Suara.com - Sosok Retno Listyarti kembali mencuat karena menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta melawan Provinsi DKI Jakarta. Dia dipecat sebagai kepala sekolah SMA Negeri 3 Jakarta, tapi pemecatan itu dianggap tidak sah oleh pengadilan.
Retno, sosok langka. Seorang guru yang statusnya pegawai negeri sipil, berani mengungkap banyak kasus korupsi dan penyelewengan di sekolah yang dia ajar. Retno tidak menyangkal mayoritas guru di Indonesia ‘penakut’.
Menurut dia, ‘segudang’ penyimpangan berpotensi terjadi sekolah. Mulai dari tindakan korupsi terstruktur antara pimpinan sekolah, dinas pendidikan daerah sampai ke Kementerian Pendidikan. Penyimpangan itu lah yang harus dibasmi.
Selama belasan tahun berkarir Retno menjadi guru, dia hafal persis modus penyimpangan di sekolah. Mulai dari penyimpangan dana Bantuan Opersional Sekolah (BOS) sampai penyimpangan Bantuan Operasional Pendidikan (BOP).
Retno pernah membuktikan saat dia menjadi Kepala Sekolah SMAN 76 Jakarta. Dia menemukan penyimpangan di sana. Makanya, Retno langsung mencanangkan program transparansi pengelolaan anggaran di sekolah tahun 2014 silam. Saat itu sekolah itu menjadi yang pertama berjuluk sekolah antikorupsi karena keuangannya langsung diperiksa oleh lembaga akuntan publik. Hasilnya sekolah mengembalikan sisa dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) sebesar Rp 400 Juta pada akhir 2014.
“Kalau biasanya, uang itu dipakai buat apa saja. Banyak celah korupsi,” kata Retno.
Kiprahnya yang sekalu memprotes penyimpangan dan sistem pendidikan Indonesia, membuat dirinya banyak musuh. Dia sadar, banyak pihak yang berusaha menghentikan langkahnya dan menghambat kariernya. Bahkan keluarganya pun menjadi sasaran untuk menekan dirinya.
Namun teror sudah menjadi ‘makanan’ harian. Dia pernah diancam dipenjara sampai dibunuh. Itu karena Retno tidak takut ungkap keganjilan sekolah dan pendidikan di Indonesia.
Apa yang melatarbelakangi keberanian Retno? Dan apa saja modus korupsi dan penyimpangan di sekolah?
Simak wawancara suara.com dengan Retno pekan lalu dalam perbincangan santai di kedai kopi di kawasan Senayan:
Anda menggugat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena memecat Anda sebagai Kepala Sekolah SMA 3 Jakarta. Setelah menang, apa yang akan Anda lakukan?
Niat mereka memecat saya sebagai PNS. Itu terungkap saat di Ombudsman. Ombudsman membujuk saya saat pertemuan terpisah dengan pihak Disdik Pemprov DKI, untuk tidak persoalkan surat itu agar saya selamat dari pemecatan. Saya menangkap pesan akan dipecat ketika menggugat dan terbukti di pengadilan saya salah. Itu bukan ancaman pertama.
Memecat PNS seperti saya kan sulit sekali, apalagi karena kesalahan sepele. Dalam keputusan hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, kesalahan yang saya perbuat adalah kesalahan ringan. Hukumannya adalah teguran. Bukan dihukum berat dengan pencopotan jabatan. Maka Kepala Dinas DKI Jakarta Arie Budiman disebut melakukan pelanggaran.
Maka itu, Kepala Dinas Pendidikan diperintahkan mencabut surat keputusan itu karena batal demi hukum. Nama baik saya diperintahkan untuk dipulihkan, dan jabatan saya sebagai kepala sekolah harus dikembalikan.
Tapi kalau saya secara pribadi menggugat itu bukan untuk mencari jabatan, bahkan menjadi kepala sekolah lagi sudah saya tolak. Saya ingin melawan kewenang-wenangan saja. Saya menggugat untuk menguji di PTUN sesuai aturan atau tidak surat itu. Begitu gugatan saya diterima, maka saya otomatis jadi kepala sekolah SMA 3 lagi. Tapi tidak harus di sana, karena hakim memutuskan diserahkan ke dinas pendidikan.
Hal sepele, tapi Disdik DKI Jakarta menanggapi serius apa yang Anda perbuat…
Laporan ini saya menilai karena dilandasi kebencian. Saya membongkar korupsi di SMA 76. Saya sadar, musuh saya banyak. Saya 12 tahun melawan korupsi pendidikan. Saya pernah diancam dibunuh, dipecat dan sebagainya. Sudah biasa.
Saya membongkar skandal sekolah yang mendapatkan kursi, meja, dan lemari tiap akhir tahun. Tanpa diminta, itu dikirim semua ke sekolah. Tapi besoknya dipindahkan lagi ke sekolah lain. Jadi beli barang sedikit, rapi seolah-olah semua sekolah dapat.
Lalu uang Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) distor sekian persen ke dinas pendidikan. Ada pengelolaan yang salah di dana itu. Lalu pembayaran kurban Rp500 ribu saat Idul Adha pakai dana BOP dari Anggaran Pendapatan dan Belanda Daerah (APBD). Distor ke suku dinas dan dinas pendidikan. Ini seluruh sekolah distor. Saat saya tanya, katanya itu dikatakan sudah biasa. Itu berapa miliar terkumpul.
Pendidikan macam apa yang dibangun di negeri ini? Ketika gurunya tidak kritis, tidak berani, tidak kreatif, dan selalu takut. Karena guru yang tidak kreatif, tidak akan membuat anak didiknya kreatif.
Anda PNS dan guru, apakah Anda tidak mempunyai ketakutan tentang karier Anda akan terhambat?
Ini semua menjadi pelajaran untuk saya , sudah 11 tahun saya menjadi klien Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Termasuk saat digugat Akbar Tanjung Rp10 miliar karena tulisan saya, melawan kebijakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), menjadi saksi di Mahkamah Konstitusi. Akhirnya saya belajar hukum, karena saya rentan dikenai hukum. Suatu saat kalau kena kasus lagi, saya ingin menjadi lawyer untuk diri sendiri.
Apa yang mendorong Anda untuk melakukan perlawanan?
Saya berpendapat untuk menumbuhkan orang untuk kritis itu harus banyak baca dan nulis. Karena untuk menuangkan isi pikiran dalam tulisan itu kan harus sistematis agar pembaca mengerti. Saya suka nulis dari kecil, tulis puisi dan cerpen dan dimuat di Majalah Bobo.
Tapi guru tidak pernah menghargai saya menulis. Sampai SMA, selalu memandang tulisan saya jelek. Mencoret-coret EYD, tidak ke substansi tulisan. Sampai saya SMA kelas II, saya mengenal Kelompok Ilmiah Remaja Jakarta Utara (Kirju). Saya belajar meneliti dan nulis. Kami menang beberapa lomba.
Tim saya di sana semua orang miskin, orang Tanjung Priok semua. Saya juga, meski tinggal di Kelapa Gading. Saya anak tentara, yang pangkat ayah saya bukan perwira tinggi. Terakhir pangkat ayah saya kapten.
Saat itu saya mencari buku-buku yang dilarang orde baru. Kenapa Karl Marx dilarang? Saat itu banyak buku-buku kiriman dari Australia. Tapi kami kami mendapat foto copinya saja. Ternyata buku-buku kiri yang dilarang itu buku yang mengasyikkan. Keberpihakan ke yang lemah dan melawan ketidakadilan. Jadi apa yang saya baca itu mempengaruhi cara saya berpikir.
Ketika itu saya ingin jadi guru karena saya ingin mempengaruhi anak-anak muda. Ayah saya nggak perbolehkan karena uangnya nggak banyak. Dia mengancam kalau kuliah guru, nggak mau biayakan. Saat itu masuk IKIP Jakarta (sekarang UNJ) bayarnya Rp106 ribu persemester. Jadi saya berpikir kayaknya bisa. Saya bayar masuk perguruan tinggi dari honor nulis opini saya di koran. Saya dua kali menulis, Rp5 ribunya saya mengutang.
Saat kuliah tingkat satu, saya ditawari menjadi periset oleh seseorang. Saya bisa keliling Indonesia, ke mana-mana. Gaji saya Rp550 ribu, tapi bayaran IKIP Jakarta Rp106 ribu persemester.
Di lingkungan guru, saya beda. Karena memang guru-guru banyak yang penakut. Jadi guru yang seperti ini, awalnya saya dijadikan tumpuan melawan kepala sekolah yang nggak benar. Saya juga mengkoordinir anak-anak OSIS untuk melawan kebijakan yang nggak benar.
Lagi pula sebagai PNS, saya harus patuh terhadap perundang-undangan. Bukan atasan. Makanya saya merasa apa yang saya lakukan, berarti bagi diri saya.