A. Prasetyantoko: Menelisik Sektor Unggulan Indonesia di Era MEA

Senin, 01 Februari 2016 | 07:00 WIB
A. Prasetyantoko: Menelisik Sektor Unggulan Indonesia di Era MEA
Pakar Perekonomian dan Rektor Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masyarakat Ekonomi ASEAN atau MEA sudah dimulai sejak awal Januari lalu. Dalam produk dan sumber daya manusia, Indonesia harus bersaing dengan negara yang tergabung dalam organisasi ASEAN.

MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya sistem perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN. Indonesia dan sembilan negara anggota ASEAN lainnya telah menyepakati perjanjian Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC).

MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional. Ada 8 bidang pekerjaan profesional yang dibebaskan bekerja di negara-negara ASEAN. Di antaranya profesi insinyur, arsitek, perawat, tenaga survei, tenaga pariwisata, praktisi media, dokter gigi, serta akuntan. Mereka harus bersertifikat dan bisa berbahasa negara lokal.

Sayangnya, tidak bisa dipungkiri, kebanyakan di berbagai bidang Indonesia kalah saing. Indonesia tercatat hanya sejajar dengan Thailand dan Malaysia. Sementara kalah jauh dengan Singapura dan Bruney.

Makanya, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid VIII untuk mempersiapkan Indonesia menghadapi MEA. Di antaranya soal "one map policy", membangun ketahanan energi, dan kebijakan insentif sektor penerbangan.

Pakar Ekonomi yang juga Rektor Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko menilai paket kebijakan itu sangat membantu. Namun perlu waktu lama untuk dirasakan pelaku usaha bisa bersaing dengan ‘negara kuat’ tetangga.

Doktor ekonomi lulusan Ecole Normale Superieure de Lyon, Prancis itu menyarankan Pemerintahan Joko Widodo untuk merancang ‘paket kebijakan’ jangka pendek untuk tahun pertama MEA. Meski tetap saja, dia memprediksi tahun pertama MEA diberlakukan, Indonesia akan ‘babak belur’, hanya dijadikan pasar karena jumlah penduduknya paling banyak se-ASEAN sekitar 250 juta jiwa.

Namun dia menelisik ada sektor-sektor yang bisa diandalkan Indonesia dalam MEA. Sektor itu bisa bersaing mengalahkan negara ASEAN lain.

Sektor apa yang menjadi kelemahan dan andalan Indonesia di era MEA? Strategi apa yang harus diambil pemerintah Indonesia untuk menghadapi MEA?

Berikut wawancara khusus suara.com dengan Agustinus di ruang kerjanya di Unika Atma Jaya Jakarta pekan lalu:

MEA sudah dimulai, bagaimana Anda memandang kesiapan Indonesia dalam menghadapi MEA?

Saya kita ini sudah tidak saatnya untuk siap atau tidak, dan sanksi atau tidak. Itu sudah lewat dan tidak relevan. Karena MEA sudah berjalan dan sudah terjadi. Sehingga persoalan sekarang ini adalah bagaimana Indonesia menarik keuntungan semaksimal mungkin bagi ekonomi domestiknya.

Kalau di lihat dari macam-macam hal. Semisal kemampuan daya saing dengan negara-negara ASEAN lain, Indonesia tergolong rendah. Sehingga memang harus ada usaha untuk meningkatkan daya saing. Tapi ini memerlukan waktu agak lama. Tapi yang paling mudah adalah memanfaatkan untuk mencegah pasar domestik diserbu oleh pemain asing di kelompok ASEAN ini. Itu yang bisa dilakukan pertama kali, yaitu melindungi. Tapi jangka menengah panjang itu meningkatkan daya saing.

Apakah yang dilindungi? Dari sisi tarif?

Tapi melindungi tidak dengan tarif, karena tarif sudah nggak boleh.

Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan khusus MEA. Di antaranya soal "one map policy", membangun ketahanan energi, dan kebijakan insentif sektor penerbangan. Apakah paket kebijakan ini sudah tepat sasaran? Apa yang perlu ditambah?

Deregulasi itu sebetulnya arahnya lebih mendorong supaya gerak ekonomi kita itu lebih cepat. Terkait dengan perlambatan ekonomi yang tadinya agak ketat, maka dilonggarkan regulasinya. Sehingga tidak ada aturan yang mandek, dan juga geraknya lebih capat.

Memang itu juga salah satu syarat penting ketika kita mau masuk pasar bebas. Karena dengan makin longgarkan regulasi, pemain domestik kita makin longgar untuk bersaing. Tapi di sisi lain, pemain asing makin bebas ke beberapa sektor yang di longgarkan itu. Jadi memang ada dilema.

Pemain domestik ini siapa? Pengusaha mengengah atau bawah?

Umumnya pengusaha menengah yang selama ini mempunyai kemampuan untuk mendorong ekonomi domestik. Tapi karena ada regulasi, jadi nggak bisa. Dengan deregulasi itu jadi bisa bergerak. Intinya mempermudah melakukan aktivitas bisnis mereka itu.

Kekurangan apa yang Indonesia miliki di MEA ini?

Pastinya, dalam konteks liberalisasi 4 bidang itu seperti jasa, SDM, keuangan, dan investasi. Nah, kita memang lebih rendah dalam hal produksi barang dan jasa dibanding negara lain. Ini karena macam-macam hal.

Di antaranya suku bunga kita lebih tinggi, cost produksi kita lebih tinggi dan berbagai hal. Ini harus diperbaiki. Sehingga kita bisa menghasilkan produk yang lebih kompetitif dengan negara tetangga kita.

Di bidang investasi juga begitu, kemampuan investasi Indonesia lebih rendah dibanding negara-negara yang sering melakukan investasi.

Namun dalam konteks ekonomi ‘bebas’, kita juga nggak bisa menang di semua lini. Jadi yang diperlukan, menurut saya memilih beberapa sektor yang kita memang unggul untuk didorong agar kita terkoneksi dengan mata rantai pasokan regional ke global.

Misal kita kuat di ban, karena kita punya bahan baku ban, karet. Sehingga industri ban ini bisa menembus mata rantai dari industri otomotif. Kalau industri otomotif ini berkembang pesat di dalam dan kita bisa masuk, ban disuplay dari Indonesia. Kan kita kecantol juga untuk suplay dunia.

Namun memang Indutri manufaktur kita lemah, Thailand ini sangat kuat.

Jadi secara umum kita lemah, tapi tidak semua juga lemah. Lainnya di produk Semen misalnya. Semen Indonesia itu sudah punya pabrik di Myanmar. Kan yang begini harus didorong terus karena banyak. Di bidang properti kita juga kuat, Perusahaan Ciputra saja sudah punya properti di Vietnam. Itu yang harus diperbanyak.

Indonesia salah satu negara yang mempunyai biaya logistik tinggi, sampai 23,6 persen dari PDB. Negara lain banyak di bawah 15 persen. Harga barang perusahaan Indonesia mahal, sehingga tidak kompetitif. Bagaimana analisa dan saran Anda?

Karena itu bukan target jangka pendek pastinya. Kalau kita lakukan dengan sangat benar dan baik pun itu hasilnya beberapa tahun kemudian.

Saran Anda?

Logistik itu yang jelas, kalau investor ada keyakinan bahwa infrastruktur dibangun dengan baik. Indikatornya adalah bangun bandara, pelabuhan, tol itu signifikan gerakannya. Itu orang akan melihat ekspetasinya. Tapi tidak dalam 1-2 tahun ke depan biaya logistik akan turun. Tapi dalam 5 tahun ekspetasi akan ada penurunan. Orang itu akan menanam itiu dari sekarang.

Artinya tahun pertama MEA ini, Indonesia seperti hancur-hancuran terlebih dahulu?

Ya, kita pasti mengalami beberapa persoalan penting ketika menghadapi MEA di awal-awal ini. Mungkin pasar kita banyak diserbu oleh barang-barang impor, sementara barang kita belum mampu untuk keluar. Pada saatnya nanti Indonesia harus mampu membuat produk kita dipasarkan ke pasar ASEAN juga.

Pasar Indonesia yang unggul sampai 230 juta penduduk dibanding negara ASEAN lain dinilai menjadi unggulan di MEA. Namun banyak pakar yang mengatakan jika Indonesia hanya dimanfaatkan sebagai pasar. Anda sepakat soal itu? Bagaimana analisa Anda?

Itu fakta yang tidak bisa ditolak, karena di antara semua negara ASEAN, jumlah penduduk ASEAN kalau ditotal itu 600 juta jiwa. Itu sepertiga lebih di Indonesia. Sehingga sangat wajar Indonesia potensial market.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI