Latifah A. Siregar: Pelanggaran HAM di Papua Terus Berlanjut

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 21 Desember 2015 | 07:00 WIB
Latifah A. Siregar: Pelanggaran HAM di Papua Terus Berlanjut
Latifah Anum Siregar. (suara.com/Adhitya Himawan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Catatan resmi Komnas HAM, ada 700 orang yang mengalami kekerasan selama setahun Jokowi jadi Presiden. Mereka ditangkap tanpa alasan, dianiaya, dan disiksa. Jokowi dinilai belum mampu menangani pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih itu sesuai janji-jajinya.

Ironisnya pelaku pelanggaran HAM itu mengarah ke tentara dan polisi yang ditempatkan di sana. Misal saja, ada 60 anak di Kabupaten Nduga meninggal misterius tanpa penanganan lanjutan. Itu catatan Komnas HAM.

‘Duel’ penegak hukum dan warga Papua pun sering terjadi. Sebut saja kasus penembakan dan pembunuhan aktivis di Kabupaten Yahukimo pada 20 Mare, penembakan di Kabupaten Dogiyai pada 25 Juni, bentrok di Kabupaten Tolikara pada 17 Juli, dan penembakan di Kabupaten Timika pada 28 Agustus.

Di balik fakta tersebut, pemerintah membela diri sudah memberikan Papua keistimewaan dan memberikan prioritas pembangunan. Pemerintah memberikan dana otonomi khusus untuk Papua di 2015 sebesar Rp7 triliun. Tahun besok akan dinaikan menjadi Rp7,765 triliun. Sebesar Rp 5,435 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp2,329 triliun untuk Provinsi Papua Barat. Untuk ‘mencairkan’ ketegangan di Papua, Presiden Joko Widodo juga membebasan tahan politik dan narapidana politik di Papua.

Aktivis sekaligus pengacara korban hak asasi manusia, Latifah Anum Siregar menganalisa jika pemberian dana otsus itu sia-sia. Begitu juga dengan pemberian grasi. Sebab lebih banyak yang ditangkap daripada yang dibebaskan. Mereka kebanyakan dituduh makar.

Anum menelisi dari kacamata penduduk Papua asli. Perempuan kelahiran Jayapura itu puluhan tahun berkecimpung di dunia pergerakan di Papua. Dia tahu persis A-Z persoalan di Papua. Anum sudah mendampingi puluhan korban HAM di sana. Salah satunya, tokoh Papua yang dituduh makar, Theys Hiyo Eluay.

Atas dedikasinya membela HAM di sana, dia pernah mendapatkan penghargaan bergengsi internasional. Dia pernah dinobatkan sebagai Woman Peacemaker tahun 2007 dari Institue Peace and Justice Joan B. Kroch Universitas San Diego, Amerika Serikat.

Terakhir, perempuan yang menetap di Papua itu mendapatkan sebuah penghargaan penegakan HAM bergengsi dari Korea Selatan, Gwangju Prize for Human Rights 2015. Perjuangan Anum di penegakan HAM disejajarkan dengan Xanana Gusmao dan Aung San Suu Kyi, serta ke-13 tokoh dunia lain.

Sebenarnya apa yang terjadi di Papua, hingga kekerasan di sana tidak kunjung berhenti? Apa juga solusi terbaik untuk menghentikan pelanggaran HAM di sana?

Berikut analisa Anum dalam wawancara bersama suara.com di Jakarta pekan lalu:

Pemerintahan saat ini sudah berganti, hampir setahun Joko Widodo memimpin. Ada kesan, jika ada kemajuan dalam hal penanganan konflik dan perdamaian di Papua. Apakah Anda setuju dengan kesan itu?

Konflik di Papua itu kan sudah cukup lama dan beragam. Mulai dari perebutan sumber daya politik, ekonomi, sosial dan krisis identitas. Kalau kita berkesimpulan Pemerintahan Joko Widodo yang membuat lebih baik dan ada kemajuan signifikan, itu omong kosong. Tidak seperti itu.

Bahkan mungkin harus 1 sampai 2 periode pemerintahan baru yang bisa kita melihat hasil yang signifikan. Karena ini memerlukan jangka panjang. Bahwa Jokowi mengatakan akan menghentikan konflik di Papua. Misalnya dengan memberikan grasi sebagai satu upaya menyelesaikan konflik di Papua. Tapi dalam waktu yang bersamaan praktik penangkapan terus terjadi.

Praktik penyiksaan terus terjadi. Kasus Paniai yang dijanjikan Jokowi diselesaikan itu juga tidak diselesaikan. Kalau Jokowi mengatakan penyelesaian tapol-napol itu bagian dari penyelesaian konflik. Itu serta merta jadi satu hal yang signifikan jika tidak diikuti dengan keinginan memberikan kebebasan ruang untuk berekspresi.

Yang dipenjara dibebaskan, tapi kalau yang lain masih tetap ditangkap, itu sia-sia saja. Yang dibebaskan 5 orang, tapi yang ditangkap puluhan orang.

Kasus Paniai saja, Jokowi memerintahkan aparatnya untuk bertindak dengan tepat. Tapi sudah 1 tahun ini nggak ada yang maju ini prosesnya. Baru proses penyelidikan, belum penyidikan yang tidak jalan.

Kasus Paniai itu pelanggaran pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Peristiwa penembakan dan pembantaian itu menewaskan 4 pelajar SMA. Yaitu Yulianus Yeimo (17), Apinus Gobai (16), Simon Degei (17), dan Alpius You (18), dan 1 warga sipil, Sadai Yeimo (28) di Lapangan Karel Gobay 8 Desember 2014. Di peristiwa itu ada penyiksaan dan penembakan terhadap 18 orang. 

Komnas HAM menginvestigasi ada penembakan yang dilakukan aparat gabungan TNI maupun Polri. Komnas HAM juga mengindikasikan ekskalasi kekerasan militeristik semakin kuat di Papua meningkat. Terakhir ada 5 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Menurut Anda, apakah ini sebagai 'gaya baru' kekerasan di Papua?

Kalau kita lihat dalam kacamata penegakan hukumnya, saya melihat ada gaya baru dalam pemberian pasal-pasal di suatu peristiwa baru. Terutama sejak tahun kemarin, misal soal perdagangan amunisi, penggunaan senjata. Ini kan dulu tidak ada, tapi satu tahun belakangan ini muncul lagi.

Sebenarnya sejak tahun 2003 ini sudah muncul waktu kasus Mile 62-63 Distrik. Saat itu tiga staf pengajar sekolah internasional Tembagapura tewas. Dua korban di antaranya berkewarganegaraan asing.

Sampai saat ini kekerasan terhadap orang Papua di sana masih berlanjut. Jika ditarik benang merah, apa akar masalah konflik saat ini?

Beberapa pihak menggunakan persepsi yang berbeda. Pemerintah bilang ini soal kesejahteraan. Makanya dikasih banyak uang di Papua, tetapi tetap saja banyak orang yang bersuara tentang merdeka. Kasus dan peristiwa politik masih banyak.

Jadi bukan hanya soal ekonomi. Tapi kasus yang harus dilihat adalah – kalau kita merujuk pada Papua roadmap. Soal politik, perbedaan pemahaman soal integrasi Papua itu ada beberapa orang

Anda pernah membela Almarhum Theys Hiyo Eluay, salah satu tokoh Papua merdeka yang didakwa makar dan berhasil bebas dari tuntutannya. Apa yang tak terlupakan saat membela Theys?

Saat itu, 10 November 2001 siang Theys diculik dari rumahnya. Besoknya, Theys ditemukan tewas di dalam mobilnya di KM 9, Koya, Muara Tami, Jayapura. Theys terletang, perutnya ada bekas goresan merah lembab.

Dari pagi saat Theys ditemukan tewas, saya tidak istirahat. Sampai besonya lagi. Peristiwa demi peristiwa sangat banyak saya lewati, sampai saat dibawa ke rumah sakit dan diotopsi, saya mengikuti. Saya melihat langsung Pak Theys diotopsi, karena keluarga tidak ada yang bisa datang. Saat itu rumahnya di Sentani terjadi kebakaran. Dari berbagai kasus yang saya tangani, saya kira itu kasus yang paling kompleks.

Anda dan kawan-kawan juga mendampingi tujuh warga sipil Wamena yang dituduh membobol gudang senjata Kodim 1710 Wamena pada 2003. Mengapa Anda bela juga?

Mereka ini satu-satunya kasus yang unik. Karena mereka ditahan di LP yang berbeda-beda, di Wamena dan mau dibawa ke Jawa, ke Makassar, dan pindah ke Nabire. Ada yang meninggal saat ditahan di Makassar. Sampai saya bawa ke Yahukimo. Sampai mereka diberikan grasi oleh Presiden Joko Widodo.

Mereka di antaranya Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telengge, Kimanus Wend, Linus Hiluka dan Jefrai Murib. Saya juga berharap jangan mereka saja yang mendapatkan grasi. Tahan-tahanan lain juga harus mendapatkannya.

Sebagian orang yang Anda bela dituduh makar, memberontak dan tuduhan sparatis lain. Apakah Anda sengaja membela kasus-kasus seperti itu?

Tidak juga. Ada juga kasus pemilu, mereka dituduh sebagai kelompok bersenjata atau pemeberontak. Aparat negara tidak hanya memberikan mereka pasal 106 KUHP Pidana tentang maka, tapi juga pasal 108 tentang melawan negara dengan menggunakan senjata. Lalu pasal kepemilikan amunisi, dan pasal penghasutan.

Di Papua, demonstrasi dan demo-demo lainnya bisa disebut sebagai menghasut. Sehingga bisa dikenakan pasal penghasutan. Ada juga kasus criminal. Tetapi pada proses penangkapannya semena-mena. Ditembak, dibawa ke rumah sakit dengan dilempar saja. Saat ingin dilayani, aparat polisi bilang nanti saja dulu. Padahal dia sudah terluka parah. Mereka ini bukan pencuri.

Belum lama ada kasus penyiksaan di sel tahanan bernama Ricko Wambo hingga tewas. Dia adalah ketua KNPB Mamberamo Tengah. Apakah kasus penyiksaan seperti ini sering terjadi di Papua?

Penyiksaan itu berlangsung dari kasus yang bernuansa politis sampai kasus criminal. Mereka rentan penyiksaan kalau mereka orang Papua. Ada beberapa kasus, meski dia bukan orang Papua, tapi dia berpotensi disiksa. Misalnya pada kasus kriminal dalam penjara.

Pemerintah selalu mengklaim sudah melakukan pendekatan ekonomi untuk menyelesaikan kasus kekerasan di sana. Bagaimana keadaan sebenarnya?

Saya tidak mengerti pendekatan ekonomi seperti apa. Apakah pendekatan ekonomi dengan memberikan banyak uang? Tapi cobalah cek ke kampung, apakah ada perubahan yang signifikan dari uang yang datang? Apakah bantuan itu bisa membuat mandiri. Itu nggak terjadi kampung. Tapi yang banyak, tidak membuat mandiri. Tapi menjadi yang konsumtif, masyarakat jadi Ketergantungan.

Dana Otonomi Khusus yang begitu besar diberikan ke Papua. Apakah itu tidak cukup untuk mensejahterakan masyarakat Papua?

Otsus dikasih karena orang Papua minta merdeka. Pemerintah kasih Otsus juga setengah hati sebenarnya. Mana ada mekanismenya seperti itu? Daerah mana yang dikasih seperti itu? Itu dikasihnya terpaksa. Dikasihnya setengah hati, maka pemerintah mengajarkan pemerintah daerah melaksanakannya juga setengah hati.

Coba anda lihat, apakah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PU itu sinergis? Mereka nggak punya grand desain Otsus itu. Di level masyarakat, masyarakat tidak dilibatkan. Sehingga masyarakat merasa itu bukan bagian dari mereka. Bahkan mereka tidak saling percaya di sana.

Pemerintah mengklaim sudah melakukan pendekatan ekonomi untuk membangun Papua, apakah di sana terlihat nyata?

Malah di Papua bukan hanya persoalan ekonomi, tapi luas. Pendekaan ekonomi memang sudah dilakukan, uang juga banyak di sana. Tapi kan pengelolaan keuangan itu bermasalah. Banyak kasus korupsi di Papua. Uang yang banyak ini sebenarnya untuk siapa? Jangan-jangan hanya untuk sekelompok orang saja di Jakarta.

Bisa jadi kekerasan itu bertujuan untuk menghasilkan uang. Proyek kekerasan itu sering terjadi. Itu dilakukan untuk yang berkepentingan, agar dibuat sengaja Papua tidak aman. Misal aksi kekerasan menyongsong Pilkada. Ada daerah rawan, maka anggaran keamanannya harus lebih.

Artinya kekerasan itu sengaja di buat?

Uang itu dipakai untuk memecah belah dan alat provokasi.

Belum lama ini kembali muncul usulan untuk menasionalisasi Freeport, sebab perusahaan tambang itu merugikan. Lalu apakah ada hubungan antara kehadiran Freeport selama puluhan tahun itu demgan eskalasi kekerasan di sana?

Freeport sejak dulu, selalu dikaitkan dengan aksi kekeran yah. Kalau kita catat, banyak sebenarnya aksi kekerasan di kawasan Freeport, seperti Puncak Jaya dan sekitarnya. Itu jumlahnya banyak sekali. Sejak 2002 sangat rawan. Bahkan sebelumnya orang Freeport sering naik bus dari Tembagapura ke tempat pulang. Tapi sekarang sudah naik helikopter karena alasan tidak aman. Seharusnya banyaknya aparat keamanan yang sudah canggih dan sudah banyak kasus semestinya sudah bisa dipelajari. Bukan malah membuat justifikasi jika jalan darat tidak aman. Karena orang bekerja naik helikopter.

Apakah ini artinya Anda ingin mengatakan Freeport memasok dana untuk sengaja membuat kawasan tidak aman?

Bukan. Tapi kan kehadiran Freeport di Papua itu sudah berpotensi karena di sana banyak uang, kan orang selalu berebut itu. Rebutan dengan kekerasan. Kan selalu ada potensi kekerasan karena saling berebut.

Apakah jika nasionalisasi Freeport ini bisa menghentikan konflik?

Kalau pun ada nasionalisasi, rakyat Papua harus dilibatkan. Jadi bukan kayak sekarang, orang Papua yang justru banyak bicara. Jangan sampai orang Papua ini hanya berebut uang kecil. Sementara uang besar direbutkan di Jakarta. Nasionalisasi juga belum tentu jadi solusi. Kalau dinasionalisasi, hak ulayat orang Papua harus diberikan.

Papua menjadi “merdeka” dianggap sebagai jalan tengah agar konflik dan kekerasan berakhir, apakah Anda sependapat?

Di Papua itu, masalahnya sudah sangat kompleks. Jadi semua orang itu menjadikan “mereka” itu ‘payung’. Jadi orang yang kecewa dan berada di hutan itu bisa saja bicara merdeka. Tapi mereka bisa juga tidak peduli, karena mau merdeka atau tidak hidup mereka akan sama saja. Mereka tidak merasakan pembangunan dan uang dari pusat.

Banyak sekali yang harus diselesaikan antara orang Papua dengan pemerintah Indonesia.

Lalu apa solusi untuk mengakhiri kekerasan di Papua?

Harus ada forum atau pendekatan dialog dengan rakyat Papua. Kebebasan berekspresi rakyat Papua tidak boleh dikekang. Dalam dialog itu, pemerintah Indonesia dan rakyat Papua mendiskusikan apa sebenarnya masalah-masalah di Papua. Selama ini belum terjadi dan terus ada perbedaan pendapat masalah Papua. Pertemuan itu harus berulang kali dan dilakukan dengan serius.

Mei lalu Anda mendapatkan The Gwangju Human Rigths Award 2015 dari Korsel. Ini artinya eksistensi Anda dilihat sebagai pembela HAM. Apa yang melatarbelakangi Anda memilih profesi ini?

Saya selalu melihat dengan kondisi-kondisi yang ada di Papua. Kedua saya belajar dari situasi di rumah, orangtua saya. Kami hidup dengan demokrasi, saat sekolah dan kuliah saya sudah aktif ikut organisasi. Saya dibesarkan dalam keluarga yang berlatarbelakang jaksa militer. Tahun 1989 saya sudah bergabung dalam Pusat Peran Serta Masyarakat, Himpunan Mahasiswa Islam dan tahun 2000 bergabung dalam tim ALDP.

Dikeluarga, kami sangat demokrasi. Yang penting bisa mempertanggungjawabkan semua yang dilakukan. Lalu saya ke LSM berasal dari inspirasi ibu,

Apa yang melatarbelakangi Anda untuk membela HAM?

Saya tidak punya pengalaman yang tiba-tiba di satu peristiwa. Saya lihat dari sehari-hari, misal orangtua saya. Sekarang jelas sekali terlihat orang mendiskriminasikan orang Papua dengan orang pendatang. Itu tidak terjadi dengan orangtua saya. Kami bergaul sama siapa saja. Jadi itu sudah

Biografi singkat Latifah Anum Siregar

Latifah Anum Siregar merupakan seorang pengacara hak asasi manusia. Saat ini dia menjadi Ketua Aliansi untuk Demokrasi di Papua (ALDP).

Kak Anum, begitu sapaan akrab Latifah, pernah dinobatkan sebagai Woman Peacemaker tahun 2007 dari Institue Peace and Justice Joan B. Kroch Universitas San Diego, Amerika Serikat. Perempuan kelahiran Jayapura, 26 April 1968 itu dianggap berkomitmen dalam penegakan HAM di Papua.

Tahun 2015 ini, dia mendapatkan sebuah penghargaan penegakan HAM bergengsi dari Korea Selatan, Gwangju Prize for Human Rights. Perjuangan Anum di penegakan HAM disejajarkan dengan Xanana Gusmao dan Aung San Suu Kyi, dan 13 tokoh dunia lain yang mendapatkan penghargaan itu.

(Pebriansyah Ariefana/Adhitya Himawan)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI