Yoyok Riyo Sudibyo: Gebrakan 'Mayor Edan' di Kabupaten Batang

Senin, 28 Desember 2015 | 07:00 WIB
Yoyok Riyo Sudibyo: Gebrakan 'Mayor Edan' di Kabupaten Batang
Bupati Batang, Jawa Tengah Yoyok Riyo Sudibyo. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Siang itu, lelaki kurus berambut cepak masuk ke perpustakaan The Indonesian Institute, di lantai 7 Gedung Pakarti Center, Tanah Abang, Jakarta. Dia menyapa resepsionis di depan pintu masuk perpustakaan.

“Siapa dan dari mana, pak?” tanya resepsionis di belakang meja, sambil menyodorkan kertas yang harus diisi oleh peserta acara diskusi.

“Saya Yoyok,” kata lelaki itu. Barulah si resepsionis tersadar, dia berhadapan dengan Bupati Batang, Yoyok Riyo Sudibyo yang juga peraih Bung Hatta Anti-Corruption Award 2015.

Penampilan Yoyok memang tidak menyolok, tanpa kawalan maupun juga aksesoris mewah di tubuhnya. Dia mengenakan batik bermotif lengan panjang dan celana berbahan denim.

Tidak dikenal sebagai bupati, cerita Yoyok, sudah biasa baginya. Bahkan pernah, saat dia datang ke Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Yoyok disuruh menunggu di luar gedung untuk mengadu.

"Wajah saya memang bukan wajah bupati. Sampai lama, saya bilang mau ketemu komisioner Komnas HAM. Saya bilang kalau saya Bupati Batang. Itu (mereka) sempat nggak percaya," cerita dia saat berbincang dengan Suara.com, pekan lalu.

Kisah "si Mayor Edan" itu hingga menjadi Bupati Batang, belum terlalu banyak disorot publik. Mantan anggota TNI itu pensiun dari pangkat mayor, dan mencalonkan diri dari jalur independen sebagai Bupati Batang pada tahun 2012 lalu. Di tangannya kemudian, Batang berubah 180 derajat dan membuat inovasi modern.

Batang kini menerapkan sistem penganggaran sama seperti di Jakarta dan Kota Surabaya. Kabupaten seluas 788,64 km persegi itu juga menerapkan lelang jabatan. Saat ini, Batang mempunyai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp1,2 triliun. Yoyok pun menerapkan penghematan anggaran sama seperti di provinsi yang dipimpin Basuki Tjahaja Purnama.

Begitu pula soal penanggulangan korupsi, Yoyok pun menerapkan sistem "radikal". Bahkan hingga desa-desa di kabupaten yang dia pimpin menjadi kawasan bebas korupsi, dengan menerapkan pemilihan kepala desa yang "nol" politik uang.

Bagaimana cerita sepak terjang Yoyok? Inovasi apa saja yang sudah dia buat? Berikut wawancara lengkap Suara.com dengan Yoyok, pekan lalu:

Karier Anda berawal dari tentara, lalu saat ini sangat berbelok menjadi kepala daerah. Sudah 3 tahun Anda menjadi Bupati Batang. Apa tantangan yang Anda hadapi selama 3 tahun ini?

Saya baru merasakan tahun 2015 jadi bupati. Tahun 2012, 2013 dan 2014, saya belum merasakan jadi bupati, masih gagap. Tapi awalnya berat. Bisa dibayangkan, dengan ketidaktahuan, apa pun saya harus memimpin "PT Kabupaten Batang" (Kabupaten Batang, Jawa Tengah), di mana anak buahnya sudah puluhan tahun di sana, ilmunya sudah "master".

Saya juga harus mempertanggungjawabkan dana dari pemerintah pusat Rp1,2 triliun sekian, sementara saya tidak mempunyai pengalaman apa pun. Menurut saya, kalau ingin jadi bupati, minimal harus dididik 6 bulan. Bukan cuma yang punya partai dan punya duit saja. Itu masih kurang. Saat saya terpilih jadi bupati, saya baru mencari tahu ke teman-teman.

Pengalaman indah saya jadi bupati, saya bisa lihat tipikal orang dari A sampai Z. Kalau dulu (saat) kecil, saya diajarkan orang tua itu jelas. Warna cuma dua, hitam sama putih. Setelah saya jadi bupati, (warna) ternyata beragam.

Background Anda tentara. Apakah Anda menerapkan kepemimpinan dengan jiwa militer?

Bahaya itu. Ngomong keras sedikit, akan ada yang komplain militerisme. Yang jelas menurut saya, harus tahu alamnya. Jadi pemimpin harus bisa jdi guru, adik, komandan dan penghukum.

Apa inovasi yang Anda bawa saat mencalonkan diri menjadi bupati?

Saat pertama kali, (dalam) pemahaman saya, menjadi bupati itu sama dengan menjadi pimpinan perusahaan. Makanya konsep yang saya pakai saat itu "entrepreneur birokrat". Karena begitu saya menang, saya dikasih kekuasaan "silakan kelola daerah ini". Tapi ternyata tidak gampang. Ilmunya beda alam, nggak nyambung.

Setelah saya teliti, ternyata tidak ada satu pun usaha yang dikelola pegawai negeri yang berhasil. Makanya dalam pikiran, saya bisa "bat-bet bat-bet". Ternyata nggak bisa. Akhirnya saya minta tolong ke BPKP. Sejak awal saya didampingi ICW, TII, dan LSM antikorupsi lain. Mereka memberikan ide, dari saya tidak tahu sampai tahu.

Berarti Anda tidak mempunyai modal pengetahuan yang cukup saat mencalonkan diri jadi kepala daerah?

Selama perjalanan itu selalu belajar sambil bekerja. Itu aneh memang. Jadi kalau ada cerita di Indonesia, ada kepala daerah yang membaca pidato "bapak dua, ibu dua", karena begitu (tertulisnya). Tapi itulah. Tiga tahun ini luar biasa. Tapi semua orang saya rangkul.

Saya belum pernah menemui calon kepala daerah yang psikotesnya nggak lulus. Dulu, saya kalau ingin naik pangkat (di ketentaaraan) harus psikotes ulang. Berpuluh-puluh kali saya ikut psikotes. Psikotesnya sangat penting, bisa mengetahui si A ini cocok nggak jadi komandan.

Saya minta tolong dari siapa pun dan kapan pun.

Anda melakukan lelang jabatan juga. Apa yang membedakan lelang jabatan itu dengan daerah lain?

Batang dari tahun 2012 sudah lelang jabatan. Bahkan sampai kepala dinas sudah dilakukan. Semua kepala dinas baru saya ajak jalan-jalan akhir tahun ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kedungpane, Semarang. Ada yang nggak berani masuk. Setelah itu, saya masukkan ke akademi militer.

Sambil jalan itu ternyata, saya mengetahui kepala daerah itu tugasnya ada tiga, meski resminya cuma dua, yaitu meningkatkan pelayanan publik dan meningkatkan kesejahteraan. Tapi ini yang nggak pernah diukur. Bagaimana bisa mengukur kesejahteraan, jika ukuran kemiskinan antar-dinas di kabupaten saja beda. Ini cuma terjadi di Batang.

Di daerah Anda tengah dibangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Proyek ini sudah diresmikan, meski ada sengketa lahan yang belum rampung. Bahkan Komnas HAM pernah mengatakan jika di proyek itu ada pelanggaran HAM. Bagaimana Anda menyelesaikan itu semua?

Beberapa masalah susah selesai. Sambil berjalan saja, mudah-mudahan rampung semua. Project (PLTU) itu terbesar se-Indonesia. Komnas HAM datang karena mendapatkan laporan dari rakyat. Ini saya yang datang ke Komnas HAM sendiri. Seperti biasa, nggak ada yang anggap saya bupati. Begitu saya datang, (saya) disuruh tunggu di luar.

Wajah saya memang bukan wajah bupati. Sampai lama, saya bilang mau ketemu komisioner Komnas HAM. Saya bilang kalau saya Bupati Batang. Itu (mereka) sempat nggak percaya.

Akhirnya, saya naik ke lantai atas. Saya bilang di daerah saya ada pilot project terbesar semenjak republik ini berdiri. Berbagai laporan sudah masuk ke Komnas HAM. Saya minta gantian, mereka datang ke tempat saya. Saya kasih kantor, dampingi saya. Tapi (mereka) nggak pernah datang. Jadi yang ditampung dari masyarakat saya, dari aparat tidak pernah ditampung.

Rumah dinas Anda juga terbuka untuk umum. Mengapa itu dilakukan?

Rumah saya 1x24 jam tidak tertutup, karena itulah janji saya saat kampanye. Terbuka untuk rakyat, siapa pun masuk. Tiap Jumat rumah saya ramai. (Warga) Pada bawa pisang dan petai. Kalau mau jus petai, datang saja. Bebas saya buka, kecuali kamar pribadi saya.

Saat saya dilantik sama Gubernur Jawa Tengah, rakyat saya itu sudah gembar-gembor. Prosesi pelantikan saya belum selesai, saya sudah disuruh turun. Gubernur sampai ketakutan, saya disuruh turun. Ya sudah, saya turun di alun-alun saat itu, karena rakyat saya sudah menyambut. Sampai saat ini, topi pelantikan saya hilang nggak ketemu.

Di tempat saya nggak ada HAM. Semua saya tampung, bahkan korban PKI. Salah satu tim sukses saya (adalah) mantan narapidana 1965. Sampai sekarang, yang mengurusi saya kalau ada acara besar, ya beliau. Salah satu tim sukses saya juga dari ketua organisasi waria di sana. Suatu ketika, dari Kodim telepon saya, tanya ada mantan narapidana dari PKI kumpul menjadi tim sukses. Katanya panglima mau ngomong. Saya bilang, ada tokoh-tokoh ngumpul bahas bantuan sosial. (Lalu) Kata panglima, suruh hati-hati saja.


BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI