Suara.com - Suyoto Rais galau. Dia belum berani terlibat langsung mengembangkan teknologi di Indonesia. Padahal dia sangat ahli dalam pengembangan sistem produksi, teknologi proses dan efisensi aset produksi secara keseluruhan, khususnya untuk industri manufaktur.
Suyoto bahkan adalah peneliti Indonesia pertama yang masuk dalam jajaran IMS (Intelligent Manufacturing Systems). IMS adalah sebuah konsorsium penelitian yang dikoordinir oleh METI (Kementerian Ekonomi, Industri dan Perdagangan Jepang) yang melibatkan leading company, universitas terkemuka dan instansi penelitian di Jepang. Hanya orang terpilih yang bisa masuk ke sana.
Desember 2012, Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Suhono Supangkat, mengantarkan Suyoto Rais bertemu dengan Dahlan Iskan. Saat itu, Dahlan adalah Menteri Badan Urusan Milik Negara (BUMN) di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Saat itu, Suyoto bertemu Dahlan di ruangannya di Gedung BUMN, Jakarta. Pertemuan yang dijadwalkan 30 menit itu berkembang menjadi 2 jam. Selama itu, Suyoto menerangkan tahapan pengembangan mobil nasional. Sayang, Dahlan tampaknya kurang tertarik dengan paparan Suyoto, karena tidak ada tindak lanjut.
Kala itu Indonesia lagi "demam" dan ambisius mengembangkan mobil nasional. Kebetulan, mobil Esemka asal Solo sebulan sebelumnya dinyatakan resmi dijual. FX Hadi Rudyatmo yang menjabat sebagai Wali Kota Solo, ikut meluncurkan penjualan perdana mobil tipe SUV Rajawali itu pada tanggal 10 November.
Belakangan Dahlan merancang mobil Tuxuri dan Selo. Khusus Selo, mobil ini dirancang bangun oleh Danet Suryatama dan Ricky Elson. Tapi proyek ini gagal dan berakhir dengan kasus korupsi. Kejaksaan Agung menetapkan Dasep Ahmadi sebagai tersangka. Sementara Ricky yang merupakan ahli motor penggerak listrik yang bersekolah di Jepang, menjadi saksi.
Ditetapkannya Dasep sebagai tersangka mengundang kekecewaan. Salah satu yang terang-terangan kecewa adalah pengamat ekonomi politik Universitas Indonesia, Faisal Basri, yang diungkapkan melalui tulisannya di blog pribadi, Juli tahun lalu. Menurut Faisal, Dasep mempunyai niat baik mengembangkan mobil nasional, tapi malah disangka korupsi.
Terganjalnya inovasi yang dilakukan Danet, Ricky dan Dasep di negeri sendiri, sebenarnya bukan cerita baru. Buktinya, banyak ilmuwan Indonesia yang belum ingin berkiprah di negeri sendiri karena terpentok fasilitas pendukung dan dukungan niat negara.
Salah satunya adalah Suyoto. Dia adalah seorang ilmuwan besar yang lama di Jepang. Tidak berlebihan menyebut Suyoto sebagai ilmuwan besar, sebab keahliannya sangat dihargai Jepang selama puluhan tahun. Suyoto saat ini bahkan berstatus ekspatriat Jepang di Indonesia. Dia bekerja di perusahaan Jepang, dengan imbalan lebih besar dari orang Jepang sendiri.
Sebenarnya, penulis buku "Seindah Sakura di Langit Nusantara" itu menyimpan konsep untuk membuat industri mobil nasional. Dia bersedia membantu pemerintah Indonesia. Namun yang paling utama menurutnya, pemerintah harus benar-benar punya niat membangun mobil nasional. Adanya Esemka, Kancil dan purwarupa "mobil nasional" yang sudah ada saat ini, bisa jadi disebut sebagai "cikal bakal mobil nasional".
"Masih sangat jauh Indonesia mempunyai mobil nasional, karena harus memenuhi tahapan," kata Suyoto, saat berbincang dengan Suara.com di perusahaan Jepang tempat dia bekerja, Nagai Plastic Indonesia, di Cikarang, Jawa Barat, pekan lalu.
Bagaimana kiprah Suyoto Rais malang melintang menjadi ilmuwan di Negeri Sakura dan bekerja di perusahaan Jepang? Apa saja yang harus dilakukan Indonesia untuk bisa memiliki mobil nasional sesungguhnya? Berikut wawancara Suara.com selengkapnya:
Anda baru tahun 2014 kembali ke Indonesia setelah Anda bekerja di perusahaan ternama di Jepang. Bisa Anda ceritakan awal mula hijrah ke Jepang?
Gampangnya, di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), saya masih S1. Kebetulan ada tawaran beasiswa ke Jepang. Saya ikut saja. Beasiswa itu dari Jepang. Selain itu, saya sedikit shock saat itu. BPPT saat itu penelitiannya bagus-bagus dan orangnya pintar-pintar, tapi saya merasa nggak real. Saya tidak bisa aplikasikan ilmu, jadi saya merasa tidak nyambung.
Waktu itu saya berpikir, kalau tidak mencoba di industri real, saya tidak akan tahu kondisi yang sebenarnya. Makanya saya langsung ke Jepang, setelah itu ingin masuk industri real. Di Jepang saya kuliah mengambil Teknik Mesin, spesialisasi saya Sistem Kemanukfakturan.
Setelah lulus S3, ada tawaran di Amerika Serikat (AS). Setelah itu di Denso Coorporation di Jepang. Di Denso saya suka. Istilahnya membuat komponen utama untuk Toyota. Yang paling banyak tahu teknologi mobil itu paling banyak di Denso. Waktu itu dia punya penelitian manufacturing system, bekerja sama dengan universitas dan industri lain.
Selain itu, dekat sekali apa yang tengah saya teliti waktu S3. Saya meneliti bagaimana kita mengefisienkan aset perusahaan dan bagaimana kita membangun network yang baik ke global enterprise. Sehingga perusahaan di Jepang dan yang mempunyai perusahaan di negara lain untuk membangun komunikasi, database, membuat proses planning. Alasannya, kalau ide ada di pikiran seseorang, kalau orangnya sudah tidak ada, maka tidak ada juga ide itu. Jadi perlu database untuk mengelola itu.
Selama 20 tahun malang melintang di perusahaan luar negeri, itu waktu yang sangat lama. Apa yang Anda dapat?
Selama 3 tahun pertama, saya meneliti dasar untuk membuat manufaktur. Setelah itu, saya sebenarnya ingin pulang ke BPPT, karena kontrak dengan Denso 3 tahun. Tapi ada sebuah miscommunication, sehingga saya tidak bisa ke BPPT lagi.
Tapi kebetulan Denso menawarkan menjadi karyawan tetap. Saya mau, tapi syaratnya ditempatkan di lini produksi yang real. Akhirnya saya ditempatkan di lini produksi untuk produk-produk AC. Saat itu, Denso itu mengikuti jadwal Toyota yang ganti model selama 4 tahun sekali, sehingga lini produksi atau tim kerja pun akan berganti tiap 4 tahun. Yang pertama dibuat di Jepang, kemudian ke Amerika, Eropa, Cina, dan baru ke kawasan Asia. Yang saya buat saat itu di lini nomor 1 di Jepang, tapi diterapkan di Eropa, pembangunan di Eropa. Saya terlibat di sana.
Akhirnya saya putuskan untuk berkarier selama 9 tahun di Denso, dan kemudian berpindah ke perusahaan Jepang lainnya sampai sekarang. Tetapi saya selalu siap untuk membantu BPPT dari luar sistem sebisanya.
Tahun 2014, Anda memutuskan kembali ke Indonesia. Mengapa?
Utamanya (faktor) keluarga. Anak dan istri saya pulangkan lebih dulu. Saat itu saya sebulan sekali masih pulang ke Jepang.
Status saya di Indonesia saat ini ekspatriat di perusahaan, pekerja luar negeri yang kerja di Indonesia. Saya direktur di kantor pusat. Tapi kalau soal gaji, saya dikasih lebih dari orang Jepang sendiri. Atasan melihat saya mempunyai kemampuan melebihi orang Jepang di sana, sehingga dikasih lebih. Karena di Indonesia ada yang saya bisa kerjakan yang tidak bisa dikerjakan oleh orang Jepang.
Dorongan Anda pulang bukan ingin berkontribusi untuk Indonesia?
Saya ingin. Tapi saya miris (mengetahui) apa yang terjadi dengan kawan-kawan terdahulu yang pulang terlalu terbakar dengan nasionalisme. Tapi realistis, karier dan kehidupan kurang berkembang. Sehingga saya pikir-pikir kalau pun pulang. Kalau belum dapat tempat beraktivitas yang pas sesuai dengan bidang, dan memberikan nafkah, saya akan seperti ini saja: menjadi ekspatriat perusahaan Jepang, tapi tetap berada di Indonesia.
Sepertinya Anda takut untuk berkarier di perusahaan dalam negeri, atau juga membuat sesuatu untuk negara? (Padahal) Beberapa ilmuwan yang pulang ke Indonesia sebagian berkontribusi untuk negara?
Berkontribusi untuk negara, untuk Indonesia, itu tidak harus (dengan) menjadi pegawai negeri. Tidak harus bekerja di perusahaan dalam negeri. Kita jangan menganut nasionalisme sempit. Tetapi harus nasionalisme modern, seperti yang dicetuskan oleh Pak Dahlan Iskan melalui beberapa tulisannya. Selama kita selalu berpikir dan bisa membuktikan keberadaan kita bermanfaat untuk orang-orang di sekitar kita khususnya dan Indonesia pada umumnya, itulah kontribusi yang sesungguhnya.
Perusahaan Jepang saya pilih karena yang paling pas dengan skill dan pengalaman saya. Karena bidang saya itu manufaktur dan sistem, ingin bagaimana kita membuat produk yang baik. Harus dibikin dengan apa? Mesin apa? Untuk begitu, itu tidak bisa sendiri. Perlu tim, dan perlu dengan banyak engineer. Kalau satu saja tahap tidak terlampaui atau kekurangan orang, itu tidak akan jalan. Dan itu saya temui di perusahaan manufaktur Jepang.
Sebaliknya, untuk kondisi di Indonesia, masih sedikit orang yang tahu step by step pengembangan produk yang benar. Masih kekurangan tenaga andal untuk posisi tertentu yang menentukan. Makanya seperti prototype mobil nasional, mandek di prototype. Karena di tahap berikutnya kekurangan orang, yaitu di tahap prosesnya. Makanya, saya berpikir akan tetap maju kalau tetap di perusahaan Jepang.
Tiap kali ajang motor show (otomotif) nasional, isu mobil nasional selalu digaungkan. Tetapi mobil nasional tidak kunjung terwujud. Apa saja yang diperlukan untuk memulai membuat mobil nasional?
Untuk membangun produk apa pun itu, ada dua faktor utama. (Pertama) Bagaimana membikin business model yang pas dengan menjaga kepercayaan kepada yang membeli atau ke costumer. Kedua, membuat supply chain management yang mendapat dukungan penuh dari para supplier. Misalnya pasokan komponen untuk mobil. Tanpa kedua faktor itu, mobnas tidak akan sampai ke tahap produksi massal, dan kalau pun bisa akan segera kehabisan energi dan mandek di tengah jalan.
Suyoto Rais: Jalan Panjang Mimpi Mobil Nasional Indonesia
Pebriansyah Ariefana Suara.Com
Senin, 11 Januari 2016 | 07:00 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Kehidupan Lina Mukherjee Selama di Penjara, Duit Ratusan Juta Rupiah Sampai Ludes
24 November 2024 | 07:00 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI
wawancara | 07:00 WIB
wawancara | 20:27 WIB
wawancara | 14:44 WIB
wawancara | 14:42 WIB
wawancara | 12:22 WIB
wawancara | 15:10 WIB
wawancara | 08:00 WIB