Franz Magnis Suseno: Ancaman Neo Feodalisme Pejabat Negara

Senin, 04 Januari 2016 | 07:00 WIB
Franz Magnis Suseno: Ancaman Neo Feodalisme Pejabat Negara
Budayawan, Permerhati Sosial, Franz Magnis Suseno. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apa bahaya kongkrit feodalisme kekinian?

Feodalisme akan sangat berbahaya jika digoda dengan konsumerisme dengan maksud memamerkan kekayaan dan kemewahan. Punya puluhan mobil yang harganya luar biasa, berpesta, belanja di butik eksklusif di mal. Itu merusak moralitas dan menambah semangat feodal. Sehingga pejabat tidak merasa bertanggungjawab dengan orang kecil.

Ditambah dengan latah konsumerisme. Karena dahulu, di zaman feodal itu tidak ada karena konsumsinya masih sangat terbatas.

Itu menjadi sebuah masalah moral juga. Terlebih didukung struktur mendorong ke arah korupsi. Di satu pihak sarana anti korupsi di bongkar atas desakan para koruptor. Mafia sudah menguasai bagian dari negara kita.

Ketika pejabat masuk penjara karena korupsi tidak ada pernyataan malu, malah membela diri…

Itu sudah biasa dalam feodalisme. Mental feodal orang tidak merasa malu menjadi tuan besar. Di zaman dulu, di seluruh dunia ada feodal. Mereka mendapatkan privilese hanya karena mereka bangsawan. Seluruh masyarakat kelaparan, cuma bangsawan yang tidak lapar. Contohnya di kasus Setya Novanto, tidak ada rasa malu, termasuk di orangnya sendiri.

Bicara soal budaya malu, ada dua pejabat yang mundur karena merasa gagal menjalankan tugasnya. Media mengarahkan opini agar mereka mendapatkan pujian. Apakah ini bisa dijadikan contoh kebaikan pejabat Indonesia di tengah karakter feodal di pejabat publik lainnya?

Dua sikap orang itu terpuji. Tapi sikap itu tidak seluruhnya menyelesaikan masalah. Yang penting memang diambil tindakan untuk berubah. Saya bisa melihat dua orang itu menunjukan sikap yang bisa diteladani. Tentu saya harapkan, tidak perlu orang lain ikut mundur karena mereka harus melakukan kewajiban.

Karena orang mengundurkan diri itu di negara-negara demokratis jarang terjadi. Mundurnya seseorang itu puncak dari sikap tanggungjawab, dan itu terpuji. Ada juga orang yang tidak mundur karena mengatakan “aku bertanggungjawab akan memperbaiki diri”. Jadi tidak harus selalu mundur.

Tapi dengan budaya setiap orang belum tahu malu. Contoh dua Dirjen itu, itu sesuatu yang sangat positif. Tapi jangan terlalu banyak yang melakukan hal yang sama di Indonesia. Lebih baik mengaku bertanggungjawab atas semua kekurangan dan akan mengambil tindakan. Kalau nggak bisa ambil tindakan ini, maka mengundurkan diri. Bisa juga seperti itu.

Mengapa di negara demokrasi jarang ada budaya mengundurkan diri?

Karena sistem politik tidak memerlukan itu. Karena sistem ini akan lebih banyak dihujani kritik dan tuntutan. Mungkin juga motifnya, karena eksekutif akan disoroti terus menerus dengan tajam oleh media.

Saya mengaku di Jerman, kalau orang betul bersalah, biasanya akan langsung ke pimpinan. Dia tentu tidak bisa cepat-cepat mundur. Karena dia didukung sebagian dari DPR. Dianggap cukup kalau pejabat yang bersangkutan diminta bertanggungjawab secara kredible menjamin akan ada perubahan. Mundur itu tidak harus.

Karena tidak cocok dalam negara demokrasi?

Budaya mundur itu kan juga berarti “aku tidak merasa mampu untuk memperbaiki”. Itu tidak kita harapkan. Kita harus berikan kesempatan untuk memperbaiki. Dalam demokrasi itu kan ada ancaman yang lebih besar, pemilihan umum berikut.

Karena hal itu tidak akan dilupakan. Kalau ada kasus 3-4 menteri yang rupa-rupanya tidak bisa dan tidak kelihatan betul-betul bekerja, maka pemerintah tidak akan dipilih lagi. Jadi itu latar belakang yang cukup serius. Mengundurkan diri belum tentu memperbaiki keadaan. Kalau memang tidak bisa, presiden saja yang melepaskan.

Mengapa di Jepang budaya malunya sangat kuat?

Ada istilah anthropology shame culture (perasaan malu) dan anthropology guilt culture (perasaan salah). Shame culture yang paling ditakuti orang adalah salah malu. Ini dikembangkan dari masyarakat Jepang. Di sana ekstrem, dia punya hara-kiri (bunuh diri karena malu). Tapi ini tidak ada di Eropa dan Jawa.

Jepang memang sangat istimewa dalam menghindari rasa malu. Di dalam suasana kerja, mereka berpikir lebih baik mundur daripada terus memperbaiki diri dengan keadaan dicemooh orang.

Menurut saya, Indonesia tidak harus sama dengan Jepang. Kalau ada pejabat yang tidak mampu bekerja, dia harus berusaha untuk bekerja. Tapi kalau tidak mampu, bisa mundur. Tapi yang bahaya kalau mereka tidak punya rasa malu. Celakanya, kebanyakan seperti itu.

Pemerintahan Joko Widodo sudah setahun lebih berjalan. Bagiamana pandangan Anda sebagai budayawan?

Saya melihat kabinet Jokowi masih mengambang. Presiden sendiri secara politis lemah. Dia bukan pimpinan partai, bahkan partai pendukungnya juga tidak memihak dia. Tidak seperti SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang dulu pimpinan partai, itu sehat menurut saya. Tapi Presiden Jokowi ini belum tegas.

Setahun lebih berkuasa Jokowi belum melihat gebrakan apapun.

Dulu saya memuji Jokowi menghapus subsidi BBM. Tapi hasil subsidi itu harus diberikan secara terarah. Tapi itu belum terlihat kecemerlangan. Tapi saya belum pesimis, saya masih menunggu “faktor Jokowi” itu terlihat dan terasa.

Biografi singkat Romo Magnis

Romo Magnis bernama lengkap Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis. Profesor filsafat ini lahir 79 tahun silam di Eckersdorf, Silesia, Polandia (dulu Jerman). Dia putera pertama dari 6 anak Dr. Ferdinand Graf von Magnis, bangsawan pemilik hutan di Polandia sebelum perang dunia. Romo Magnis saat ini memimpin Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta Timur.

Sejak tahun 1961 pada usia 25 tahun, untuk belajar filsafat dan teologi di Yogyakarta. Tahun 1971 dia menempuh studi doktor Universitas Munchen dengan disertasi tentang Karl Marx. Dia juga gelar Doctor Honoris Causae dalam teologi dari Universitas Luzern di Swiss.

Romo Magnis berstatus warga negara Indonesia sejak 1977. Pada 13 Agustus 2015 kemarin, Magnis Suseno dianugerahi Bintang Mahaputra Utama atas jasa-jasa di bidang kebudayaan dan filsafat. Soal keadaan Indonesia, Magnis Suseno sudah memahaminya. Bahkan sejak era Presiden Soekarno.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI