Suara.com - Siang itu, lelaki kurus berambut cepak masuk ke perpustakaan The Indonesian Institute, di lantai 7 Gedung Pakarti Center, Tanah Abang, Jakarta. Dia menyapa resepsionis di depan pintu masuk perpustakaan.
“Siapa dan dari mana, pak?” tanya resepsionis di belakang meja, sambil menyodorkan kertas yang harus diisi oleh peserta acara diskusi.
“Saya Yoyok,” kata lelaki itu. Barulah si resepsionis tersadar, dia berhadapan dengan Bupati Batang, Yoyok Riyo Sudibyo yang juga peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2015.
Penampilan Yoyok memang tidak menyolok, tanpa kawalan maupun juga aksesoris mewah di tubuhnya. Dia mengenakan batik bermotif lengan panjang dan celana berbahan denim.
Tidak dikenal sebagai bupati, cerita Yoyok, sudah biasa baginya. Bahkan pernah, saat dia datang ke Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Yoyok disuruh menunggu di luar gedung untuk mengadu.
"Wajah saya memang bukan wajah bupati. Sampai lama, saya bilang mau ketemu komisioner Komnas HAM. Saya bilang kalau saya Bupati Batang. Itu (mereka) sempat nggak percaya," cerita dia saat berbincang dengan Suara.com, pekan lalu.
Kisah "si Mayor Edan" itu hingga menjadi Bupati Batang, belum terlalu banyak disorot publik. Mantan anggota TNI itu pensiun dari pangkat mayor, dan mencalonkan diri dari jalur independen sebagai Bupati Batang pada tahun 2012 lalu. Di tangannya kemudian, Batang berubah 180 derajat dan membuat inovasi modern.
Batang kini menerapkan sistem penganggaran sama seperti di Jakarta dan Kota Surabaya. Kabupaten seluas 788,64 km persegi itu juga menerapkan lelang jabatan. Saat ini, Batang mempunyai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp1,2 triliun. Yoyok pun menerapkan penghematan anggaran sama seperti di provinsi yang dipimpin Basuki Tjahaja Purnama.
Begitu pula soal penanggulangan korupsi, Yoyok pun menerapkan sistem "radikal". Bahkan hingga desa-desa di kabupaten yang dia pimpin menjadi kawasan bebas korupsi, dengan menerapkan pemilihan kepala desa yang "nol" politik uang.
Bagaimana cerita sepak terjang Yoyok? Inovasi apa saja yang sudah dia buat? Berikut wawancara lengkap Suara.com dengan Yoyok, pekan lalu:
Karier Anda berawal dari tentara, lalu saat ini sangat berbelok menjadi kepala daerah. Sudah 3 tahun Anda menjadi Bupati Batang. Apa tantangan yang Anda hadapi selama 3 tahun ini?
Saya baru merasakan tahun 2015 jadi bupati. Tahun 2012, 2013 dan 2014, saya belum merasakan jadi bupati, masih gagap. Tapi awalnya berat. Bisa dibayangkan, dengan ketidaktahuan, apa pun saya harus memimpin "PT Kabupaten Batang" (Kabupaten Batang, Jawa Tengah), di mana anak buahnya sudah puluhan tahun di sana, ilmunya sudah "master".
Saya juga harus mempertanggungjawabkan dana dari pemerintah pusat Rp1,2 triliun sekian, sementara saya tidak mempunyai pengalaman apa pun. Menurut saya, kalau ingin jadi bupati, minimal harus dididik 6 bulan. Bukan cuma yang punya partai dan punya duit saja. Itu masih kurang. Saat saya terpilih jadi bupati, saya baru mencari tahu ke teman-teman.
Pengalaman indah saya jadi bupati, saya bisa lihat tipikal orang dari A sampai Z. Kalau dulu (saat) kecil, saya diajarkan orang tua itu jelas. Warna cuma dua, hitam sama putih. Setelah saya jadi bupati, (warna) ternyata beragam.
Background Anda tentara. Apakah Anda menerapkan kepemimpinan dengan jiwa militer?
Bahaya itu. Ngomong keras sedikit, akan ada yang komplain militerisme. Yang jelas menurut saya, harus tahu alamnya. Jadi pemimpin harus bisa jdi guru, adik, komandan dan penghukum.
Apa inovasi yang Anda bawa saat mencalonkan diri menjadi bupati?
Saat pertama kali, (dalam) pemahaman saya, menjadi bupati itu sama dengan menjadi pimpinan perusahaan. Makanya konsep yang saya pakai saat itu "entrepreneur birokrat". Karena begitu saya menang, saya dikasih kekuasaan "silakan kelola daerah ini". Tapi ternyata tidak gampang. Ilmunya beda alam, nggak nyambung.
Setelah saya teliti, ternyata tidak ada satu pun usaha yang dikelola pegawai negeri yang berhasil. Makanya dalam pikiran, saya bisa "bat-bet bat-bet". Ternyata nggak bisa. Akhirnya saya minta tolong ke BPKP. Sejak awal saya didampingi ICW, TII, dan LSM antikorupsi lain. Mereka memberikan ide, dari saya tidak tahu sampai tahu.
Berarti Anda tidak mempunyai modal pengetahuan yang cukup saat mencalonkan diri jadi kepala daerah?
Selama perjalanan itu selalu belajar sambil bekerja. Itu aneh memang. Jadi kalau ada cerita di Indonesia, ada kepala daerah yang membaca pidato "bapak dua, ibu dua", karena begitu (tertulisnya). Tapi itulah. Tiga tahun ini luar biasa. Tapi semua orang saya rangkul.
Saya belum pernah menemui calon kepala daerah yang psikotesnya nggak lulus. Dulu, saya kalau ingin naik pangkat (di ketentaaraan) harus psikotes ulang. Berpuluh-puluh kali saya ikut psikotes. Psikotesnya sangat penting, bisa mengetahui si A ini cocok nggak jadi komandan.
Saya minta tolong dari siapa pun dan kapan pun.
Anda melakukan lelang jabatan juga. Apa yang membedakan lelang jabatan itu dengan daerah lain?
Batang dari tahun 2012 sudah lelang jabatan. Bahkan sampai kepala dinas sudah dilakukan. Semua kepala dinas baru saya ajak jalan-jalan akhir tahun ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, Semarang. Ada yang nggak berani masuk. Setelah itu, saya masukkan ke akademi militer.
Sambil jalan itu ternyata, saya mengetahui kepala daerah itu tugasnya ada tiga, meski resminya cuma dua, yaitu meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan. Tapi ini yang nggak pernah diukur. Bagaimana bisa mengukur kesejahteraan, jika ukuran kemiskinan antar-dinas di kabupaten saja beda. Ini cuma terjadi di Batang.
Di daerah Anda tengah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Proyek ini sudah diresmikan, meski ada sengketa lahan yang belum rampung. Bahkan Komnas HAM pernah mengatakan jika di proyek itu ada pelanggaran HAM. Bagaimana Anda menyelesaikan itu semua?
Beberapa masalah susah selesai. Sambil berjalan saja, mudah-mudahan rampung semua. Project (PLTU) itu terbesar se-Indonesia. Komnas HAM datang karena mendapatkan laporan dari rakyat. Ini saya yang datang ke Komnas HAM sendiri. Seperti biasa, nggak ada yang anggap saya bupati. Begitu saya datang, (saya) disuruh tunggu di luar.
Wajah saya memang bukan wajah bupati. Sampai lama, saya bilang mau ketemu komisioner Komnas HAM. Saya bilang kalau saya Bupati Batang. Itu (mereka) sempat nggak percaya.
Akhirnya, saya naik ke lantai atas. Saya bilang di daerah saya ada pilot project terbesar semenjak republik ini berdiri. Berbagai laporan sudah masuk ke Komnas HAM. Saya minta gantian, mereka datang ke tempat saya. Saya kasih kantor, dampingi saya. Tapi (mereka) nggak pernah datang. Jadi yang ditampung dari masyarakat saya, dari aparat tidak pernah ditampung.
Rumah dinas Anda juga terbuka untuk umum. Mengapa itu dilakukan?
Rumah saya 1x24 jam tidak tertutup, karena itulah janji saya saat kampanye. Terbuka untuk rakyat, siapa pun masuk. Tiap Jumat rumah saya ramai. (Warga) Pada bawa pisang dan petai. Kalau mau jus petai, datang saja. Bebas saya buka, kecuali kamar pribadi saya.
Saat saya dilantik sama Gubernur Jawa Tengah, rakyat saya itu sudah gembar-gembor. Prosesi pelantikan saya belum selesai, saya sudah disuruh turun. Gubernur sampai ketakutan, saya disuruh turun. Ya sudah, saya turun di alun-alun saat itu, karena rakyat saya sudah menyambut. Sampai saat ini, topi pelantikan saya hilang nggak ketemu.
Di tempat saya nggak ada HAM. Semua saya tampung, bahkan korban PKI. Salah satu tim sukses saya (adalah) mantan narapidana 1965. Sampai sekarang, yang mengurusi saya kalau ada acara besar, ya beliau. Salah satu tim sukses saya juga dari ketua organisasi waria di sana. Suatu ketika, dari Kodim telepon saya, tanya ada mantan narapidana dari PKI kumpul menjadi tim sukses. Katanya panglima mau ngomong. Saya bilang, ada tokoh-tokoh ngumpul bahas bantuan sosial. (Lalu) Kata panglima, suruh hati-hati saja.
Anda baru saja mendapatkan Bung Hatta Anti-Corruption Award 2015. Inovasi antikorupsi apa yang Anda buat?
Saya sendiri nggak tahu akan dapat itu. Saya ditelepon dan ada tamu ke rumah. Katanya akan dapat. Saya ya, sambil jalan aja. Tiga hal kerja kepala daerah, (pertama) harus bisa kerja dengan birokrasi. Bagaimana membawa birokrasi sesuai dengan kemauan rakyat. Pemegang mandat tertinggi itu rakyat.
Kedua, harus sesuai aturan juklak-juknis itu. Tapi ini sulit, karena banyak masalah yang selalu dibilang multitafsir.
Ketiga, sistem. Saya mengubah mindset anak buah saya sejak awal itu nggak gampang. Bagaimana caranya? Ya sudah, kalau mau, lakukan. Kalau nggak mau, keluar. Saya kunci pakai sistem. Sistem itu sudah ada semua. Misalnya sistem untuk lelang proyek, sudah ada itu.
Saya bawa (sistemnya) dari Surabaya, dari Wali Kota Risma, pakai flash disk. Nggak ada setengah jam jadi. Sampai saya mendapatkan ISO. Begitu juga untuk sistem perizinan.
Sistem lelang yang saya sadur dari Surabaya itu membuat saya bisa hemat anggaran 10 persen setahun. Efisiensinya bisa untuk membangun pasar terbagus di Batang. Terlebih jika kita bisa hemat anggaran "kanan-kiri" (fee untuk pejabat).
Cara menghematnya, tiap ada pemenang lelang saya kan tanda tangan. Saya tandatangani SPK itu di depan rakyat. Seluruh kepala dinas hadir. Semua orang bisa datang, dan membaca pakta integritas. Kalian mau kerja silakan, tapi jangan menyakiti hati rakyat Batang. Saat menyerahkan proyek, harus cek fisiknya. Orang Indonesia sangat pintar membuat konsep, tapi pada tataran pelaksaan suka lupa.
Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) kalau ke tempat lain hanya sekali-dua kali. Saya nggak mau. Saya minta (ke Batang) setahun 5 kali.
BPK itu ada berapa orang sih? Terus disebar ke Jawa Tengah, ke 35 kota dan kabupaten, mana cukup orangnya. Saya melihat saat mereka memeriksa, masuk kantor, dokumen sudah banyak menumpuk. Nggak mungkin bisa memeriksa dengan maksimal. Makanya saya meminta BPK datang itu 5 kali setahun. Pegawai saya memang sampai enek. (Terserah) Pilih tidak selamat, atau mau agak enek tapi selamat.
Awal-awal saya menjalankan (tugas) jadi bupati, banyak yang minta proyek. Ada yang mengatasnamakan tim sukses, bahkan nama adik dicatut. Adik saya kan Brimob di Sulawesi, masa minta proyek. Akhirnya saya mengetik pengumuman sendiri, ditujukan untuk seluruh kepala dinas dan instansi terkait. "Barang siapa yang mengatasnamakan tim sukses, keluarga saya, meminta duit dan proyek, agar tidak dilayani," begitu bunyinya. Imbauan ini harus ditempel di belakang kursi-meja kerja PNS dan ditaruh di atas meja.
Tiap hari Senin, saat ini setiap PNS membacakan pakta integritas. Itu dimulai tahun 2012 dengan Ombudsman RI. Sampai PNS pada hafal. Kata-katanya "barang siapa" semua.
Saya itu sampai undang ustadz dan kyai, itu sudah biasa. Belajar otak kiri dan kanan. Ada kepala dinas saya, sehabis menghadap, di luar ngomongin saya, saya tahu langsung. Saya intip dari kamar mandi yang sebelahnya parkiran kendaraan mereka. Sampai segitu mental mereka.
Tahun depan, saya ingin membuat (tayangan) "misbar", gerimis bubar. Seluruh anggaran rakyat ingin ditampilkan, supaya masyarakat menonton. Nanti pakai TVtron. Ternyata susah minta TVtron ke DPRD. Tapi Bank Jateng kasih TVtron itu. Febuari sudah jadi. (Soal) Anggaran pemda sampai uang makan bupati akan ditampilkan.
Bagaimana cara Anda mengelola anggaran APBD kecil di Batang?
Paling gampang jadi wali kota, pasti kaya. Kalau pendapatan asli daerah (PAD) dan lain-lain, itu pasti datang sendiri. Khusus di Batang, model penganggaran di DPRD ini lucu-lucu. Banyak kepentingan. Banyak dana yang "ngawur", seperti bansos, hibah, dan lain-lain.
Banyak sekali dana yang saya perketat. Sekali hibah bansos Rp20 miliar. Ini kan bisa buat bangun pasar. Mending data itu dikembalikan ke desa, desa mengajukan ulang untuk bangun aspal. Tapi saya tanya dulu, apakah ada dana dari masyarakat? Saya akan kasih, kalau nggak ada duit dari rakyat. Kan bangun jalan ini kebutuhan rakyat. Sudah tidak zamannya hanya meminta. Masyarakat juga harus berkontribusi, agar tepat sasaran.
Anda dari (jalur politik) independen. Bagaimana trik Anda untuk meloloskan proyek pembangunan di tingkat DPRD?
Misal untuk membangun pasar. Saya datang sosialisasi keinginan membangun ke pasar, bukan ke DPRD dulu. Saya arahkan agar rakyat yang menuntut DPRD untuk membangun pasar. Jadi seolah-olah bukan saya yang meminta. Itu kan untuk pentingan rakyat. Saya nggak perlu ajak makan masyarakat berkali-kali untuk bangun pasar.
Kabupaten Batang dipuji karena mengadakan pemilihan kepala desa yang diklaim tidak ada politik uang. Bagaimana caranya?
Saya sering mendapatkan ide saat saya lagi melamun, atau belajar dari pengalaman saya. Salah satunya ide (tentang) pilkades tanpa politik uang. Ada beberapa desa di tempat saya yang pilkadesnya tanpa politik uang.
Jadi semua panitia pemilihan, Ketua RT, Ketua RW, ditambah tokoh masyarakat, dikumpulkan di dalam masjid. Dipisah antara laki-laki dan perempuan. Saya tanya, keperluan untuk pilkades itu berapa uangnya? Misalnya Rp50 juta. Saya bilang, yang main-main sama duit akan didiskualifikasi. Kita serahkan ke masyarakat.
Pada saat rakyat sudah tidak percaya lagi dengan pilkada, pilkades, kalau kita mengawali dari pemimpinnya, di situ pasti berhasil. Luar biasa itu bisa masyarakatnya tidak rusak. Karena mereka (berada) di dalam masjid, dan tidak bisa berbohong dan mengingkari janji karena ada di simbol agama itu.
Dana Desa berpotensi menjadi lahan subur untuk dikorupsi. Apa yang Anda lakukan untuk mencegahnya?
Sebelum ada gembar-gembor Dana Desa, semua kepala desa saya sekolahkan semua ke Yogyakarta, di Kementerian Dalam Negeri. Di daerah saya, satu desa mendapatkan Rp300 miliar. Tahun ini saja penyerapannya sudah sampai 100 persen.
Sampai sekarang APBD Batang terus meningkat, dari Rp800 miliar di awal kepemimpinan saya, sampai saat ini Rp1,2 triliun. Penyerapan (anggaran) sampai 80 persen.
Anda tidak ingin nyalon kembali di 2017, kenapa?
Kalau saya nyalon lagi, itu pertarungannya besar sekali. Minimal bagi orang yang tidak berpartai dan kalah komposisinya di DPRD, pasti kebijakan terakhir akan dipotong leher (dipermasalahkan). Dicurigai untuk kepentingan kampanye.
Lalu kenapa nggak nyalon lagi? Kan sumpah saya sudah selesai. Lima tahun janji saya sudah terlaksana. Bangun rumah sakit, pasar, dan jalan tembusan Batang, sudah beres. Takutnya kalau saya nyalon lagi, takut keenakan. Mungkin sehabis saya, nanti istri saya. Lalu turun ke anak saya. Itu kan bukan pemimpin namanya, (tapi) penguasa. Jadi pemimpin itu susah sekali.
Yang jelas, saya tidak mau masuk politik dan berpartai politik. Kalau saya berparpol, pasti kalau ngomong sudah ada kepentingan. Partai saya PRB, lambangnya Merah Putih. PRB itu "Partai Rakyat Batang".
Apa yang sudah Anda siapkan ketika meninggalkan Batang? Paling tidak, Anda harus menjamin jika sistem yang selama ini dibangun akan dipakai oleh bupati selanjutnya.
Saya sedang bangun sistem. Contohnya yang sangat kecil, sejak saya terpilih, rumah dinas saya tidak pernah terkunci. Saya buka sebuka-bukanya. Rakyat bisa masuk semua. Kalau nantinya pengganti saya menutup pintunya dengan menempatkan Satpol PP, rakyat pasti marah. Minimal, sanksi sosial itu ada. Bagaimana (pula) yang besar, pasti marah sekali.
Saya juga akan meninggalkan catatan terakhir pembangunan Batang. Mulai dari jalan yang sudah dibangun, jumlah jalan rusak, sampai kondisi infrastruktur lain. Jadi, (supaya) bupati baru sudah tahu apa yang harus dilakukan.
Kepemimpinan Anda mendapatkan pujian. Anda pun dianggap mumpuni jika mencalonkan diri sebagai Gubernur Jawa Tengah. Komentar Anda?
Pemimpin itu tidak bisa diciptakan, nggak bisa diprediksi. Apalagi kalau ada calon kepala daerah yang pakai konsultan untuk mengatur gaya. Pemimpin tidak bisa di-branding. Kalau sekarang kan media itu nggak tahu, berapa persen andilnya menciptakan pemimpin. Pemimpin itu akan lahir pada saat dan tempat yang tepat. Kalau pemimpin dibuat, nanti juga akan ketahuan aslinya. Rakyat sudah cerdas. Sekarang yang paling pinter itu, ya, tim suksesnya. Kan mereka bisa nyuruh-nyuruh.
Biografi Singkat Yoyok Riyo Sudibyo
Mayor TNI (Purn) Yoyok Riyo Sudibyo lahir di Batang, Jawa Tengah, pada 27 April 1972. Yoyok menjabat sebagai Bupati Batang sejak 13 Februari 2012 bersama wakilnya, Soetadi. Saat pilkada, Yoyok didukung Partai Golkar, PPP, PAN, Demokrat dan PDP. Namun dia tetap mengklaim sebagai sosok independen, non-partai.
Yoyok mundur dari militer pada tahun 2007, dan keluar pada tahun 2009. Lantaran mundur dari satuan TNI, dia dijuluki "mayor edan". Yoyok juga merupakan seorang pengusaha distro. Usahanya itu berawal dari tugasnya sebagai intel di Papua, di mana dia menyamar sebagai pedagang.
Semasa kariernya di militer sejak 1994, Yoyok pernah menjabat antara lain sebagai Pasiops Denintel Dam Jaya, Komandan Bakor Intel Jakarta Selatan, Danramil 03 Tanjung Priok, Pasi Intel Kodim 0502 Jakarta Utara, juga Kasubdit Rah dan Gal Deputi V BIN, serta sebagai Dansatgas BIN Wil Jaya Wijaya (Papua).