Suara.com - Nama Soe Hok Gie atau juga Yap Thiam Hien, sudah banyk dikenal sebagai aktivis keturunan Cina. Tidak banyak aktivis seperti mereka yang bersedia menyediakan 100 persen waktunya untuk membela rakyat kecil.
Handoko Wibowo, dia juga seperti Gie dan Yap. Bedanya, Handoko puluhan tahun membela petani di Kabupaten Batang dari konflik-konflik lahan. Di sana Handoko berjuang agar petani mendapatkan lahan garapan untuk kehidupan mereka.
Handoko lahir dari keluar konglomerat Tionghoa di tahun 1960-an. Ayahnya mempunyai beberapa perusahaan petanian. Namun tidak menjadikan Handoko ‘manja’. Dia sekolah hukum dan dididik menjadi orang berpendidikan oleh ayahnya.
“Ayah ingin saya tahu hukum. Karena saat itu sengketa lahan sangat tinggi pascakemerdekaan,” kata Handoko bercerita santai dengan suara.com pekan lalu.
Memimpin gerakan petani, Handoko berpikiran maju. Dia tidak ingini hanya berdemo teriak soal hak. Handoko mempunyai terobosan untuk ‘bermain’ ke jalur politik. Sebab dia sadar, perjuangan akan sia-sia jika tidak ada ‘restu’ dari pemangku kebijakan.
Dia mempunyai gagasan fase perjuangan petani. Fase perjuangan lapangan, perjuangan politik dan perjuangan ekonomi. Semua itu dia lewati. Hasilnya?
“Panen mereka utuh untuk mereka sendiri. Sekarang mereka sudah punya rumah. Pondasi musala dan masjidnya bagus. Bisa sekolahkan anak sampai pondok pesantren. Kalau dulu itu nggak bisa. Bahkan nggak ada yang lulus SMP,” kata Handoko seraya tersenyum.
Di balik raut wajahnya Handoko yang terlihat keras dengan kumis tebalnya, ternyata Handoko sosok yang hangat dan bersahaja. Dia sambil tersenyum menceritakan bab kelam perjuangan petani di Batang.
Seperti apa kisah perjuangan Handoko? Bagaimana gagasan dia agar konflik lahan ‘berdarah’ di Indonesia berakhir?
Simak wawancaranya dengan suara.com di Museum Monumen Nasional, Jakarta:
Anda mendapatkan penghargaan Yap Thiam Hien Award 2015. Penghargaan ini sangat bergengsi, karena status Anda disejajarkan dengan pejuang HAM lainnya seperti Munir. Bagaimana Anda memulai perjuangan Anda dalam membela petani di Kabupaten Batang?
Tahun 1987 saya lulus dari fakultas hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Saat itu zaman Soeharto banyak sosialisasi gizi, koperasi. Kasus pertama yang saya advokasi kasus iu sendiri yang menghadapi gugatan bisnis perusahaan cengkeh milik sendiri. Saat itu perusahaan menghadapi kebangkrutan.
Tahun 1998 tetangga saya mengamuk dengan mandor perkebunan di Kecamatan Bandar, Batang, Jawa Tengah. Saat itu petani ngamuk dan merusak rumah karena merasa diperas PT Tratak. PT Tratak pemenang Hak Guna Usaha seluas 89,9 hektar. Mereka melakukan penelantaran tanah.
Petani dimintai 30 persen pendapatan dari hasil pengolahan lahan itu. Akhirnya ada petani yang disekap semalam. Kemudian mereka marah. Saat itu saya menjadi pengacara mereka. Saya bilang jangan bayar, karena itu melanggar Undang-Undang Agraria No 5 Tahun 1960.
Sekarang, panen mereka utuh untuk mereka sendiri. Sekarang mereka sudah punya rumah. Pondasi musala dan masjidnya bagus. Bisa sekolahkan anak sampai pondok pesantren. Kalau dulu itu nggak bisa. Bahkan nggak ada yang lulus SMP.
Saya nyaman sekali sepeti ini. Yang saya lakukan adalah dari kata hati, tapi sekarang nggak nyaman sekarang. Orang pada tahu saya karena disorot media. Dulu orang nggak banyak tahu saya.
Anda sempat membuka kantor pengacara, namun ditutup karena Anda ingin focus berjuang untuk petani yang tertindas. Apa yang mendasari Anda melakukan itu?
Dulu saya membuka kantor Advokat di Pekalongan. Tapi aktivitas saya jadi terganggu. Saya mengalami kesulitan membagi waktu untuk klien yang membayar honor dan untuk oara petani. Tahun 2001 kantor saya tutup dan saya full terlibat langsung menangani konflik tanah dengan petani yang miskin.
Saya percaya apa yang diberikan pada yang di atas (Tuhan) harus diamalkan. Saya menikmati benar apa yang saya lakukan. Ketimbang saya membuka kantor pengacara seperti dulu. Sekarang ini saya merasa ada manfaatnya.
Bisa Anda gambarkan gerakan petani Batang saat ini?
Kami sekarang sudah menginjak ke ‘go ekonomi’ setelah kemarin ‘go politik’. Jadi pada saat konflik tanah, saya temukan ada satu hal penting. Ternyata dalam konflik apa pun selalu mengarah ke kepentingan politik. Baik penyelesaiannya maupun penyebabnya.
Tahun 2007 dibantu dengan teman-teman mahasiswa yang ada di tempat kami, kami mengadakan eksperimen politik pertama. Kami melakukan eksperimen pemilihan kepala desa tanpa duit. Dari 13 kepala desa, ada 9 orang yang kita undang. Mereka kita dukung, tapi sayangnya kesembilannya menghianati semua. Tapi tidak apa-apa.
Kita terus lanjut mengusung orang untuk naik ke lembaga politik formal. Kita juga usung anggota DPR. Saat ada Yoyok Riyo Sudibyo yang mencalonkan diri sebagai bupati tahun 2012, kita coba dukung. Saya lihat ini menarik.
Tapi awalnya resisten. Karena dia latar belakangnya tentara dan intelijen. Tapi tak apa, kita coba saja. Selama ini sipil (jadi kepala daerah) juga nggak benar kok kelakuannya. Saya pun bisa bilang sekarang kita berhasil mengusung sosok yang nggak salah. Sekaran gini kita lagi ‘bulan madu’ dengan kekuasaan. Kita jangan rebut kayak kemarin. Kan energinya sia-sia.
Sudah berapa petani yang mendapatkan tanahnya? Berapa hektar jumlahnya?
Petani harus dibebaskan dari konflik lahan karena jika tidak ini akan menjadi api dalam sekam. Ada 9 juta hektar tanah terlantar di Indonesia. Tahun ini, organisasi yang saya bentuk, Omah Tani sudah bisa 4 kali redistriusi tnah kepada petani. Ini mungkin yang pertama di Indonesia. Konflik Perhutani dimulai sejak 1965 dan selesai di tahun 2007. Tahun 2004 Omah Tani mendapatkan 50 hektar lahan untuk 800 kepala keluarga, tahun 2007 mendapatkan 153 hektar untuk 900 kepala keluarga. Tahun 2011 mendapatkan 45 hektar untuk 165 kepala keluarga, dan tahun 2015 menapatkan 90 hektar untuk 425 kepala keluarga.
Anda memanfaatkan ribuan petani di bawah Anda untuk digerakan ke arah politik. Bagaimana trik Anda agar gerakan itu tetap murni gerakan non politik?
Kalau menurut saya ‘go politik’ yang saya canangkan itu berbasis serikat yang kuat, tanpa serikat yang kuat tidak ada artinya. Atinya ada ikatan di situ. Kemudian kami ini kenapa harus berpolitik? Karena bentuarannya ke politik, bukan putusan teknis. Kalau teknis kan gampang. Ini melanggar hukum pasal ini itu. Ini kan harus visi yang jelas dari menterinya.
Tapi kami tidak terjebak ke dalam loncatan-loncatan. Kami berharap setiap petani menguasi politik lokal. Entah itu menjadi kepala desa, anggota KPUD, lalu nanti meloncat ke DPR lokal, lalu gubernur, dan presiden. Siapa tahu nanti ada presiden dari anak petani.
Bagaimana untuk mengontrol pejabat yang sudah dipilih akibat dorongan petani untuk tetap amanah?
Percuma kalau mau tanda tangan berapa meter pun, kalau niatnya dia nipu, dia akan tetap jadi penumpang gelap, tiada arti apa pun. Tahun depan kita buat lagi dong. Kalau pejabat berkhianat tidak perlu dipilih lagi.
Kami menciptakan pemimpin bukan mereka yang menjadi pelupa. Tapi rakyatnya yang belajar untuk menciptakan pemimpin. Kami tidak ingin tergantung dengan pemimpin. Kita pilih anggota DPR, kita nggak akan tuntut ini itu Yang penting dia baik dan tidak korupsi, pelayanan publik dan kasus kami diperlancar. Hal-hal sepele saja.
Apakah ada sanski sosial untuk pejabat yang dipilih petani itu berkhianat?
Kalau dia sudah jadi anggota DPR kan domainnya partai, bukan kita.