Suara.com - Lebih dari 300 kepala daerah tersangkut kasus korupsi sampai akhir 2015 kemarin. Kasus mereka ditangani KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.
Kasus korupsi kepala daerah terbaru adalah kasus penyuapan panitera PTUN Medan yang menjerat Gubernur Sumatera Utara Nonaktif, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti. Suami istri itu juga didakwa menyuap anggota DPR dari Partai NasDem, Patrice Rio Capella.
‘Tren’ istri membantu suami untuk korupsi di kalangan pejabat negara marak tahun kemarin. Selain Gatot dan Evy, ada juga Wali Kota Nonaktif Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyitoh, serta Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah.
Budayawan yang juga profesor ilmu filsafat dan sosial, Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis atau Romo Magnis menilai prilaku itu menunjukan sikap “tak tahu malu” dari pejabat negara. Mereka kayak arena korupsi.
Mantan Pimpinan KPK, Johan Budi yang pernah diwawancara khusus suara.com beberapa waktu lalu, pernah memprediksi modus dan cara korupsi yang akan dihadapi KPK baru di bawah pimpinan Agus Rahardjo semakin besar.
Romo Magnis pun memprediksi hal yang sama. “Korupsi merupakan pembusukan menyeluruh,” kata lelaki kelahiran Jerman itu.
Bahkan Romo Magnis menyebutkan itu semua bagian dari tanda-tanda kelahiran kelompok neo feodalisme. Jika tak dihentikan, ‘paham’ itu mengancam negara. Akibatnya, pejabat negara tanpa rasa malu menjadi kaya dan hidup mewah dari hasil korupsi.
Dalam wawancara dengan suara.com pekan lalu, Romo Magnis menganalisa persoalan Indonesia perspektif nilai-nilai budaya. Dari kekerasan atas nama agama, sampai sikap ‘muka tembok’ dan ‘tak tahu malu’ yang diperlihatkan para pejabat negara.
Termasuk analisa skandal orang nomor satu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto. Novanto yang saat ini sudah mundur dari kursi ketua DPR itu diduga terlibat dalam persekongkolan jahat bagi-bagi jatah saham PT Freeport Indonesia. Sebulan lebih kasus itu bergulir, Novanto belum mengaku. Novanto mundur setelah ada tekanan publik.
Namun ada juga pejabat negara yang melepaskan jabatannya tanpa harus ditekan publik lewat media. Mereka adalah Dirjen Pajak Sigit Pradi Pramudito dan Dirjen Perhubungan Darat Djoko Sasono. Sigit mundur karena merasa tidak mampu menaikan target pendapatan pajak, dan Djoko mundur karena merasa gagal tidak bisa mengurai kemacetan di musim liburan Natal dan Tahun Baru kemarin.
Apa sebenarnya yang tengah dihadapi Indonesia? Bagaimana juga solusinya?
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Romo Magnis menganalis fenomena tersebut:
Belum lama ini sejumlah budayawan bertemu presiden di Istana, termasuk Anda. Masukan apa yang diberkan ke Jokowi?
Kami menyampaikan masing-masing pandangan. Saya diminta bicara yang pertama, karena saya yang paling tua. Saya hanya mengajukan 2 hal.
Pertama sangat perlu diusahakan di Indonesia tidak ada orang dan kelompok orang yang merasa takut karena agama, kepercayaannya dan ibadahnya. Agama di Indonesia tidak boleh menakutkan, negara harus menjamin itu. Tantangan lebih besar bukan menyangkut 6 agama yang diakui. Pada prinsipnya eksistensi mereka diterima. Memang ada kasus intoleransi dan sebagainya, tapi pancasila tidak kenal agama yang diakui dan tidak diakui.
Ketuhanan Yang Maha Esa itu justru ingin mengatakan, tidak ada satu bentuk ketuhanan tertentu yang diprivilesekan. Karena itu, negara juga harus menjamin bahwa kelompok-kelompok kecil di luar 6 agama itu. Semisal Syiah, Ahmadiyah, Saksi Yehova, dan berbagai kelompok kepercayaan. Tentu agama-agama asli Nusantara. Merasa sepenuhnya harus bebas terlindung dan diterima dalam religius mereka dan ibadah mereka.
Poin kedua, saya berpendapat dari sekian masalah yang dihadapi Indonesia. Yang paling berbahaya adalah korupsi. Khususnya korupsi di kelas politik. Korupsi merupakan pembusukan menyeluruh. Apalagi kalau korupsi kelas politik bisa menyebabkan kepercayaan masyarakat keseluruhan sistem akan hancur. Misalnya DPR oleh masyarakat dipahami oleh sekelompok orang dengan licik memperkaya diri dari hasil kerja masyarakat. Demokrasi kita akan bahaya.
Kasus intoleransi terus terjadi selama bertahun-tahun, mengapa?
Intoleransi itu ada berbagai latarbelakang, salah satunya saling mencurigai. Tapi begitu ditanya. apa yang dicurigai? Sering kita tidak bisa dapat jawaban yang memuaskan. Dulu ada isu kristenisasi dan islamisasi, tapi sekarang itu tidak terlalu kuat.
Selain itu ada prasangka keagamaan. Masing-masing agama mengklaim saling benar. Selain itu juga dari pihak negara, pendidikan ke arah toleransi tidak ada. Padahal masyarakat harus belajar untuk toleran. Sehingga pergaulan antara lintas agama tidak ada masalah. Di lihat apa yang salah? Negara paling bertanggungjawab.
Masalah di dua negara itu ada dua level. Mungkin ditingkat nasional kurang berani secara jelas mengajak masyarakat untuk toleran. Tidak berani dikatakan. Sedangkan yang level bawah itu lebih gawat, mereka itu murni oportulistik, tidak peduli hak asasi dan pancasila. Mereka mengambil sikap secara oportun secara politik. Level bawah ini seperti bupati, pejabat adminstrasi kota dan sebagainya. Mereka hanya melihat apa yang popoler dan berpihak dengan mayoritas.
Anda menyebut ada sekian banyak masalah di Indonesia, apa saja itu?
Satu tantangan yang tetap ada adalah kesenjangan. Hampir 50 persen masyarakat di posisi “pas miskin” dan belum sejahtera. Masih harus memperhitungkan setiap Rp1.000. Sedangkan semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kemajuannya. Di sisi lain, pembangunan hanya terarah pada mereka yang berpendapatan tinggi. Karena dari sisi ekonomi mereka lebih menarik daripada yang 50 persen itu. Mereka yang miskin tidak mendapatkan akses.
Misalnya pembangunan pusat pembelanjaan, di sisi lain pembangunan taman atau fasilitas umum gratis hampir jarang. Akses transportasi minim, tidak hanya di Jakarta. Sehingga mereka yang bisa berpergian adalah yang mempunyai motor dan mobil.
Kedua, tentu saja kekerasan dalam masyarakat. Masyarakat kita ini selalu merosot reaksinya, sehingga mudah menjadi sikap kekerasan. Ada kekerasan dengan latarbelakang agama, sebenarnya kontradiksi. Kekerasan di jalan-jalan mudah pecah, gesekan sedikit di lalu lintas mudah saling pukul. Orang mudah emosi dan saling bunuh.
Tapi yang serius itu, ketegangan antar etnik. Beda dengan ketegagan agama karena keenam agama itu hubungannya sudah bagus. Sehingga kekerasan atasnama agama itu sangat sedikit.
Tapi ketegangan antara etnik ini bisa datang dari 2 bentuk. Misal ketegangan antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Misal kasus di Lampung 3 tahun lalu, konflik berdara antara konflik asli Lampung dan penduduk Bali. Konfik etnik mudah dimainkan dalam pilkada. Ini belum ditangani, saya belum melihat pemerintah menangani ini.
Lainnya tantangan budaya di Indonesia, kekurangan disiplin. Kelihatan di lalu lintas dan juga pekerjaan di kantor. Kita ini mempunyai masalah dalam pendidikan dasar. Reformasi sudah perlu disadari, tapi apakah sudah berhasil? Pendidikan sekarang masih sangat otoriter, guru adalah raja, siswa adalah bodoh.
Padahal seharusnya kalau ingin mendidik orang yang terbuka, pendidikan harus menrangsang kreatifitas, rasa ingin tahu dan ada berbantah-bantahan. Siswa yang bertanya, bukan disebut dia belum mengerti. Tapi dipuji kalau bertanya. Jadi sebetunya masalahnya guru tidak mampu dan tidak bisa mendidik. Jadi kta mendapatkan orang hasil didikan mentalnya belum dewasa. Orang kalau usia 20 belum dewasa, maka dia tidak ada dewasa seumur hidupnya.
Terlepas dari soal intrik politik, modus dan cara korupsi saat ini berkebang. Korupsi dikerjakan dari hasil kerjasama suami istri di kalangan pejabat negara. Bagaimana pandangan Anda soal ini?
Saya kira itu karena kebangkitan kembali feodalisme.
Dulu para pejabat pribumi di seluruh Indonesia bekerja erat bersama dengan penjajah Belanda. Mereka tidak mendukung kemerdekaan. Namun anak-anak mereka yang studi di luar negeri mendukung kemerdekaan.
Termasuk pangreh projo atau kalangan pengusaha dan sultan saat itu kebanyakan tunduk pada Belanda. Karena mereka itu kebagian harta. Kecuali Sultan Yogyakarta. Lalu datang kemerdekaan, sikap itu perlahan berkurang.
Tahun 50-an masih terasa kuat anti feodalisme. Soekarno sangat sadar sangat berbahaya ketika ‘jembatan emas’ kemerdekaan yang sudah diseberangi. Ancamannya adalah kapitalisme dan feodalisme. Soekarno mengajak masyarakat untuk percaya itu.
Feodalisme itu mulai muncul kuat lewat monopoli militer, monopoli Soeharto dan keluarganya. Itu saya kira awal penyakit itu.
Sehingga di dalam tras politik kita hilang satu perasaan berkewajiban terhadap masyarakat. Yang menyedihkan itu contohnya DPR sudah tidak dipercayai masyarakat.
Apa bahaya kongkrit feodalisme kekinian?
Feodalisme akan sangat berbahaya jika digoda dengan konsumerisme dengan maksud memamerkan kekayaan dan kemewahan. Punya puluhan mobil yang harganya luar biasa, berpesta, belanja di butik eksklusif di mal. Itu merusak moralitas dan menambah semangat feodal. Sehingga pejabat tidak merasa bertanggungjawab dengan orang kecil.
Ditambah dengan latah konsumerisme. Karena dahulu, di zaman feodal itu tidak ada karena konsumsinya masih sangat terbatas.
Itu menjadi sebuah masalah moral juga. Terlebih didukung struktur mendorong ke arah korupsi. Di satu pihak sarana anti korupsi di bongkar atas desakan para koruptor. Mafia sudah menguasai bagian dari negara kita.
Ketika pejabat masuk penjara karena korupsi tidak ada pernyataan malu, malah membela diri…
Itu sudah biasa dalam feodalisme. Mental feodal orang tidak merasa malu menjadi tuan besar. Di zaman dulu, di seluruh dunia ada feodal. Mereka mendapatkan privilese hanya karena mereka bangsawan. Seluruh masyarakat kelaparan, cuma bangsawan yang tidak lapar. Contohnya di kasus Setya Novanto, tidak ada rasa malu, termasuk di orangnya sendiri.
Bicara soal budaya malu, ada dua pejabat yang mundur karena merasa gagal menjalankan tugasnya. Media mengarahkan opini agar mereka mendapatkan pujian. Apakah ini bisa dijadikan contoh kebaikan pejabat Indonesia di tengah karakter feodal di pejabat publik lainnya?
Dua sikap orang itu terpuji. Tapi sikap itu tidak seluruhnya menyelesaikan masalah. Yang penting memang diambil tindakan untuk berubah. Saya bisa melihat dua orang itu menunjukan sikap yang bisa diteladani. Tentu saya harapkan, tidak perlu orang lain ikut mundur karena mereka harus melakukan kewajiban.
Karena orang mengundurkan diri itu di negara-negara demokratis jarang terjadi. Mundurnya seseorang itu puncak dari sikap tanggungjawab, dan itu terpuji. Ada juga orang yang tidak mundur karena mengatakan “aku bertanggungjawab akan memperbaiki diri”. Jadi tidak harus selalu mundur.
Tapi dengan budaya setiap orang belum tahu malu. Contoh dua Dirjen itu, itu sesuatu yang sangat positif. Tapi jangan terlalu banyak yang melakukan hal yang sama di Indonesia. Lebih baik mengaku bertanggungjawab atas semua kekurangan dan akan mengambil tindakan. Kalau nggak bisa ambil tindakan ini, maka mengundurkan diri. Bisa juga seperti itu.
Mengapa di negara demokrasi jarang ada budaya mengundurkan diri?
Karena sistem politik tidak memerlukan itu. Karena sistem ini akan lebih banyak dihujani kritik dan tuntutan. Mungkin juga motifnya, karena eksekutif akan disoroti terus menerus dengan tajam oleh media.
Saya mengaku di Jerman, kalau orang betul bersalah, biasanya akan langsung ke pimpinan. Dia tentu tidak bisa cepat-cepat mundur. Karena dia didukung sebagian dari DPR. Dianggap cukup kalau pejabat yang bersangkutan diminta bertanggungjawab secara kredible menjamin akan ada perubahan. Mundur itu tidak harus.
Karena tidak cocok dalam negara demokrasi?
Budaya mundur itu kan juga berarti “aku tidak merasa mampu untuk memperbaiki”. Itu tidak kita harapkan. Kita harus berikan kesempatan untuk memperbaiki. Dalam demokrasi itu kan ada ancaman yang lebih besar, pemilihan umum berikut.
Karena hal itu tidak akan dilupakan. Kalau ada kasus 3-4 menteri yang rupa-rupanya tidak bisa dan tidak kelihatan betul-betul bekerja, maka pemerintah tidak akan dipilih lagi. Jadi itu latar belakang yang cukup serius. Mengundurkan diri belum tentu memperbaiki keadaan. Kalau memang tidak bisa, presiden saja yang melepaskan.
Mengapa di Jepang budaya malunya sangat kuat?
Ada istilah anthropology shame culture (perasaan malu) dan anthropology guilt culture (perasaan salah). Shame culture yang paling ditakuti orang adalah salah malu. Ini dikembangkan dari masyarakat Jepang. Di sana ekstrem, dia punya hara-kiri (bunuh diri karena malu). Tapi ini tidak ada di Eropa dan Jawa.
Jepang memang sangat istimewa dalam menghindari rasa malu. Di dalam suasana kerja, mereka berpikir lebih baik mundur daripada terus memperbaiki diri dengan keadaan dicemooh orang.
Menurut saya, Indonesia tidak harus sama dengan Jepang. Kalau ada pejabat yang tidak mampu bekerja, dia harus berusaha untuk bekerja. Tapi kalau tidak mampu, bisa mundur. Tapi yang bahaya kalau mereka tidak punya rasa malu. Celakanya, kebanyakan seperti itu.
Pemerintahan Joko Widodo sudah setahun lebih berjalan. Bagiamana pandangan Anda sebagai budayawan?
Saya melihat kabinet Jokowi masih mengambang. Presiden sendiri secara politis lemah. Dia bukan pimpinan partai, bahkan partai pendukungnya juga tidak memihak dia. Tidak seperti SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang dulu pimpinan partai, itu sehat menurut saya. Tapi Presiden Jokowi ini belum tegas.
Setahun lebih berkuasa Jokowi belum melihat gebrakan apapun.
Dulu saya memuji Jokowi menghapus subsidi BBM. Tapi hasil subsidi itu harus diberikan secara terarah. Tapi itu belum terlihat kecemerlangan. Tapi saya belum pesimis, saya masih menunggu “faktor Jokowi” itu terlihat dan terasa.
Biografi singkat Romo Magnis
Romo Magnis bernama lengkap Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis. Profesor filsafat ini lahir 79 tahun silam di Eckersdorf, Silesia, Polandia (dulu Jerman). Dia putera pertama dari 6 anak Dr. Ferdinand Graf von Magnis, bangsawan pemilik hutan di Polandia sebelum perang dunia. Romo Magnis saat ini memimpin Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Timur.
Sejak tahun 1961 pada usia 25 tahun, untuk belajar filsafat dan teologi di Yogyakarta. Tahun 1971 dia menempuh studi doktor Universitas Munchen dengan disertasi tentang Karl Marx. Dia juga gelar Doctor Honoris Causae dalam teologi dari Universitas Luzern di Swiss.
Romo Magnis berstatus warga negara Indonesia sejak 1977. Pada 13 Agustus 2015 kemarin, Magnis Suseno dianugerahi Bintang Mahaputra Utama atas jasa-jasa di bidang kebudayaan dan filsafat. Soal keadaan Indonesia, Magnis Suseno sudah memahaminya. Bahkan sejak era Presiden Soekarno.