Mobil Esemka di Solo dijagokan menjadi cikal-bakal mobil nasional. Menurut Anda, apakah bisa?
Soal Esemka yang ingin jadi mobil nasional, itu kan merancangnya dengan mengambil komponennya dari mobil lain, atau istilahnya kanibal. Kalau sudah diproduksi massal, itu nggak akan bisa. Selain masalah HAKI, juga ada masalah kestabilan pasokan supplier.
Di negara lain, misalnya, Proton di Malaysia. Di awal persiapan, Proton juga dibarengi dengan persiapan industri pendukung, Tier 1, Tier 2 dan seterusnya. Sekarang mungkin sudah ada 2000-an. Industri itu membuat pasokan untuk ban, AC, dan lain-lain. Jadi sudah jelas ada untuk memasok Proton. Misal kita mau bangun Esemka, lalu industri pendukungnya belum dibuat, itu tidak akan bisa. Harus bersamaan semua.
Jadi, apa sulitnya membangun industri mobil nasional di Indonesia? Kesulitan modal?
Menurut saya, pertama harus ada koordinantor secara keseluruhan. Koordinator ini harus paham betul semua tahapan pengembangan dan apa saja yang diperlukan. Bisa mengevaluasi dari sisi mutu/keselamatan dan biaya. Untuk membangun industri otomotif itu ada empat tahapan. Pertama, perencanaan untuk memikirkan model bisnisnya. Lalu membuat prototype, menyiapkan sistem produksinya, lalu terakhir produksi massal. Dalam bisnis model itu, akan diputuskan siapa yang menjual, (dan) kepada siapa dijualnya, biar laku dan tiap bulan ada yang membeli.
Kedua, harus bisa menginvestasikan SDM kita yang bisa support proyek ini. Tidak boleh ada persaingan dalam tempurung Indonesia. Semua potensi harus disatukan. Terus terang saja, kita masih sangat kekurangan insinyur untuk ini. Lebih-lebih kalau kita fokus pada ketersediaan SDM yang paham teknologi proses, dengan kasa mata saja mudah dilihat betapa minimnya. Karena itu, koordinator juga harus bisa menyatukan seluruh potensi bangsa di berbagai instansi-akademik-industri. Kita memerlukan banyak ahli desain, ahli mesin, ahli mencari material yang pas, lalu ahli merakit di berbagai tahapan itu.
Karena itu, sebelum kita bicara mengenai modal berapa dan siapa investornya, perlu ada personel yang mampu menjadi koordinator secara keseluruhan. Di Indonesia belum ada. Yang menjadi koordinator itu harus kuat; kuat politik dan kuat ekonomi, atau mendapat dukungan kuat dari kedua kekuatan tersebut.
Siapa koordinator ini?
Pasti sekelas menteri ke atas. Mencontoh Proton ini, dulu kan sangat kuat Mahathir Mohammad (mantan Perdana Menteri Malaysia) untuk politik dan ekonomi, untuk menggerakkan orang menjadi satu tujuan.
Dulu saya berpikirnya berharap sekali ke Pak Dahlan Iskan. Cuma mungkin dukungan kurang, dan gayanya berbeda. Gayanya cepat, sehingga tidak bisa diikuti oleh orang lain, sehingga belum berhasil.
Anda pernah bertemu Dahlan Iskan dan bicara soal pengembangan mobil nasional?
Saya ketemu Pak Dahlan (tahun) 2012 akhir, saat saya pulang sebentar ke Indonesia. Saya katakan saat itu, kalau mau bangun mobil nasional, kita harus bicara tahapan 1 sampai 4. Kekurangan di mana, harus diperjelas dulu dan diupayakan diperbaiki.
Saya bilang, untuk merancang mobil nasional itu yang pertama harus menentukan model bisnis yang tepat. Artinya, dalam kondisi apa pun perusahaan harus bertahan, meskipun penjualannya berapa pun. Kita tahu pangsa pasar yang bisa direbut sangatlah kecil. Produsen-produsen kakap sudah terlanjur mapan dan tidak akan diam saja. Maka, satu-satunya cara harus (dengan) menyatukan potensi pasar ini. Itu harus dimasukkan ke dalam model bisnis yang dibuat.
Siapa yang memfasilitasi pertemuan itu?
Itu kebetulan saya banyak senior profesor di ITB yang kenal baik dengan Pak Dahlan. Mereka tahu kalau saya punya aktivitas di industri otomotif Jepang dan dari dulu konsentrasi di otomotif. Saya dikenalkan dengan Pak Dahlan, (dan) saya presentasi soal tahapan pengembangan.
Pertemuan dilakukan di Gedung BUMN. Di sana juga ada Dasep Ahmadi, perakit prototype Molina. Beliau saat itu mendiamkan, tidak menerima atau menolak gagasan saya.
Saat itu, yang mengembangkan mobil nasional ada Kemenristek, universitas-universitas dan pengembang swasta lainnya. Terkesan terkotak-kotak. Kalau sendiri-sendiri, itu tidak akan bisa. Saya juga singgung itu, (bahwa) proyek mobil nasional itu tujuannya harus untuk menciptakan lapangan pekerjaan di Indonesia dan meningkatkan kemampuan SDM Indonesia, bukan hanya sekadar punya merk Indonesia.
Saya baru tahu sekarang, kenapa Pak Dahlan Iskan tidak segera mengajak saya bergabung saat itu. Rupanya beliau sudah mulai galau dengan kondisi pengembangan mobnas di Tanah Air, dan khawatir saya kecewa dan gagal setelah bergabung. Itu baru saya tahu setelah bertemu kembali beberapa tahun kemudian. Kebetulan beliau hadir pada saat deklarasi Formasi-G, dan setelahnya menulis artikel khusus yang menyinggung pertemuan saat itu. Saya harus berterima kasih untuk semuanya.
Berapa jumlah ahli seperti Anda?
Saya tidak tahu pasti. Tetapi saya yakin mereka bisa dikumpulkan. Tapi harus ada orang yang bisa mengkoordinir, dan kuat secara ekonomi dan politik.
Sayangnya mereka belum berani untuk kembali, ya?
Pertama, realistis, kalau kembali kira-kira bisa menghidupi anak istri dengan layak atau tidak? Sesuai kemampuan, nggak? Kalau di luar negeri, selama kita bekerja profesional, maka akan dihargai. Kalau di Indonesia, "plus" harus bisa berpolitik, baru dihargai. Itu kadang-kadang membuat saya kebingungan.
Di balik kegelisahan itu, lalu Anda membuat komunitas Formasi-G. Komunitas seperti apa ini?
Kita berpikir tidak perlu langsung ingin membuat mobil atau pesawat, tapi produk-produk yang digunakan sehari-hari seperti sabun, kecap, minyak goreng dan lain-lain. Sebab apa yang kita pakai sehari-hari, semua itu kan ternyata masih banyak yang harus diimpor. Apa yang kita makan ini, masih banyak yang ada embel-embel asingnya.
Makanya saya membentuk komunitas yang isinya seruan untuk menggunakan produk lokal, baru (kemudian) bisa menggeser produk impor. Karena hampir mustahil produk asing kita larang masuk. Lebih-lebih zaman MEA. Bagaimana kita bisa membentengi diri dan bagaimana kita produksi sendiri, itu yang sedang kami lakukan.
Alhamdulillah, meskipun baru deklarasi Desember tahun lalu, sudah mulai banyak dukungan dari ABG (Academic-Business-Government) baik Indonesia maupun Jepang, dan kita mulai bergerilya melakukan aktivitas riilnya. Prinsipnya, kami berangkulan dengan berbagai pihak, tidak ingin bersaing dengan sesama orang Indonesia dan dengan lembaga mana pun. Musuh kita bukan sesama orang Indonesia, tetapi "globalisasi", dan hanya akan menjadi anugerah kalau kita bisa bersatu-padu.
Gerakan membuat produk lokal dan mempromosikannya sudah digalakkan pemerintah. Cuma, sepertinya belum terlalu berhasil. Apa koreksi Anda?
Ada kekurangannya. Pemerintah itu kadang merasa kaku. Kementerian Perdagangan itu sudah punya Indonesia Trade Promotion Centre (ITPC) di banyak kota di luar negeri. Di Jepang ada di Osaka. Di sana dipajang produk Indonesia yang siap diekspor. Tapi kurang bisa mencari buyer masyarakat Jepang, kalau hanya mengandalkan lembaga formal seperti kedutaan. Harus bisa merangkul, bersinergi, dan berkolaborasi dengan para diaspora Indonesia yang punya berbagai aktivitas di luar negeri.
Saya di Jepang pernah ikut seminar investasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan Malaysia. Kebetulan perusahaan saya sedang berpikir untuk menambah investasi di ASEAN, dan saya diminta mencari informasi terkait. Keduanya punya cara berbeda. Indonesia itu mengundang investor dengan seminar yang megah dan bahasa Inggris yang bagus. Tapi setelah selesai, ya, selesai begitu saja.
Kalau Malaysia, ngomongnya sedikit. Di sekitar tempat seminar disediakan stand-stand produk mereka. Ada penerjemah bahasa Jepang. Lalu setelah ngomong sedikit, peserta seminar dipersilakan ke stand-stand untuk mengetahui produk lebih jauh. Orang Jepang itu lebih senang kalau ada yang menerjemahkan ke bahasa Jepang. Maka bisa dibayangkan, output-nya sudah beda. Kalau di Malaysia, benar-benar mempertemukan penjual dan pembeli.
Di Formasi-G ini, saya mengajarkan jangan hanya menjadi "kembang api", tapi jadi "bola salju" yang menggelinding semakin besar. Formasi-G ini visinya meningkatkan daya saing produk dan SDM Indonesia di kancah global. Harus menang di pasar sendiri. Banyak pakar dan pengusaha yang terlibat. Mereka bisa menjadi jembatan untuk memasarkan dan mengembangkan produk lokal.
Sampai saat ini Anda masih sebagai karyawan dan belum punya perusahaan? Kenapa?
Di Indonesia, saya belum begitu kenal apa yang bisa saya buat untuk mendirikan perusahaan. Kalau di Jepang, saya punya perusahaan dengan adik, namanya Sariraya Co Ltd. Kami membuat produk makanan di sana, sebagai distribusi makanan halal juga. Kalau di sini belum punya keberanian saja keluar dari zona nyaman. Tetapi saat ini saya sedang intens berdiskusi dengan kawan-kawan dan berbagai kalangan, untuk memulai bisnis yang bermanfaat untuk Indonesia, dan tetap sesuai dengan Visi-Misi Formasi-G. Tunggu tanggal mainnya saja. Insya Allah tahun ini bisa dirilis.
Ada anggapan Anda ini tidak nasionalis, karena masih saja bekerja dengan perusahaan asing. Bagaimana tanggapan Anda?
Saat itu saya menanyakan ke Pak Dahlan untuk posisi di BUMN, mungkin saya bisa berbuat sesuatu. Itu karena dikatakan seperti itu. Kalau saya ke BUMN bagaimana ya? Alhamdulillah, saya mendapat jawaban melegakan dari beliau. Saya dinasehati agar berpikir (bahwa) nasionalisme modern itu tidak harus dengan menjadi pegawai negeri.
Penilaian kontribusi itu harus dinilai dengan arti luas. Saya di perusahaan Jepang bisa menambah karyawan, mengganti yang dulunya material dari Jepang, sekarang sebagian material dari Indonesia. Ke depan ini, yang harus dilakukan (adalah) perbanyak lapangan kerja seluas-luasnya dan menggunakan potensi sebesar-besarnya di Indonesia, memberikan nilai tambah yang setinggi-tingginya untuk dijual.
Makanya saya galaunya, orang Indonesia berpikirnya berjuang untuk Indonesia itu harus jadi menteri dan pejabat publik. Sekarang saya sudah banyak menerima masukan, tidak harus berpikir kembali menjadi pegawai negeri. Sekarang itu yang penting, saya bisa memberikan manfaat sebanyak-banyaknya untuk masyarakat Indonesia. Saya berbagi ilmu dengan mengajar di ITB, dan berbagi ke beberapa komunitas Tanah Air juga salah satu bentuk kontribusi itu. Saat ini saya bersama Tim Formasi-G juga telah berkoordinasi dengan Pemda Kabupaten Tuban di Jawa Timur, tanah kelahiran saya, untuk mengembangkan Proanda (Produk Andalan Daerah) di sana. Ini semua pasti akan menghilangkan kegalauan saya.
Biografi singkat Suyoto Rais:
Dr Ir Suyoto Rais M.Eng lahir di Tuban, 15 Oktober 1966. Dia pernah kuliah di ITS Surabaya, sebelum kemudian mendapatkan beasiswa Habibie untuk kuliah di Jepang. Dia lulus S-1 tahun 1991, S-2 tahun 1995, dan S-3 tahun 1999. Disertasinya mengenai "Study on Holonic Manufacturing Systems" di Osaka Prefecture University. Spesialisasinya adalah pengembangan sistem dan teknologi pemanufakturan untuk efisiensi aset produksi.
Suyoto pernah menjadi peneliti di BPPT. Sedangkan karier pertamanya adalah di Denso Corp di Nagoya. Dia masuk dalam jajaran peneliti di IMS-Japan. Saat itu, Suyoto melakukan penelitian bersama dengan tema "Modelling and Simulation Environments for Design, Planning and Operation of Globally Distributed Enterprises". Belakangan, Suyoto mendirikan Forum Masyarakat Indonesia Berwawasan Global (nama sementara: Formasi-G). Suyoto menuliskan kisah hidupnya selama berkiprah di Jepang dalam buku "Seindah Sakura di Langit Nusantara".
Suyoto Rais: Jalan Panjang Mimpi Mobil Nasional Indonesia
Pebriansyah Ariefana Suara.Com
Senin, 11 Januari 2016 | 07:00 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Kehidupan Lina Mukherjee Selama di Penjara, Duit Ratusan Juta Rupiah Sampai Ludes
24 November 2024 | 07:00 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
wawancara | 07:00 WIB
wawancara | 20:27 WIB
wawancara | 14:44 WIB
wawancara | 14:42 WIB
wawancara | 12:22 WIB
wawancara | 15:10 WIB
wawancara | 08:00 WIB