Franz Magnis Suseno: Ancaman Neo Feodalisme Pejabat Negara

Senin, 04 Januari 2016 | 07:00 WIB
Franz Magnis Suseno: Ancaman Neo Feodalisme Pejabat Negara
Budayawan, Permerhati Sosial, Franz Magnis Suseno. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lebih dari 300 kepala daerah tersangkut kasus korupsi sampai akhir 2015 kemarin. Kasus mereka ditangani KPK, Kejaksaan Agung dan Kepolisian.

Kasus korupsi kepala daerah terbaru adalah kasus penyuapan panitera PTUN Medan yang menjerat Gubernur Sumatera Utara Nonaktif, Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evy Susanti. Suami istri itu juga didakwa menyuap anggota DPR dari Partai NasDem, Patrice Rio Capella.

‘Tren’ istri membantu suami untuk korupsi di kalangan pejabat negara marak tahun kemarin. Selain Gatot dan Evy, ada juga Wali Kota Nonaktif Palembang Romi Herton dan istrinya, Masyitoh, serta Bupati Karawang Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah.

Budayawan yang juga profesor ilmu filsafat dan sosial, Maria Franz Anton Valerian Benedictus Ferdinand von Magnis atau Romo Magnis menilai prilaku itu menunjukan sikap “tak tahu malu” dari pejabat negara. Mereka kayak arena korupsi.

Mantan Pimpinan KPK, Johan Budi yang pernah diwawancara khusus suara.com beberapa waktu lalu, pernah memprediksi modus dan cara korupsi yang akan dihadapi KPK baru di bawah pimpinan Agus Rahardjo semakin besar.

Romo Magnis pun memprediksi hal yang sama. “Korupsi merupakan pembusukan menyeluruh,” kata lelaki kelahiran Jerman itu.

Bahkan Romo Magnis menyebutkan itu semua bagian dari tanda-tanda kelahiran kelompok neo feodalisme. Jika tak dihentikan, ‘paham’ itu mengancam negara. Akibatnya, pejabat negara tanpa rasa malu menjadi kaya dan hidup mewah dari hasil korupsi.

Dalam wawancara dengan suara.com pekan lalu, Romo Magnis menganalisa persoalan Indonesia perspektif nilai-nilai budaya. Dari kekerasan atas nama agama, sampai sikap ‘muka tembok’ dan ‘tak tahu malu’ yang diperlihatkan para pejabat negara.

Termasuk analisa skandal orang nomor satu di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto. Novanto yang saat ini sudah mundur dari kursi ketua DPR itu diduga terlibat dalam persekongkolan jahat bagi-bagi jatah saham PT Freeport Indonesia. Sebulan lebih kasus itu bergulir, Novanto belum mengaku. Novanto mundur setelah ada tekanan publik.

Namun ada juga pejabat negara yang melepaskan jabatannya tanpa harus ditekan publik lewat media. Mereka adalah Dirjen Pajak Sigit Pradi Pramudito dan Dirjen Perhubungan Darat Djoko Sasono. Sigit mundur karena merasa tidak mampu menaikan target pendapatan pajak, dan Djoko mundur karena merasa gagal tidak bisa mengurai kemacetan di musim liburan Natal dan Tahun Baru kemarin.

Apa sebenarnya yang tengah dihadapi Indonesia? Bagaimana juga solusinya?

Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Romo Magnis menganalis fenomena tersebut:

Belum lama ini sejumlah budayawan bertemu presiden di Istana, termasuk Anda. Masukan apa yang diberkan ke Jokowi?

Kami menyampaikan masing-masing pandangan. Saya diminta bicara yang pertama, karena saya yang paling tua. Saya hanya mengajukan 2 hal.

Pertama sangat perlu diusahakan di Indonesia tidak ada orang dan kelompok orang yang merasa takut karena agama, kepercayaannya dan ibadahnya. Agama di Indonesia tidak boleh menakutkan, negara harus menjamin itu. Tantangan lebih besar bukan menyangkut 6 agama yang diakui. Pada prinsipnya eksistensi mereka diterima. Memang ada kasus intoleransi dan sebagainya, tapi pancasila tidak kenal agama yang diakui dan tidak diakui.

Ketuhanan Yang Maha Esa itu justru ingin mengatakan, tidak ada satu bentuk ketuhanan tertentu yang diprivilesekan. Karena itu, negara juga harus menjamin bahwa kelompok-kelompok kecil di luar 6 agama itu. Semisal Syiah, Ahmadiyah, Saksi Yehova, dan berbagai kelompok kepercayaan. Tentu agama-agama asli Nusantara. Merasa sepenuhnya harus bebas terlindung dan diterima dalam religius mereka dan ibadah mereka.

Poin kedua, saya berpendapat dari sekian masalah yang dihadapi Indonesia. Yang paling berbahaya adalah korupsi. Khususnya korupsi di kelas politik. Korupsi merupakan pembusukan menyeluruh. Apalagi kalau korupsi kelas politik bisa menyebabkan kepercayaan masyarakat keseluruhan sistem akan hancur. Misalnya DPR oleh masyarakat dipahami oleh sekelompok orang dengan licik memperkaya diri dari hasil kerja masyarakat. Demokrasi kita akan bahaya.

Kasus intoleransi terus terjadi selama bertahun-tahun, mengapa?

Intoleransi itu ada berbagai latarbelakang, salah satunya saling mencurigai. Tapi begitu ditanya. apa yang dicurigai? Sering kita tidak bisa dapat jawaban yang memuaskan. Dulu ada isu kristenisasi dan islamisasi, tapi sekarang itu tidak terlalu kuat.

Selain itu ada prasangka keagamaan. Masing-masing agama mengklaim saling benar. Selain itu juga dari pihak negara, pendidikan ke arah toleransi tidak ada. Padahal masyarakat harus belajar untuk toleran. Sehingga pergaulan antara lintas agama tidak ada masalah. Di lihat apa yang salah? Negara paling bertanggungjawab.

Masalah di dua negara itu ada dua level. Mungkin ditingkat nasional kurang berani secara jelas mengajak masyarakat untuk toleran. Tidak berani dikatakan. Sedangkan yang level bawah itu lebih gawat, mereka itu murni oportulistik, tidak peduli hak asasi dan pancasila. Mereka mengambil sikap secara oportun secara politik. Level bawah ini seperti bupati, pejabat adminstrasi kota dan sebagainya. Mereka hanya melihat apa yang popoler dan berpihak dengan mayoritas.

Anda menyebut ada sekian banyak masalah di Indonesia, apa saja itu?

Satu tantangan yang tetap ada adalah kesenjangan. Hampir 50 persen masyarakat di posisi “pas miskin” dan belum sejahtera. Masih harus memperhitungkan setiap Rp1.000. Sedangkan semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kemajuannya. Di sisi lain, pembangunan hanya terarah pada mereka yang berpendapatan tinggi. Karena dari sisi ekonomi mereka lebih menarik daripada yang 50 persen itu. Mereka yang miskin tidak mendapatkan akses.

Misalnya pembangunan pusat pembelanjaan, di sisi lain pembangunan taman atau fasilitas umum gratis hampir jarang. Akses transportasi minim, tidak hanya di Jakarta. Sehingga mereka yang bisa berpergian adalah yang mempunyai motor dan mobil.

Kedua, tentu saja kekerasan dalam masyarakat. Masyarakat kita ini selalu merosot reaksinya, sehingga mudah menjadi sikap kekerasan. Ada kekerasan dengan latarbelakang agama, sebenarnya kontradiksi. Kekerasan di jalan-jalan mudah pecah, gesekan sedikit di lalu lintas mudah saling pukul. Orang mudah emosi dan saling bunuh.

Tapi yang serius itu, ketegangan antar etnik. Beda dengan ketegagan agama karena keenam agama itu hubungannya sudah bagus. Sehingga kekerasan atasnama agama itu sangat sedikit.

Tapi ketegangan antara etnik ini bisa datang dari 2 bentuk. Misal ketegangan antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Misal kasus di Lampung 3 tahun lalu, konflik berdara antara konflik asli Lampung dan penduduk Bali. Konfik etnik mudah dimainkan dalam pilkada. Ini belum ditangani, saya belum melihat pemerintah menangani ini.

Lainnya tantangan budaya di Indonesia, kekurangan disiplin. Kelihatan di lalu lintas dan juga pekerjaan di kantor. Kita ini mempunyai masalah dalam pendidikan dasar. Reformasi sudah perlu disadari, tapi apakah sudah berhasil? Pendidikan sekarang masih sangat otoriter, guru adalah raja, siswa adalah bodoh.

Padahal seharusnya kalau ingin mendidik orang yang terbuka, pendidikan harus menrangsang kreatifitas, rasa ingin tahu dan ada berbantah-bantahan. Siswa yang bertanya, bukan disebut dia belum mengerti. Tapi dipuji kalau bertanya. Jadi sebetunya masalahnya guru tidak mampu dan tidak bisa mendidik. Jadi kta mendapatkan orang hasil didikan mentalnya belum dewasa. Orang kalau usia 20 belum dewasa, maka dia tidak ada dewasa seumur hidupnya.

Terlepas dari soal intrik politik, modus dan cara korupsi saat ini berkebang. Korupsi dikerjakan dari hasil kerjasama suami istri di kalangan pejabat negara. Bagaimana pandangan Anda soal ini?

Saya kira itu karena kebangkitan kembali feodalisme.

Dulu para pejabat pribumi di seluruh Indonesia bekerja erat bersama dengan penjajah Belanda. Mereka tidak mendukung kemerdekaan. Namun anak-anak mereka yang studi di luar negeri mendukung kemerdekaan.

Termasuk pangreh projo atau kalangan pengusaha dan sultan saat itu kebanyakan tunduk pada Belanda. Karena mereka itu kebagian harta. Kecuali Sultan Yogyakarta. Lalu datang kemerdekaan, sikap itu perlahan berkurang.

Tahun 50-an masih terasa kuat anti feodalisme. Soekarno sangat sadar sangat berbahaya ketika ‘jembatan emas’ kemerdekaan yang sudah diseberangi. Ancamannya adalah kapitalisme dan feodalisme. Soekarno mengajak masyarakat untuk percaya itu.

Feodalisme itu mulai muncul kuat lewat monopoli militer, monopoli Soeharto dan keluarganya. Itu saya kira awal penyakit itu.

Sehingga di dalam tras politik kita hilang satu perasaan berkewajiban terhadap masyarakat. Yang menyedihkan itu contohnya DPR sudah tidak dipercayai masyarakat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI