Dengan sertifikasi tenaga kerja Indonesia, apakah sudah cukup membuat tenaga kerja Indonesia kompetitif dengan tenaga kerja asing? Jika belum, apa solusinya?
Ini juga hal yang tidak kalah kompeksnya soal human capital. Karena human capital dan produktivity tenaga kerja itu tak bisa didadak. Itu investasi jangka panjang. Makanya sistem pendidikan kita harus baik. Semakin banyak orang yang lulus di menengah ke atas, jadi perguruan tinggi, diploma dan sebagainya itu satu hal.
Tapi hal lain yang terjadi banyak tenaga kerja yang lulus dari perguruan tinggi sekali pun, mereka nggak siap. Sehingga memang harus ada usaha lain, sertifikasi salah satunya. Itu untuk melengkapi keahlian dari tenaga kerja Indonesia. Ini belum terjadi secara sistematik. Misalnya kita punya balai pelatihan. Tapi faktanya tepat yang tidak berfungsi secara optimal.
Jadi kalau secara kelembagaan mulai dibenahi, baik dari privat sector maupun pemerintah, dan sebagainya. Itu moga-moga ada perkembangan yang signifikal yang membuat beberapa segmen tenaga kerja kita meningkat produkstivitasnya.
Misalnya, Indonesia sama-sama mengirim TKI, tapi dengan kualifikasi yang lebih baik, dengan kemampuan bahasa inggris yang lebih baik, itu tentu akan beda ceritanya yang dikirimkan ke luar negeri.
Sejauhmana peran kampus dan sekolah untuk membentuk SDM ini?
Tentu, kalau kita bicara perguruan tinggi itu sangat penting. Karena tenaga kerja kita di industri demostik nanti yang kita akan dikirim tidak hanya dari perguruan tinggi domestik, tapi dari perguruan tinggi di sekitar kita, ASEAN.
Jadi yang menjadi agenda di perguruan tinggi kita adalah lulsan kita ini spesifikasi dan spesialisasi yang unik. Dengan lulusan yang lain. Uniknya ini dari mana? Mungkin universitas di ASEAN ini mengandalkan kompetensi dan kemampuan teknis ini menjadi keunggulan mereka yang kita tidak punya. Nah kita harus mempunyai keunggulan lain.
Menonjolkan keunikan tenaga kerja Indonesia. Seperti apa?
Misalnya dalamm konteks kita bekerja di Indonesia dan bisa bersaing dengan alumni univestitas lain dari luar negeri. Kita harus bisa menkapitalisasi pengenalan dengan market domestik. Artinya dalam proses pendidikan ini harus diajari untuk peduli pada lingkungan sosial kita. Ketika mereka masuk ke dunia kerja mereka sudah tahu kompeks situasi politiknya sosialnya dan sebagainya, yang kualifikasi itu tidak dimiliki pekerja asing di sini.
Daya saing UMKM diragukan di MEA. Menurut Anda demikian?
Sama, situasi di level atas secara umum Indonesia nggak siap. Tapi pasti di antara ketidaksiapan itu, pasti ada yang siap kan. Nah itu yang harus di dorong.
Industri kerajinan kita itu kompetitif dengan industri kreatif di lingkungan ASEAN Karena kreatifivitas yang dimiliki oleh pengrajin kita kan berbeda. Misal pengrajin batik, nggak ada batik yang seperti batik kita. Itu yang harus dikapitalisasi masuk ke market ASEAN.
Sektor mana yang dinilai masih kurang di UMKM ini?
Secara umum kita umum UMKM kita sangat lemah daya saingnya. Tapi ada beberapa yang besar.
Sektor mana yang paling siap menghadapi MEA ini?
Kekuatan kita itu kan masih di komoditi base industri, mulai dari mineral ke agrikultur dan sebagainya. Tapi ada yang missing link, yaitu network dari value chain (rangkaian kegiatan yang dilakukan suatu perusahaan untuk menghasilkan produk atau jasa) ke industri. Ini lepas. Kalau kita mau bisa rekatkan lagi industri manufaktur kita dengan industri base ini, pertama kita nggak lagi tergantung dengan ekspor produk komuditas. Kedua industri kita akan tumbuh karena resources dari dalam. Jadi ada value chain.
Misal industri pangan. Industri pangan kita itu sebenarnya kuat. Jadi kalau didorong terus dengan diikuti bahan baku domestik, maka akan kuat.
Mengapa belum bisa bersaing?
Kita nggak punya strategi yang baik untuk menggabung dari komoditi base ke industrial base economy. Kita loncar ke resources dan financial sector. Tidak ada desain kebijakan yang jangka panjang.
Jadi apa saran Anda kepada pemerintah Indonesia untuk menghadapi MEA?
Dalam jangka pendek berilah upaya yang cukup untuk memberdayakan sektor-sektor yang punya kompetitif yang kita punya dibanding negara lain. Itu bisa dipilih. Pemerintah harus mempunya peta industri kita mana yang kuat.
Kedua, mengkaitkan satu sektor dengan sektor lain. Kalau ada satu sektor yang leading, itu akan membawa sektor yang lain. Kita harus membangun suplay chain industry kita.
Negara mana yang menjadi saingan kuat?
Kita sejajar dengan Thailand dan Malaysia. Itu karakteristiknya sama. Kita di atas Filipina. Tiga negara ini sama. Kalau kita bersaing dengan negara itu, maka kita akan bisa bersaing dengan Filipina dan Vietnam.
Biografi Agustinus Prasetyantoko
Agustinus Prasetyantoko merupakan doktor ilmu ekonomi lulusan dari Ecole Normale Superieure de Lyon, Prancis. Sebelumnya gelar master Agustinus didapat di University of Science and Technology of Lille (USTL) di bidang Strategic. Sementara sarjana ekonominya diraih di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Saat ini Agustinus menjabat sebagai Rektor Universitas Katolik Atma Jaya. Dia juga tercatat sebagai ekonom handal di Indonesia. Pendapatnya sering diminta untuk menentukan kebijakan perekonomian Indonesia. Sepanjang kariernya di dunia akademis dan praktisi, Agustinus banyak menuangkan pemikirannya di buku dan jurnal ilmiah.