Anda menjadi Sekjen FSGI, bagaimana awal mula organiasasi itu berdiri?
Kami nggak berpikir FSGI ini pesaing PGRI atau juga PGRI Perjuangan. Saya pernah menjadi anggota PGRI, sampai satu hari saya digugat Akbar Tanjung atas buku saya. Ini buku pertama, dan didigugat pula. Itu buku pelajaran Buku PKn kelas X – XII SMA KBK. Tahun 2005, Akbar menggugat Rp10 miliar kalau saya tidak menghapus sebuah bahan diskusi atau pengayaan. Tema diskusi itu menggunakan artikel.
Saat itu Akbar dibebaskan di kasus Bulog Gate, saya tidak tertarik mengangkat Akbar dibebaskan. Saya mengangkat pendapat hakim yang berbeda, dari 5 hakim ada satu yang berpendapat berbeda, yaitu Hakim Agung, Abdurrahman Saleh. Dia menampilkan hal berbeda, berat lah saat itu. Melawan arus juga.
Saya angkat pemikiran dia, Akbar tidak pantas dibebaskan. Di buku itu saya bertanya, “apakah kasus ini memenuhi rasa keadilan?”, Siswa diminta menganalisis. Tulisan pendapat hakim itu saya ambil dari koran dan saya tempel di situ. Anak-anak diminta analisa, apakah putusan itu hakim itu adil?
Saat itu Akbar punya anak di Sekolah Santa Ursula dan menggunakan buku saya. Saat itu ketika Akbar menggugat, saya datang ke PGRI karena saya anggotanya. Tapi PGRi tidak menolong saya. Alasanya karena saya digugat sebagai penulis, bukan guru. Aneh, karena yang saya tulis buku pelajaran. Setelah itu saya putuskan keluar dari PGRI.
Saya pun dibantu YLBHI. Akhirnya Akbar justru mundur dan mengajak damai. Setelah itu 2005 saya kuliah S2 di Universitas Indonesia dan selesai tahun 2007. Selesai kuliah, saya belum masuk organisasi guru.
Tahun 2010, ada perbedaan tunjangan guru struktural daerah dengan yang di Jakarta. Saya melawan dan tunjangan itu berhasil disamakan. Saat itu saya dan teman-teman mendirikan organisasi lokal guru Jakarta, Serikat Guru Indonesia Jakarta. Tahu-tahu ada 8 daerah mengajak berkumpul dan membuat federasi, dan lahirlah FSGI di 2011.
Saya dipilih jadi Sekjen. Saya pemimpin organisasi guru satu-satunya yang perempuan. Kami kiprahnya melawan kebijakan. Membangun kebijakan yang lebih baik.
Anda lebih suka disebut guru atau aktivis?
Saya guru, dan aktivis juga. Saya aktivis guru yang memimpin organisasi profesi. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama pernah menyebut FSGI ini LSM, padahal FSGI ini organisasi profesi. Ahok pernah bilang juga, “jangan jadi kepala sekolah kalau ingin pimpin organisasi guru,” itu salah.
Dalam UU Guru Dosen, Pasal 1 Butir 13 dalam UU 14/2005 menyebutkan organisasi profesi guru yang didirikan dan diurus oleh guru. Jadi bekas guru nggak boleh, yang bukan guru nggak boleh, apalagi politisi kayak PGRI. Masa yang mimpi politisi. PGRI di Jakarta dipimpin Kepala Badan Kepegawaian Daweah, itu melanggar. Makanya Pak Jokowi menyampaikan sambutan tertulis dalam ulang tahun PGRI Deember 2015 lalu yang dibacakan Puan. Dia bicara penataan organisasi profesi guru.
Kata Pak Jokowi, guru dipolitisasi. Kalau guru diurus kayak begini, nggak akan kritis guru. Banyak kepala dinas dan kepala sekolah diturunkan setelah Pilkada gara-gara incumbent nggak terpilih lagi.
Reformasi sistem pendidikan digaungkan tiap tahun, tapi sangat luas mana yang harus diubah. Menurut Anda mana yang harus lebih dulu diubah dari sistem pendidikan ini?
Permasalahan pendidikan itu dibagi dalam dua hal, kualitas dan akses. Kalau bicara sistem, maka kebijakan bermain. Kalau bicara persoalan, kualitas pendidikan Indonesia rendah. Gurunya rendah. Misal hasil penelitian world bank tahun 2012, menyatakan dari 12 negara Asia, Indonesia di posisi 12. Kualitas yan paling rendah.
Dari sisi hasil ujian kompetensi guru, guru hanya mendapatkan 4,3 dari rata-rata nilai dari paling tinggi 7. Dari sisi murid, itu menujukan rendah. Hasil kita di nomor buncit kok. Anak Indonesia hanya membaca 27 halaman buku pertahun. Padahal nggak ada buku yang dicetak di bawah 50 lembar. Jadi artinya murid membaca nol buku pertahun. Soal kualitas, Indonesia di urutan 39 dari 40 negara di 2014. Sistem itu siapa yang ciptakan, pemerintah.
Jadi untuk membenahi itu, bukan mengganti kurikulum. Tapi membangun kapasitas guru. Kalau gurunya berkualitas, muridnya akan berkualitas. FSGI pernah mensurvei tentang pelatihan untuk guru, karena pemerintah ini sangat kurang dalam memberikan pelatihan. Hasilnya 62 persen guru SD dari 29 SD di kota/kabupaten nggak pernah ikut pelatihan, bahkan menjelang pensiun. Guru itu harus di-charger, diupdate. Itu harus dibangun lewat sistem pemerintah.
Di Finlandia, SD-SMP nggak ada ujian nasional. UN ada di SMA, untuk menjaring masuk ke perguruan tinggi. Nilai kejujuran sudah ditanamkan. Di Indonesia, UN menjadi berhala. Kami setuju UN ada, tapi bukan untuk menentukan kelulusan.
Tapi sekarang dipakai untuk pemetaan. Misal ada SMA di NTT, nilai matematikanya jelek, ternyata guru matematikanya nggak ada yang benar. Gurunya harus dilatih. Ketika hasil pemetaan terpotret, maka ada reaksi yang dilakukan pemerintah.
Standar UN bisa dilakukan jika semua sekolah atau daerah sudah terpenuhi fasilitas yang sama. Jangan sampai ada murid yang mau sekolah sampai jalan 7 jam. Beda dong sama yang naik motor atau mobil.
Biografi singkat Retno Listyarti
Retno Listyarti lahir di Jakarta, 24 Mei 1970. Sebagai PNS, dia berpangkat Pembina dengan golongan Iva. Retno adalah guru PPKn. Dia lulusan S2 Ilmu Politik di Uiversitas Indonesia. Ibu 3 anak itu sudah menghasilkan 10 buku dan belasan prestasi di bidang akademik, penulisan dan penelitian.
Selain menjadi guru, dia juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru indonesia (FSGI). Tahun ini masa tugasnya selesai. Retno dikenal sebagai sosok guru yang berani mengungkap korupsi di bidang pendidikan, terutama di sekolah Jakarta.
Dia pernah mengembalikan sisa dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp 400 Juta pada akhir 2014. Hal itu dilakukannya saat masih menjabat sebagai Kepala SMA 76.