konflik lahan karena jika tidak ini akan menjadi api dalam sekam. Ada 9 juta hektar tanah terlantar di Indonesia. Tahun ini, organisasi yang saya bentuk, Omah Tani sudah bisa 4 kali redistriusi tnah kepada petani. Ini mungkin yang pertama di Indonesia. Konflik Perhutani dimulai sejak 1965 dan selesai di tahun 2007. Tahun 2004 Omah Tani mendapatkan 50 hektar lahan untuk 800 kepala keluarga, tahun 2007 mendapatkan 153 hektar untuk 900 kepala keluarga. Tahun 2011 mendapatkan 45 hektar untuk 165 kepala keluarga, dan tahun 2015 menapatkan 90 hektar untuk 425 kepala keluarga.

Anda memanfaatkan ribuan petani di bawah Anda untuk digerakan ke arah politik. Bagaimana trik Anda agar gerakan itu tetap murni gerakan non politik?

Kalau menurut saya ‘go politik’ yang saya canangkan itu berbasis serikat yang kuat, tanpa serikat yang kuat tidak ada artinya. Atinya ada ikatan di situ. Kemudian kami ini kenapa harus berpolitik? Karena bentuarannya ke politik, bukan putusan teknis. Kalau teknis kan gampang. Ini melanggar hukum pasal ini itu. Ini kan harus visi yang jelas dari menterinya.

Tapi kami tidak terjebak ke dalam loncatan-loncatan. Kami berharap setiap petani menguasi politik lokal. Entah itu menjadi kepala desa, anggota KPUD, lalu nanti meloncat ke DPR lokal, lalu gubernur, dan presiden. Siapa tahu nanti ada presiden dari anak petani.

Bagaimana untuk mengontrol pejabat yang sudah dipilih akibat dorongan petani untuk tetap amanah?

Percuma kalau mau tanda tangan berapa meter pun, kalau niatnya dia nipu, dia akan tetap jadi penumpang gelap, tiada arti apa pun. Tahun depan kita buat lagi dong. Kalau pejabat berkhianat tidak perlu dipilih lagi.

Kami menciptakan pemimpin bukan mereka yang menjadi pelupa. Tapi rakyatnya yang belajar untuk menciptakan pemimpin. Kami tidak ingin tergantung dengan pemimpin. Kita pilih anggota DPR, kita nggak akan tuntut ini itu Yang penting dia baik dan tidak korupsi, pelayanan publik dan kasus kami diperlancar. Hal-hal sepele saja.

Apakah ada sanski sosial untuk pejabat yang dipilih petani itu berkhianat?

Kalau dia sudah jadi anggota DPR kan domainnya partai, bukan kita.

17 tahun Anda gerakan petani Batang. Apakah khas masalah petani di sana?

Di batang, ini karena warisan Onderneming, perusahaan perkebunan Belanda. Begitu ada nasionalisasi dengan aturan Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960, potensi konfliknya sangat tinggi di sana. Di mana ada ada eks Onderneming, itu ada perampasan tanah-tanah milik rakyat, pendudukan yang diusir. Yang paling berat itu penelantaran tanah oleh mereka. Kami memperjuangkan itu.

Dia nggak garap sendiri, tapi disubkontrakkan, dia membiarkan rumah babi hutan diburu. Mereka menggarap lahan. Dia manfaatkan tanah sebagai investasi bukan perkebunan. Inilah yang menurut saya nggak usah ribet-ribet, langsung cabut izin mereka, karena jelas itu melanggar. Tapi Anda kan tahu pemerintah ini campur baur antara pencitraan, provokator, lalu kami dituduh PKI. Menuduh petani akan menjual lahannya. Makan agrarian ini bukan hanya soal pembagian lahan, tapi juga mengawalnya secara politik.

Keadaan petani di kawasan Anda lebih baik. Bagaimana dengan keadaan petani di daerah lain?

Petani saat ini memang layak untuk diperas dan ditindas dalam sebuah tatanan kapitalisme. Mereka butuh tenaga kerja murah dan tanahnya bisa dirampas. Ada 1.772 kasus sampai 2015 melibatkan 1,1 juta hektar dan 6 juta kepala keluarga. Selama 70 tahun Indonesia merdeka, negara membiarkan konflik petani dan melenggangkan pemodal.

Bagaimana agar penindasan itu berakhir? Satu-satunya cara, biarkan petani berproduksi dan membiarkan serikat petani untuk bebas melakukan gerakan pendidikan dan rakyat Indonesia harus melek petani dan pemerintahnya harus mempunyai kesadaran politik.

Repot banget lho penindasan terhadap petani di awali dengan ketidaktahuan pemerintah. Kemudian melebar ke persoalan kekerasan, akhirnya melibatkan polisi dan tentara. Saya melihat di level pemerintah ini masih lyps service, dan kinerja Jokowi juga belum kelihatan tuh.

Jadi yang mana dulu jadi persoalan, gerakan petani yang tidak kuat atau memang pemerintahnya pura-pura tidak tahu jika petani selama tertindas?

Persoalannya bukan hanya pergerakan. Bayangkan tiap hari petani harus bertemu tatap muka dengan penindasnya, pengusahaan bayar preman. Semisal saja kasus petani Salim Kancil yang mati dibunuh di Lumajang.

Ditambah petani harus bertemu dengan pemerintah yang nggak peduli dengan rakyatnya, lalu ketemu media yang nggak tahu persoalan konflik agraria. Pemahaman polisi sebagai aparat keamanan juga memprihatinkan. Makanya saya merasa gerakan petani makin hari makin mati suri.

Maka saya berusaha untuk melebarkan bukan hanya persoalan konflik tanah. Gerakan itu jangan remeh temen. Harus ada gerakan politik. Di Batang kami mempunyai Pak Yoyok. Anak-anak kami bisa sekolah dan kalau anak sakit bisa ke rumah sakit tanpa ditolak karena miskin. Kalau ditolak, kami tinggal mengadu saja ke Pak Yoyok. Lalu pak yoyok ngamuk-ngamuk, sehingga lurah juga segan. Ini harus dikembangbiakkan di mana pun. Jadi petani masuk ke ranah politik. Ini kan persoalan politik.

Makanya di 2014 kemarin, kami berpikir harus membiayai gerakan politik kami. Sekarang kami memanfaatkan tanah-tanah kami. Saya sebagai pengacara melindungi mereka dari preman dan kriminalisasi. Maka saya ada keinginan mereka mempunyai kekuatan sendiri secara ekonomi. Kami akan belajar organik, bukan hanya demo saja.

Cara pergerakan Anda ini bisa diterapkan di daerah lain? Misal di Riau?

Kasus tanah itu kasuistik sekali, tapi ada benang merahnya. Yaitu pertama bagaimana rakyat memberi pelajaran kepada pemerintahnya untuk political will. Kalau pemerintah bisa menguasai tanah, selesai itu. Kan diberikan hak untuk UU untuk mengatur hak kepemilikan.

Ada berasal dari kalangan minoritas keturunan Tionghoa dan non muslim. Seberapa sulit Anda bisa masuk di lingkungan mayoritas di Batang?

Bapak saya mengajarkan sekolah hukum. Ayah saya tahanan politik tahun 1965 karena dituduh PKI. Dibebaskan, lalu dicap tahanan tapol. Tahun 1977, ditahan lagi 4 bulan lagi. Kami bangkrut. Dulu ayah saya jadi korban pemerasan pejabat. Makanya, saya ingin kuliah hukum.

Batang itu mayoritas muslim dan sering terjadi huru-hara etnis. Tapi sepengalaman saya selama ini, bukan karena saya hebat. Tapi masyarakat itu sebenarnya tidak rasialis. Hanya dimanfaatkan banyak orang untuk kepentingan tertentu. Artinya mereka tahu apa yang saya lakukan ini penting untuk masa depan mereka.

Mereka hormat sekali dengan saya, saya dianggap sebagai alim ulama mereka dan disalamkan seperti ‘pak kiyai’.

Seperti apa pendekatan Anda?

Tidak ada pendekatan, saya alami saja. Kalau pakai baju sutra, yah baju sutra, sandal jepit yah sandal jepit. Saya tidak pernah berencana bagaimana untuk mendekatkan. Karena saya warga asli kampung situ. Saya tinggal di kota kecil di Bandar. Bapak ibu saya tidak pernah melarang untuk bergaul dengan siapa pun. Itu berguna bagi saya untuk bertemu dengan siapa pun jadi nggak kikuk.

Sebagai aktivis dan Tionghoa, seberapa sering Anda mendapatkan Ancaman?

Awal-awal perjuangan memang ada semacam fisik sangat sering, minimal lewat telepon dan surat. Saya juga diancam untuk disantet. Saat itu disantet pakai boneka, telor dan sebagainya. Semua itu ditaruh di depan pintu rumah. Bahkan karena saya ini Tionghoa, saya diberikan tempelan bahasa Mandarin yang saya juga tidak tahu artinya. Itu biasalah.

Anda kena santet?

Ya saya nggak percaya, santetnya nggak masuk dong.

Tapi teror yang paling berat itu dari diri kita sendiri. Karena kita bisa tergoda untuk memanfaatkan basis karena ingin jadi bupati atau jadi apa. Saya rasa itu jangan lah sampai begitu.

Tapi Anda pernah dicalonkan oleh PDIP untuk menjadi calon anggota legislatif…

Nggak pernah dan saya juga tidak mau. Saat itu memang saya digadang-gadang, tapi saya menolak. Saya jadi guru politik saja. PDIP memang berkali-kali ingin mencalonkan saya menjadi caleg mereka. Tapi saya tolak sampai sekarang. Saya jadi guru saja.

Menjadi aktivis dan advokat petani Anda tidak mendapatkan bayaran, dari mana biaya hidup Anda sehari-hari?

Kebetulan ayah saya mewariskan kebun cengkeh 8 hektar. Ada beberapa, saya jual untuk bayar hutang keluarga. Lalu saat ini saya menjadi advokat juga pilih-pilih kasus. Teman-teman banyak yang support saya. Sejak dulu saya spesialisasi kasus tanah. Tapi tahun 2010, belakangan saya juga membela buruh.

Belajar dari kasus pembunuhan Salim Kancil, aktivis petani dengan membela hak lahan sangat berbehaya. Banyak ancaman yang datang ke Anda. Bagaimana Anda juga bisa mejaga keluarga?

Saya nggak kawin, saya sendirian. Ibu saya juga nggak ada takutnya. Bahkan kalau demo dan pendudukan lahan, ibu saya ikut. Banyak orang berpikir, “ini anak gila.”

Setelah mendapatkan Yap Thiam Hien Award 2015., apa yang Anda akan lalkukan?

Saya akan sapaikan kalau kerja ini nggak sendiri. Ada orang yang perhatian. Berjuang ini harus konsisten dan pasti ada hasilnya.

Biografi singkat Handoko Wibowo

Handoko lahir dari keluarga kaya 9 November 1962 di Bandar. Dia putra sulung dari juragan di Batang, Budi Wibowo dan Lena Indriana. Di era 60-an keluarga merupakan pengusaha yang memiliki gurita bisnis. Salah satuna pabrik kapuk. Namun keluarganya bangkrut karena konflik lahan.

Di Batang, lulusan sarjana hukum Universitas Satya Wacana Satiga itu dianggap sebagai menentu arah gerakan politik. Dia menjadi pemimpin ribuan petani di sana. Tidak hanya menjadi aktivis dan kuasa hukum untuk petani, dia juga dikenal hingga kalangan minoritas kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender.

Handoko mendirikan Omah Tani di tahun 2008. Omah Tani banyak menangani konflik-konflik lahan. Namun tidak hanya petani di Omah Tani, berbagai kalangan aktivis singgah di sana. Di usianya yang tak lagi muda, lelaki lajang itu memberikan 100 persen waktunya untuk membela petani yang lahannya terebut ‘kapitalis’.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI