Latifah A. Siregar: Pelanggaran HAM di Papua Terus Berlanjut

Adhitya Himawan Suara.Com
Senin, 21 Desember 2015 | 07:00 WIB
Latifah A. Siregar: Pelanggaran HAM di Papua Terus Berlanjut
Latifah Anum Siregar. (suara.com/Adhitya Himawan)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Pemerintah selalu mengklaim sudah melakukan pendekatan ekonomi untuk menyelesaikan kasus kekerasan di sana. Bagaimana keadaan sebenarnya?

Saya tidak mengerti pendekatan ekonomi seperti apa. Apakah pendekatan ekonomi dengan memberikan banyak uang? Tapi cobalah cek ke kampung, apakah ada perubahan yang signifikan dari uang yang datang? Apakah bantuan itu bisa membuat mandiri. Itu nggak terjadi kampung. Tapi yang banyak, tidak membuat mandiri. Tapi menjadi yang konsumtif, masyarakat jadi Ketergantungan.

Dana Otonomi Khusus yang begitu besar diberikan ke Papua. Apakah itu tidak cukup untuk mensejahterakan masyarakat Papua?

Otsus dikasih karena orang Papua minta merdeka. Pemerintah kasih Otsus juga setengah hati sebenarnya. Mana ada mekanismenya seperti itu? Daerah mana yang dikasih seperti itu? Itu dikasihnya terpaksa. Dikasihnya setengah hati, maka pemerintah mengajarkan pemerintah daerah melaksanakannya juga setengah hati.

Coba anda lihat, apakah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, dan Kementerian PU itu sinergis? Mereka nggak punya grand desain Otsus itu. Di level masyarakat, masyarakat tidak dilibatkan. Sehingga masyarakat merasa itu bukan bagian dari mereka. Bahkan mereka tidak saling percaya di sana.

Pemerintah mengklaim sudah melakukan pendekatan ekonomi untuk membangun Papua, apakah di sana terlihat nyata?

Malah di Papua bukan hanya persoalan ekonomi, tapi luas. Pendekaan ekonomi memang sudah dilakukan, uang juga banyak di sana. Tapi kan pengelolaan keuangan itu bermasalah. Banyak kasus korupsi di Papua. Uang yang banyak ini sebenarnya untuk siapa? Jangan-jangan hanya untuk sekelompok orang saja di Jakarta.

Bisa jadi kekerasan itu bertujuan untuk menghasilkan uang. Proyek kekerasan itu sering terjadi. Itu dilakukan untuk yang berkepentingan, agar dibuat sengaja Papua tidak aman. Misal aksi kekerasan menyongsong Pilkada. Ada daerah rawan, maka anggaran keamanannya harus lebih.

Artinya kekerasan itu sengaja di buat?

Uang itu dipakai untuk memecah belah dan alat provokasi.

Belum lama ini kembali muncul usulan untuk menasionalisasi Freeport, sebab perusahaan tambang itu merugikan. Lalu apakah ada hubungan antara kehadiran Freeport selama puluhan tahun itu demgan eskalasi kekerasan di sana?

Freeport sejak dulu, selalu dikaitkan dengan aksi kekeran yah. Kalau kita catat, banyak sebenarnya aksi kekerasan di kawasan Freeport, seperti Puncak Jaya dan sekitarnya. Itu jumlahnya banyak sekali. Sejak 2002 sangat rawan. Bahkan sebelumnya orang Freeport sering naik bus dari Tembagapura ke tempat pulang. Tapi sekarang sudah naik helikopter karena alasan tidak aman. Seharusnya banyaknya aparat keamanan yang sudah canggih dan sudah banyak kasus semestinya sudah bisa dipelajari. Bukan malah membuat justifikasi jika jalan darat tidak aman. Karena orang bekerja naik helikopter.

Apakah ini artinya Anda ingin mengatakan Freeport memasok dana untuk sengaja membuat kawasan tidak aman?

Bukan. Tapi kan kehadiran Freeport di Papua itu sudah berpotensi karena di sana banyak uang, kan orang selalu berebut itu. Rebutan dengan kekerasan. Kan selalu ada potensi kekerasan karena saling berebut.

Apakah jika nasionalisasi Freeport ini bisa menghentikan konflik?

Kalau pun ada nasionalisasi, rakyat Papua harus dilibatkan. Jadi bukan kayak sekarang, orang Papua yang justru banyak bicara. Jangan sampai orang Papua ini hanya berebut uang kecil. Sementara uang besar direbutkan di Jakarta. Nasionalisasi juga belum tentu jadi solusi. Kalau dinasionalisasi, hak ulayat orang Papua harus diberikan.

Papua menjadi “merdeka” dianggap sebagai jalan tengah agar konflik dan kekerasan berakhir, apakah Anda sependapat?

Di Papua itu, masalahnya sudah sangat kompleks. Jadi semua orang itu menjadikan “mereka” itu ‘payung’. Jadi orang yang kecewa dan berada di hutan itu bisa saja bicara merdeka. Tapi mereka bisa juga tidak peduli, karena mau merdeka atau tidak hidup mereka akan sama saja. Mereka tidak merasakan pembangunan dan uang dari pusat.

Banyak sekali yang harus diselesaikan antara orang Papua dengan pemerintah Indonesia.

Lalu apa solusi untuk mengakhiri kekerasan di Papua?

Harus ada forum atau pendekatan dialog dengan rakyat Papua. Kebebasan berekspresi rakyat Papua tidak boleh dikekang. Dalam dialog itu, pemerintah Indonesia dan rakyat Papua mendiskusikan apa sebenarnya masalah-masalah di Papua. Selama ini belum terjadi dan terus ada perbedaan pendapat masalah Papua. Pertemuan itu harus berulang kali dan dilakukan dengan serius.

Mei lalu Anda mendapatkan The Gwangju Human Rigths Award 2015 dari Korsel. Ini artinya eksistensi Anda dilihat sebagai pembela HAM. Apa yang melatarbelakangi Anda memilih profesi ini?

Saya selalu melihat dengan kondisi-kondisi yang ada di Papua. Kedua saya belajar dari situasi di rumah, orangtua saya. Kami hidup dengan demokrasi, saat sekolah dan kuliah saya sudah aktif ikut organisasi. Saya dibesarkan dalam keluarga yang berlatarbelakang jaksa militer. Tahun 1989 saya sudah bergabung dalam Pusat Peran Serta Masyarakat, Himpunan Mahasiswa Islam dan tahun 2000 bergabung dalam tim ALDP.

Dikeluarga, kami sangat demokrasi. Yang penting bisa mempertanggungjawabkan semua yang dilakukan. Lalu saya ke LSM berasal dari inspirasi ibu,

Apa yang melatarbelakangi Anda untuk membela HAM?

Saya tidak punya pengalaman yang tiba-tiba di satu peristiwa. Saya lihat dari sehari-hari, misal orangtua saya. Sekarang jelas sekali terlihat orang mendiskriminasikan orang Papua dengan orang pendatang. Itu tidak terjadi dengan orangtua saya. Kami bergaul sama siapa saja. Jadi itu sudah

Biografi singkat Latifah Anum Siregar

Latifah Anum Siregar merupakan seorang pengacara hak asasi manusia. Saat ini dia menjadi Ketua Aliansi untuk Demokrasi di Papua (ALDP).

Kak Anum, begitu sapaan akrab Latifah, pernah dinobatkan sebagai Woman Peacemaker tahun 2007 dari Institue Peace and Justice Joan B. Kroch Universitas San Diego, Amerika Serikat. Perempuan kelahiran Jayapura, 26 April 1968 itu dianggap berkomitmen dalam penegakan HAM di Papua.

Tahun 2015 ini, dia mendapatkan sebuah penghargaan penegakan HAM bergengsi dari Korea Selatan, Gwangju Prize for Human Rights. Perjuangan Anum di penegakan HAM disejajarkan dengan Xanana Gusmao dan Aung San Suu Kyi, dan 13 tokoh dunia lain yang mendapatkan penghargaan itu.

(Pebriansyah Ariefana/Adhitya Himawan)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI