Suara.com - Suyoto Rais galau. Dia belum berani terlibat langsung mengembangkan teknologi di Indonesia. Padahal dia sangat ahli dalam pengembangan sistem produksi, teknologi proses dan efisensi aset produksi secara keseluruhan, khususnya untuk industri manufaktur.
Suyoto bahkan adalah peneliti Indonesia pertama yang masuk dalam jajaran IMS (Intelligent Manufacturing Systems). IMS adalah sebuah konsorsium penelitian yang dikoordinir oleh METI (Kementerian Ekonomi, Industri dan Perdagangan Jepang) yang melibatkan leading company, universitas terkemuka dan instansi penelitian di Jepang. Hanya orang terpilih yang bisa masuk ke sana.
Desember 2012, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Suhono Supangkat, mengantarkan Suyoto Rais bertemu dengan Dahlan Iskan. Saat itu, Dahlan adalah Menteri Badan Urusan Milik Negara (BUMN) di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat itu, Suyoto bertemu Dahlan di ruangannya di Gedung BUMN, Jakarta. Pertemuan yang dijadwalkan 30 menit itu berkembang menjadi 2 jam. Selama itu, Suyoto menerangkan tahapan pengembangan mobil nasional. Sayang, Dahlan tampaknya kurang tertarik dengan paparan Suyoto, karena tidak ada tindak lanjut.
Kala itu Indonesia lagi "demam" dan ambisius mengembangkan mobil nasional. Kebetulan, mobil Esemka asal Solo sebulan sebelumnya dinyatakan resmi dijual. FX Hadi Rudyatmo yang menjabat sebagai Wali Kota Solo, ikut meluncurkan penjualan perdana mobil tipe SUV Rajawali itu pada tanggal 10 November.
Belakangan Dahlan merancang mobil Tuxuri dan Selo. Khusus Selo, mobil ini dirancang bangun oleh Danet Suryatama dan Ricky Elson. Tapi proyek ini gagal dan berakhir dengan kasus korupsi. Kejaksaan Agung menetapkan Dasep Ahmadi sebagai tersangka. Sementara Ricky yang merupakan ahli motor penggerak listrik yang bersekolah di Jepang, menjadi saksi.
Ditetapkannya Dasep sebagai tersangka mengundang kekecewaan. Salah satu yang terang-terangan kecewa adalah pengamat ekonomi politik Universitas Indonesia, Faisal Basri, yang diungkapkan melalui tulisannya di blog pribadi, Juli tahun lalu. Menurut Faisal, Dasep mempunyai niat baik mengembangkan mobil nasional, tapi malah disangka korupsi.
Terganjalnya inovasi yang dilakukan Danet, Ricky dan Dasep di negeri sendiri, sebenarnya bukan cerita baru. Buktinya, banyak ilmuwan Indonesia yang belum ingin berkiprah di negeri sendiri karena terpentok fasilitas pendukung dan dukungan niat negara.
Salah satunya adalah Suyoto. Dia adalah seorang ilmuwan besar yang lama di Jepang. Tidak berlebihan menyebut Suyoto sebagai ilmuwan besar, sebab keahliannya sangat dihargai Jepang selama puluhan tahun. Suyoto saat ini bahkan berstatus ekspatriat Jepang di Indonesia. Dia bekerja di perusahaan Jepang, dengan imbalan lebih besar dari orang Jepang sendiri.
Sebenarnya, penulis buku "Seindah Sakura di Langit Nusantara" itu menyimpan konsep untuk membuat industri mobil nasional. Dia bersedia membantu pemerintah Indonesia. Namun yang paling utama menurutnya, pemerintah harus benar-benar punya niat membangun mobil nasional. Adanya Esemka, Kancil dan purwarupa "mobil nasional" yang sudah ada saat ini, bisa jadi disebut sebagai "cikal bakal mobil nasional".
"Masih sangat jauh Indonesia mempunyai mobil nasional, karena harus memenuhi tahapan," kata Suyoto, saat berbincang dengan Suara.com di perusahaan Jepang tempat dia bekerja, Nagai Plastic Indonesia, di Cikarang, Jawa Barat, pekan lalu.
Bagaimana kiprah Suyoto Rais malang melintang menjadi ilmuwan di Negeri Sakura dan bekerja di perusahaan Jepang? Apa saja yang harus dilakukan Indonesia untuk bisa memiliki mobil nasional sesungguhnya? Berikut wawancara Suara.com selengkapnya:
Anda baru tahun 2014 kembali ke Indonesia setelah Anda bekerja di perusahaan ternama di Jepang. Bisa Anda ceritakan awal mula hijrah ke Jepang?
Gampangnya, di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), saya masih S1. Kebetulan ada tawaran beasiswa ke Jepang. Saya ikut saja. Beasiswa itu dari Jepang. Selain itu, saya sedikit shock saat itu. BPPT saat itu penelitiannya bagus-bagus dan orangnya pintar-pintar, tapi saya merasa nggak real. Saya tidak bisa aplikasikan ilmu, jadi saya merasa tidak nyambung.
Waktu itu saya berpikir, kalau tidak mencoba di industri real, saya tidak akan tahu kondisi yang sebenarnya. Makanya saya langsung ke Jepang, setelah itu ingin masuk industri real. Di Jepang saya kuliah mengambil Teknik Mesin, spesialisasi saya Sistem Kemanukfakturan.
Setelah lulus S3, ada tawaran di Amerika Serikat (AS). Setelah itu di Denso Coorporation di Jepang. Di Denso saya suka. Istilahnya membuat komponen utama untuk Toyota. Yang paling banyak tahu teknologi mobil itu paling banyak di Denso. Waktu itu dia punya penelitian manufacturing system, bekerja sama dengan universitas dan industri lain.
Selain itu, dekat sekali apa yang tengah saya teliti waktu S3. Saya meneliti bagaimana kita mengefisienkan aset perusahaan dan bagaimana kita membangun network yang baik ke global enterprise. Sehingga perusahaan di Jepang dan yang mempunyai perusahaan di negara lain untuk membangun komunikasi, database, membuat proses planning. Alasannya, kalau ide ada di pikiran seseorang, kalau orangnya sudah tidak ada, maka tidak ada juga ide itu. Jadi perlu database untuk mengelola itu.
Selama 20 tahun malang melintang di perusahaan luar negeri, itu waktu yang sangat lama. Apa yang Anda dapat?
Selama 3 tahun pertama, saya meneliti dasar untuk membuat manufaktur. Setelah itu, saya sebenarnya ingin pulang ke BPPT, karena kontrak dengan Denso 3 tahun. Tapi ada sebuah miscommunication, sehingga saya tidak bisa ke BPPT lagi.
Tapi kebetulan Denso menawarkan menjadi karyawan tetap. Saya mau, tapi syaratnya ditempatkan di lini produksi yang real. Akhirnya saya ditempatkan di lini produksi untuk produk-produk AC. Saat itu, Denso itu mengikuti jadwal Toyota yang ganti model selama 4 tahun sekali, sehingga lini produksi atau tim kerja pun akan berganti tiap 4 tahun. Yang pertama dibuat di Jepang, kemudian ke Amerika, Eropa, Cina, dan baru ke kawasan Asia. Yang saya buat saat itu di lini nomor 1 di Jepang, tapi diterapkan di Eropa, pembangunan di Eropa. Saya terlibat di sana.
Akhirnya saya putuskan untuk berkarier selama 9 tahun di Denso, dan kemudian berpindah ke perusahaan Jepang lainnya sampai sekarang. Tetapi saya selalu siap untuk membantu BPPT dari luar sistem sebisanya.
Tahun 2014, Anda memutuskan kembali ke Indonesia. Mengapa?
Utamanya (faktor) keluarga. Anak dan istri saya pulangkan lebih dulu. Saat itu saya sebulan sekali masih pulang ke Jepang.
Status saya di Indonesia saat ini ekspatriat di perusahaan, pekerja luar negeri yang kerja di Indonesia. Saya direktur di kantor pusat. Tapi kalau soal gaji, saya dikasih lebih dari orang Jepang sendiri. Atasan melihat saya mempunyai kemampuan melebihi orang Jepang di sana, sehingga dikasih lebih. Karena di Indonesia ada yang saya bisa kerjakan yang tidak bisa dikerjakan oleh orang Jepang.
Dorongan Anda pulang bukan ingin berkontribusi untuk Indonesia?
Saya ingin. Tapi saya miris (mengetahui) apa yang terjadi dengan kawan-kawan terdahulu yang pulang terlalu terbakar dengan nasionalisme. Tapi realistis, karier dan kehidupan kurang berkembang. Sehingga saya pikir-pikir kalau pun pulang. Kalau belum dapat tempat beraktivitas yang pas sesuai dengan bidang, dan memberikan nafkah, saya akan seperti ini saja: menjadi ekspatriat perusahaan Jepang, tapi tetap berada di Indonesia.
Sepertinya Anda takut untuk berkarier di perusahaan dalam negeri, atau juga membuat sesuatu untuk negara? (Padahal) Beberapa ilmuwan yang pulang ke Indonesia sebagian berkontribusi untuk negara?
Berkontribusi untuk negara, untuk Indonesia, itu tidak harus (dengan) menjadi pegawai negeri. Tidak harus bekerja di perusahaan dalam negeri. Kita jangan menganut nasionalisme sempit. Tetapi harus nasionalisme modern, seperti yang dicetuskan oleh Pak Dahlan Iskan melalui beberapa tulisannya. Selama kita selalu berpikir dan bisa membuktikan keberadaan kita bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita khususnya dan Indonesia pada umumnya, itulah kontribusi yang sesungguhnya.
Perusahaan Jepang saya pilih karena yang paling pas dengan skill dan pengalaman saya. Karena bidang saya itu manufaktur dan sistem, ingin bagaimana kita membuat produk yang baik. Harus dibikin dengan apa? Mesin apa? Untuk begitu, itu tidak bisa sendiri. Perlu tim, dan perlu dengan banyak engineer. Kalau satu saja tahap tidak terlampaui atau kekurangan orang, itu tidak akan jalan. Dan itu saya temui di perusahaan manufaktur Jepang.
Sebaliknya, untuk kondisi di Indonesia, masih sedikit orang yang tahu step by step pengembangan produk yang benar. Masih kekurangan tenaga andal untuk posisi tertentu yang menentukan. Makanya seperti prototype mobil nasional, mandek di prototype. Karena di tahap berikutnya kekurangan orang, yaitu di tahap prosesnya. Makanya, saya berpikir akan tetap maju kalau tetap di perusahaan Jepang.
Tiap kali ajang motor show (otomotif) nasional, isu mobil nasional selalu digaungkan. Tetapi mobil nasional tidak kunjung terwujud. Apa saja yang diperlukan untuk memulai membuat mobil nasional?
Untuk membangun produk apa pun itu, ada dua faktor utama. (Pertama) Bagaimana membikin business model yang pas dengan menjaga kepercayaan kepada yang membeli atau ke costumer. Kedua, membuat supply chain management yang mendapat dukungan penuh dari para supplier. Misalnya pasokan komponen untuk mobil. Tanpa kedua faktor itu, mobnas tidak akan sampai ke tahap produksi massal, dan kalau pun bisa akan segera kehabisan energi dan mandek di tengah jalan.
Mobil Esemka di Solo dijagokan menjadi cikal-bakal mobil nasional. Menurut Anda, apakah bisa?
Soal Esemka yang ingin jadi mobil nasional, itu kan merancangnya dengan mengambil komponennya dari mobil lain, atau istilahnya kanibal. Kalau sudah diproduksi massal, itu nggak akan bisa. Selain masalah HAKI, juga ada masalah kestabilan pasokan supplier.
Di negara lain, misalnya, Proton di Malaysia. Di awal persiapan, Proton juga dibarengi dengan persiapan industri pendukung, Tier 1, Tier 2 dan seterusnya. Sekarang mungkin sudah ada 2000-an. Industri itu membuat pasokan untuk ban, AC, dan lain-lain. Jadi sudah jelas ada untuk memasok Proton. Misal kita mau bangun Esemka, lalu industri pendukungnya belum dibuat, itu tidak akan bisa. Harus bersamaan semua.
Jadi, apa sulitnya membangun industri mobil nasional di Indonesia? Kesulitan modal?
Menurut saya, pertama harus ada koordinantor secara keseluruhan. Koordinator ini harus paham betul semua tahapan pengembangan dan apa saja yang diperlukan. Bisa mengevaluasi dari sisi mutu/keselamatan dan biaya. Untuk membangun industri otomotif itu ada empat tahapan. Pertama, perencanaan untuk memikirkan model bisnisnya. Lalu membuat prototype, menyiapkan sistem produksinya, lalu terakhir produksi massal. Dalam bisnis model itu, akan diputuskan siapa yang menjual, (dan) kepada siapa dijualnya, biar laku dan tiap bulan ada yang membeli.
Kedua, harus bisa menginvestasikan SDM kita yang bisa support proyek ini. Tidak boleh ada persaingan dalam tempurung Indonesia. Semua potensi harus disatukan. Terus terang saja, kita masih sangat kekurangan insinyur untuk ini. Lebih-lebih kalau kita fokus pada ketersediaan SDM yang paham teknologi proses, dengan kasa mata saja mudah dilihat betapa minimnya. Karena itu, koordinator juga harus bisa menyatukan seluruh potensi bangsa di berbagai instansi-akademik-industri. Kita memerlukan banyak ahli desain, ahli mesin, ahli mencari material yang pas, lalu ahli merakit di berbagai tahapan itu.
Karena itu, sebelum kita bicara mengenai modal berapa dan siapa investornya, perlu ada personel yang mampu menjadi koordinator secara keseluruhan. Di Indonesia belum ada. Yang menjadi koordinator itu harus kuat; kuat politik dan kuat ekonomi, atau mendapat dukungan kuat dari kedua kekuatan tersebut.
Siapa koordinator ini?
Pasti sekelas menteri ke atas. Mencontoh Proton ini, dulu kan sangat kuat Mahathir Mohammad (mantan Perdana Menteri Malaysia) untuk politik dan ekonomi, untuk menggerakkan orang menjadi satu tujuan.
Dulu saya berpikirnya berharap sekali ke Pak Dahlan Iskan. Cuma mungkin dukungan kurang, dan gayanya berbeda. Gayanya cepat, sehingga tidak bisa diikuti oleh orang lain, sehingga belum berhasil.
Anda pernah bertemu Dahlan Iskan dan bicara soal pengembangan mobil nasional?
Saya ketemu Pak Dahlan (tahun) 2012 akhir, saat saya pulang sebentar ke Indonesia. Saya katakan saat itu, kalau mau bangun mobil nasional, kita harus bicara tahapan 1 sampai 4. Kekurangan di mana, harus diperjelas dulu dan diupayakan diperbaiki.
Saya bilang, untuk merancang mobil nasional itu yang pertama harus menentukan model bisnis yang tepat. Artinya, dalam kondisi apa pun perusahaan harus bertahan, meskipun penjualannya berapa pun. Kita tahu pangsa pasar yang bisa direbut sangatlah kecil. Produsen-produsen kakap sudah terlanjur mapan dan tidak akan diam saja. Maka, satu-satunya cara harus (dengan) menyatukan potensi pasar ini. Itu harus dimasukkan ke dalam model bisnis yang dibuat.
Siapa yang memfasilitasi pertemuan itu?
Itu kebetulan saya banyak senior profesor di ITB yang kenal baik dengan Pak Dahlan. Mereka tahu kalau saya punya aktivitas di industri otomotif Jepang dan dari dulu konsentrasi di otomotif. Saya dikenalkan dengan Pak Dahlan, (dan) saya presentasi soal tahapan pengembangan.
Pertemuan dilakukan di Gedung BUMN. Di sana juga ada Dasep Ahmadi, perakit prototype Molina. Beliau saat itu mendiamkan, tidak menerima atau menolak gagasan saya.
Saat itu, yang mengembangkan mobil nasional ada Kemenristek, universitas-universitas dan pengembang swasta lainnya. Terkesan terkotak-kotak. Kalau sendiri-sendiri, itu tidak akan bisa. Saya juga singgung itu, (bahwa) proyek mobil nasional itu tujuannya harus untuk menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia dan meningkatkan kemampuan SDM Indonesia, bukan hanya sekadar punya merk Indonesia.
Saya baru tahu sekarang, kenapa Pak Dahlan Iskan tidak segera mengajak saya bergabung saat itu. Rupanya beliau sudah mulai galau dengan kondisi pengembangan mobnas di Tanah Air, dan khawatir saya kecewa dan gagal setelah bergabung. Itu baru saya tahu setelah bertemu kembali beberapa tahun kemudian. Kebetulan beliau hadir pada saat deklarasi Formasi-G, dan setelahnya menulis artikel khusus yang menyinggung pertemuan saat itu. Saya harus berterima kasih untuk semuanya.
Berapa jumlah ahli seperti Anda?
Saya tidak tahu pasti. Tetapi saya yakin mereka bisa dikumpulkan. Tapi harus ada orang yang bisa mengkoordinir, dan kuat secara ekonomi dan politik.
Sayangnya mereka belum berani untuk kembali, ya?
Pertama, realistis, kalau kembali kira-kira bisa menghidupi anak istri dengan layak atau tidak? Sesuai kemampuan, nggak? Kalau di luar negeri, selama kita bekerja profesional, maka akan dihargai. Kalau di Indonesia, "plus" harus bisa berpolitik, baru dihargai. Itu kadang-kadang membuat saya kebingungan.
Di balik kegelisahan itu, lalu Anda membuat komunitas Formasi-G. Komunitas seperti apa ini?
Kita berpikir tidak perlu langsung ingin membuat mobil atau pesawat, tapi produk-produk yang digunakan sehari-hari seperti sabun, kecap, minyak goreng dan lain-lain. Sebab apa yang kita pakai sehari-hari, semua itu kan ternyata masih banyak yang harus diimpor. Apa yang kita makan ini, masih banyak yang ada embel-embel asingnya.
Makanya saya membentuk komunitas yang isinya seruan untuk menggunakan produk lokal, baru (kemudian) bisa menggeser produk impor. Karena hampir mustahil produk asing kita larang masuk. Lebih-lebih zaman MEA. Bagaimana kita bisa membentengi diri dan bagaimana kita produksi sendiri, itu yang sedang kami lakukan.
Alhamdulillah, meskipun baru deklarasi Desember tahun lalu, sudah mulai banyak dukungan dari ABG (Academic-Business-Government) baik Indonesia maupun Jepang, dan kita mulai bergerilya melakukan aktivitas riilnya. Prinsipnya, kami berangkulan dengan berbagai pihak, tidak ingin bersaing dengan sesama orang Indonesia dan dengan lembaga mana pun. Musuh kita bukan sesama orang Indonesia, tetapi "globalisasi", dan hanya akan menjadi anugerah kalau kita bisa bersatu-padu.
Gerakan membuat produk lokal dan mempromosikannya sudah digalakkan pemerintah. Cuma, sepertinya belum terlalu berhasil. Apa koreksi Anda?
Ada kekurangannya. Pemerintah itu kadang merasa kaku. Kementerian Perdagangan itu sudah punya Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC) di banyak kota di luar negeri. Di Jepang ada di Osaka. Di sana dipajang produk Indonesia yang siap diekspor. Tapi kurang bisa mencari buyer masyarakat Jepang, kalau hanya mengandalkan lembaga formal seperti kedutaan. Harus bisa merangkul, bersinergi, dan berkolaborasi dengan para diaspora Indonesia yang punya berbagai aktivitas di luar negeri.
Saya di Jepang pernah ikut seminar investasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia. Kebetulan perusahaan saya sedang berpikir untuk menambah investasi di ASEAN, dan saya diminta mencari informasi terkait. Keduanya punya cara berbeda. Indonesia itu mengundang investor dengan seminar yang megah dan bahasa Inggris yang bagus. Tapi setelah selesai, ya, selesai begitu saja.
Kalau Malaysia, ngomongnya sedikit. Di sekitar tempat seminar disediakan stand-stand produk mereka. Ada penerjemah bahasa Jepang. Lalu setelah ngomong sedikit, peserta seminar dipersilakan ke stand-stand untuk mengetahui produk lebih jauh. Orang Jepang itu lebih senang kalau ada yang menerjemahkan ke bahasa Jepang. Maka bisa dibayangkan, output-nya sudah beda. Kalau di Malaysia, benar-benar mempertemukan penjual dan pembeli.
Di Formasi-G ini, saya mengajarkan jangan hanya menjadi "kembang api", tapi jadi "bola salju" yang menggelinding semakin besar. Formasi-G ini visinya meningkatkan daya saing produk dan SDM Indonesia di kancah global. Harus menang di pasar sendiri. Banyak pakar dan pengusaha yang terlibat. Mereka bisa menjadi jembatan untuk memasarkan dan mengembangkan produk lokal.
Sampai saat ini Anda masih sebagai karyawan dan belum punya perusahaan? Kenapa?
Di Indonesia, saya belum begitu kenal apa yang bisa saya buat untuk mendirikan perusahaan. Kalau di Jepang, saya punya perusahaan dengan adik, namanya Sariraya Co Ltd. Kami membuat produk makanan di sana, sebagai distribusi makanan halal juga. Kalau di sini belum punya keberanian saja keluar dari zona nyaman. Tetapi saat ini saya sedang intens berdiskusi dengan kawan-kawan dan berbagai kalangan, untuk memulai bisnis yang bermanfaat untuk Indonesia, dan tetap sesuai dengan Visi-Misi Formasi-G. Tunggu tanggal mainnya saja. Insya Allah tahun ini bisa dirilis.
Ada anggapan Anda ini tidak nasionalis, karena masih saja bekerja dengan perusahaan asing. Bagaimana tanggapan Anda?
Saat itu saya menanyakan ke Pak Dahlan untuk posisi di BUMN, mungkin saya bisa berbuat sesuatu. Itu karena dikatakan seperti itu. Kalau saya ke BUMN bagaimana ya? Alhamdulillah, saya mendapat jawaban melegakan dari beliau. Saya dinasehati agar berpikir (bahwa) nasionalisme modern itu tidak harus dengan menjadi pegawai negeri.
Penilaian kontribusi itu harus dinilai dengan arti luas. Saya di perusahaan Jepang bisa menambah karyawan, mengganti yang dulunya material dari Jepang, sekarang sebagian material dari Indonesia. Ke depan ini, yang harus dilakukan (adalah) perbanyak lapangan kerja seluas-luasnya dan menggunakan potensi sebesar-besarnya di Indonesia, memberikan nilai tambah yang setinggi-tingginya untuk dijual.
Makanya saya galaunya, orang Indonesia berpikirnya berjuang untuk Indonesia itu harus jadi menteri dan pejabat publik. Sekarang saya sudah banyak menerima masukan, tidak harus berpikir kembali menjadi pegawai negeri. Sekarang itu yang penting, saya bisa memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat Indonesia. Saya berbagi ilmu dengan mengajar di ITB, dan berbagi ke beberapa komunitas Tanah Air juga salah satu bentuk kontribusi itu. Saat ini saya bersama Tim Formasi-G juga telah berkoordinasi dengan Pemda Kabupaten Tuban di Jawa Timur, tanah kelahiran saya, untuk mengembangkan Proanda (Produk Andalan Daerah) di sana. Ini semua pasti akan menghilangkan kegalauan saya.
Biografi singkat Suyoto Rais:
Dr Ir Suyoto Rais M.Eng lahir di Tuban, 15 Oktober 1966. Dia pernah kuliah di ITS Surabaya, sebelum kemudian mendapatkan beasiswa Habibie untuk kuliah di Jepang. Dia lulus S-1 tahun 1991, S-2 tahun 1995, dan S-3 tahun 1999. Disertasinya mengenai "Study on Holonic Manufacturing Systems" di Osaka Prefecture University. Spesialisasinya adalah pengembangan sistem dan teknologi pemanufakturan untuk efisiensi aset produksi.
Suyoto pernah menjadi peneliti di BPPT. Sedangkan karier pertamanya adalah di Denso Corp di Nagoya. Dia masuk dalam jajaran peneliti di IMS-Japan. Saat itu, Suyoto melakukan penelitian bersama dengan tema "Modelling and Simulation Environments for Design, Planning and Operation of Globally Distributed Enterprises". Belakangan, Suyoto mendirikan Forum Masyarakat Indonesia Berwawasan Global (nama sementara: Formasi-G). Suyoto menuliskan kisah hidupnya selama berkiprah di Jepang dalam buku "Seindah Sakura di Langit Nusantara".