Handoko Wibowo: Tionghoa, Sang Pahlawan Petani Batang

Senin, 08 Februari 2016 | 07:00 WIB
Handoko Wibowo: Tionghoa, Sang Pahlawan Petani Batang
Pembela HAM petani Batang, Handoko Wibowo. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

17 tahun Anda gerakan petani Batang. Apakah khas masalah petani di sana?

Di batang, ini karena warisan Onderneming, perusahaan perkebunan Belanda. Begitu ada nasionalisasi dengan aturan Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960, potensi konfliknya sangat tinggi di sana. Di mana ada ada eks Onderneming, itu ada perampasan tanah-tanah milik rakyat, pendudukan yang diusir. Yang paling berat itu penelantaran tanah oleh mereka. Kami memperjuangkan itu.

Dia nggak garap sendiri, tapi disubkontrakkan, dia membiarkan rumah babi hutan diburu. Mereka menggarap lahan. Dia manfaatkan tanah sebagai investasi bukan perkebunan. Inilah yang menurut saya nggak usah ribet-ribet, langsung cabut izin mereka, karena jelas itu melanggar. Tapi Anda kan tahu pemerintah ini campur baur antara pencitraan, provokator, lalu kami dituduh PKI. Menuduh petani akan menjual lahannya. Makan agrarian ini bukan hanya soal pembagian lahan, tapi juga mengawalnya secara politik.

Keadaan petani di kawasan Anda lebih baik. Bagaimana dengan keadaan petani di daerah lain?

Petani saat ini memang layak untuk diperas dan ditindas dalam sebuah tatanan kapitalisme. Mereka butuh tenaga kerja murah dan tanahnya bisa dirampas. Ada 1.772 kasus sampai 2015 melibatkan 1,1 juta hektar dan 6 juta kepala keluarga. Selama 70 tahun Indonesia merdeka, negara membiarkan konflik petani dan melenggangkan pemodal.

Bagaimana agar penindasan itu berakhir? Satu-satunya cara, biarkan petani berproduksi dan membiarkan serikat petani untuk bebas melakukan gerakan pendidikan dan rakyat Indonesia harus melek petani dan pemerintahnya harus mempunyai kesadaran politik.

Repot banget lho penindasan terhadap petani di awali dengan ketidaktahuan pemerintah. Kemudian melebar ke persoalan kekerasan, akhirnya melibatkan polisi dan tentara. Saya melihat di level pemerintah ini masih lyps service, dan kinerja Jokowi juga belum kelihatan tuh.

Jadi yang mana dulu jadi persoalan, gerakan petani yang tidak kuat atau memang pemerintahnya pura-pura tidak tahu jika petani selama tertindas?

Persoalannya bukan hanya pergerakan. Bayangkan tiap hari petani harus bertemu tatap muka dengan penindasnya, pengusahaan bayar preman. Semisal saja kasus petani Salim Kancil yang mati dibunuh di Lumajang.

Ditambah petani harus bertemu dengan pemerintah yang nggak peduli dengan rakyatnya, lalu ketemu media yang nggak tahu persoalan konflik agraria. Pemahaman polisi sebagai aparat keamanan juga memprihatinkan. Makanya saya merasa gerakan petani makin hari makin mati suri.

Maka saya berusaha untuk melebarkan bukan hanya persoalan konflik tanah. Gerakan itu jangan remeh temen. Harus ada gerakan politik. Di Batang kami mempunyai Pak Yoyok. Anak-anak kami bisa sekolah dan kalau anak sakit bisa ke rumah sakit tanpa ditolak karena miskin. Kalau ditolak, kami tinggal mengadu saja ke Pak Yoyok. Lalu pak yoyok ngamuk-ngamuk, sehingga lurah juga segan. Ini harus dikembangbiakkan di mana pun. Jadi petani masuk ke ranah politik. Ini kan persoalan politik.

Makanya di 2014 kemarin, kami berpikir harus membiayai gerakan politik kami. Sekarang kami memanfaatkan tanah-tanah kami. Saya sebagai pengacara melindungi mereka dari preman dan kriminalisasi. Maka saya ada keinginan mereka mempunyai kekuatan sendiri secara ekonomi. Kami akan belajar organik, bukan hanya demo saja.

Cara pergerakan Anda ini bisa diterapkan di daerah lain? Misal di Riau?

Kasus tanah itu kasuistik sekali, tapi ada benang merahnya. Yaitu pertama bagaimana rakyat memberi pelajaran kepada pemerintahnya untuk political will. Kalau pemerintah bisa menguasai tanah, selesai itu. Kan diberikan hak untuk UU untuk mengatur hak kepemilikan.

Ada berasal dari kalangan minoritas keturunan Tionghoa dan non muslim. Seberapa sulit Anda bisa masuk di lingkungan mayoritas di Batang?

Bapak saya mengajarkan sekolah hukum. Ayah saya tahanan politik tahun 1965 karena dituduh PKI. Dibebaskan, lalu dicap tahanan tapol. Tahun 1977, ditahan lagi 4 bulan lagi. Kami bangkrut. Dulu ayah saya jadi korban pemerasan pejabat. Makanya, saya ingin kuliah hukum.

Batang itu mayoritas muslim dan sering terjadi huru-hara etnis. Tapi sepengalaman saya selama ini, bukan karena saya hebat. Tapi masyarakat itu sebenarnya tidak rasialis. Hanya dimanfaatkan banyak orang untuk kepentingan tertentu. Artinya mereka tahu apa yang saya lakukan ini penting untuk masa depan mereka.

Mereka hormat sekali dengan saya, saya dianggap sebagai alim ulama mereka dan disalamkan seperti ‘pak kiyai’.

Seperti apa pendekatan Anda?

Tidak ada pendekatan, saya alami saja. Kalau pakai baju sutra, yah baju sutra, sandal jepit yah sandal jepit. Saya tidak pernah berencana bagaimana untuk mendekatkan. Karena saya warga asli kampung situ. Saya tinggal di kota kecil di Bandar. Bapak ibu saya tidak pernah melarang untuk bergaul dengan siapa pun. Itu berguna bagi saya untuk bertemu dengan siapa pun jadi nggak kikuk.

Sebagai aktivis dan Tionghoa, seberapa sering Anda mendapatkan Ancaman?

Awal-awal perjuangan memang ada semacam fisik sangat sering, minimal lewat telepon dan surat. Saya juga diancam untuk disantet. Saat itu disantet pakai boneka, telor dan sebagainya. Semua itu ditaruh di depan pintu rumah. Bahkan karena saya ini Tionghoa, saya diberikan tempelan bahasa Mandarin yang saya juga tidak tahu artinya. Itu biasalah.

Anda kena santet?

Ya saya nggak percaya, santetnya nggak masuk dong.

Tapi teror yang paling berat itu dari diri kita sendiri. Karena kita bisa tergoda untuk memanfaatkan basis karena ingin jadi bupati atau jadi apa. Saya rasa itu jangan lah sampai begitu.

Tapi Anda pernah dicalonkan oleh PDIP untuk menjadi calon anggota legislatif…

Nggak pernah dan saya juga tidak mau. Saat itu memang saya digadang-gadang, tapi saya menolak. Saya jadi guru politik saja. PDIP memang berkali-kali ingin mencalonkan saya menjadi caleg mereka. Tapi saya tolak sampai sekarang. Saya jadi guru saja.

Menjadi aktivis dan advokat petani Anda tidak mendapatkan bayaran, dari mana biaya hidup Anda sehari-hari?

Kebetulan ayah saya mewariskan kebun cengkeh 8 hektar. Ada beberapa, saya jual untuk bayar hutang keluarga. Lalu saat ini saya menjadi advokat juga pilih-pilih kasus. Teman-teman banyak yang support saya. Sejak dulu saya spesialisasi kasus tanah. Tapi tahun 2010, belakangan saya juga membela buruh.

Belajar dari kasus pembunuhan Salim Kancil, aktivis petani dengan membela hak lahan sangat berbehaya. Banyak ancaman yang datang ke Anda. Bagaimana Anda juga bisa mejaga keluarga?

Saya nggak kawin, saya sendirian. Ibu saya juga nggak ada takutnya. Bahkan kalau demo dan pendudukan lahan, ibu saya ikut. Banyak orang berpikir, “ini anak gila.”

Setelah mendapatkan Yap Thiam Hien Award 2015., apa yang Anda akan lalkukan?

Saya akan sapaikan kalau kerja ini nggak sendiri. Ada orang yang perhatian. Berjuang ini harus konsisten dan pasti ada hasilnya.

Biografi singkat Handoko Wibowo

Handoko lahir dari keluarga kaya 9 November 1962 di Bandar. Dia putra sulung dari juragan di Batang, Budi Wibowo dan Lena Indriana. Di era 60-an keluarga merupakan pengusaha yang memiliki gurita bisnis. Salah satuna pabrik kapuk. Namun keluarganya bangkrut karena konflik lahan.

Di Batang, lulusan sarjana hukum Universitas Satya Wacana Satiga itu dianggap sebagai menentu arah gerakan politik. Dia menjadi pemimpin ribuan petani di sana. Tidak hanya menjadi aktivis dan kuasa hukum untuk petani, dia juga dikenal hingga kalangan minoritas kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender.

Handoko mendirikan Omah Tani di tahun 2008. Omah Tani banyak menangani konflik-konflik lahan. Namun tidak hanya petani di Omah Tani, berbagai kalangan aktivis singgah di sana. Di usianya yang tak lagi muda, lelaki lajang itu memberikan 100 persen waktunya untuk membela petani yang lahannya terebut ‘kapitalis’.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI