Suara.com - Catatan resmi Komnas HAM, ada 700 orang yang mengalami kekerasan selama setahun Jokowi jadi Presiden. Mereka ditangkap tanpa alasan, dianiaya, dan disiksa. Jokowi dinilai belum mampu menangani pelanggaran HAM di Bumi Cenderawasih itu sesuai janji-jajinya.
Ironisnya pelaku pelanggaran HAM itu mengarah ke tentara dan polisi yang ditempatkan di sana. Misal saja, ada 60 anak di Kabupaten Nduga meninggal misterius tanpa penanganan lanjutan. Itu catatan Komnas HAM.
‘Duel’ penegak hukum dan warga Papua pun sering terjadi. Sebut saja kasus penembakan dan pembunuhan aktivis di Kabupaten Yahukimo pada 20 Mare, penembakan di Kabupaten Dogiyai pada 25 Juni, bentrok di Kabupaten Tolikara pada 17 Juli, dan penembakan di Kabupaten Timika pada 28 Agustus.
Di balik fakta tersebut, pemerintah membela diri sudah memberikan Papua keistimewaan dan memberikan prioritas pembangunan. Pemerintah memberikan dana otonomi khusus untuk Papua di 2015 sebesar Rp7 triliun. Tahun besok akan dinaikan menjadi Rp7,765 triliun. Sebesar Rp 5,435 triliun untuk Provinsi Papua dan Rp2,329 triliun untuk Provinsi Papua Barat. Untuk ‘mencairkan’ ketegangan di Papua, Presiden Joko Widodo juga membebasan tahan politik dan narapidana politik di Papua.
Aktivis sekaligus pengacara korban hak asasi manusia, Latifah Anum Siregar menganalisa jika pemberian dana otsus itu sia-sia. Begitu juga dengan pemberian grasi. Sebab lebih banyak yang ditangkap daripada yang dibebaskan. Mereka kebanyakan dituduh makar.
Anum menelisi dari kacamata penduduk Papua asli. Perempuan kelahiran Jayapura itu puluhan tahun berkecimpung di dunia pergerakan di Papua. Dia tahu persis A-Z persoalan di Papua. Anum sudah mendampingi puluhan korban HAM di sana. Salah satunya, tokoh Papua yang dituduh makar, Theys Hiyo Eluay.
Atas dedikasinya membela HAM di sana, dia pernah mendapatkan penghargaan bergengsi internasional. Dia pernah dinobatkan sebagai Woman Peacemaker tahun 2007 dari Institue Peace and Justice Joan B. Kroch Universitas San Diego, Amerika Serikat.
Terakhir, perempuan yang menetap di Papua itu mendapatkan sebuah penghargaan penegakan HAM bergengsi dari Korea Selatan, Gwangju Prize for Human Rights 2015. Perjuangan Anum di penegakan HAM disejajarkan dengan Xanana Gusmao dan Aung San Suu Kyi, serta ke-13 tokoh dunia lain.
Sebenarnya apa yang terjadi di Papua, hingga kekerasan di sana tidak kunjung berhenti? Apa juga solusi terbaik untuk menghentikan pelanggaran HAM di sana?
Berikut analisa Anum dalam wawancara bersama suara.com di Jakarta pekan lalu:
Pemerintahan saat ini sudah berganti, hampir setahun Joko Widodo memimpin. Ada kesan, jika ada kemajuan dalam hal penanganan konflik dan perdamaian di Papua. Apakah Anda setuju dengan kesan itu?
Konflik di Papua itu kan sudah cukup lama dan beragam. Mulai dari perebutan sumber daya politik, ekonomi, sosial dan krisis identitas. Kalau kita berkesimpulan Pemerintahan Joko Widodo yang membuat lebih baik dan ada kemajuan signifikan, itu omong kosong. Tidak seperti itu.
Bahkan mungkin harus 1 sampai 2 periode pemerintahan baru yang bisa kita melihat hasil yang signifikan. Karena ini memerlukan jangka panjang. Bahwa Jokowi mengatakan akan menghentikan konflik di Papua. Misalnya dengan memberikan grasi sebagai satu upaya menyelesaikan konflik di Papua. Tapi dalam waktu yang bersamaan praktik penangkapan terus terjadi.
Praktik penyiksaan terus terjadi. Kasus Paniai yang dijanjikan Jokowi diselesaikan itu juga tidak diselesaikan. Kalau Jokowi mengatakan penyelesaian tapol-napol itu bagian dari penyelesaian konflik. Itu serta merta jadi satu hal yang signifikan jika tidak diikuti dengan keinginan memberikan kebebasan ruang untuk berekspresi.
Yang dipenjara dibebaskan, tapi kalau yang lain masih tetap ditangkap, itu sia-sia saja. Yang dibebaskan 5 orang, tapi yang ditangkap puluhan orang.
Kasus Paniai saja, Jokowi memerintahkan aparatnya untuk bertindak dengan tepat. Tapi sudah 1 tahun ini nggak ada yang maju ini prosesnya. Baru proses penyelidikan, belum penyidikan yang tidak jalan.
Kasus Paniai itu pelanggaran pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Peristiwa penembakan dan pembantaian itu menewaskan 4 pelajar SMA. Yaitu Yulianus Yeimo (17), Apinus Gobai (16), Simon Degei (17), dan Alpius You (18), dan 1 warga sipil, Sadai Yeimo (28) di Lapangan Karel Gobay 8 Desember 2014. Di peristiwa itu ada penyiksaan dan penembakan terhadap 18 orang.
Komnas HAM menginvestigasi ada penembakan yang dilakukan aparat gabungan TNI maupun Polri. Komnas HAM juga mengindikasikan ekskalasi kekerasan militeristik semakin kuat di Papua meningkat. Terakhir ada 5 kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat. Menurut Anda, apakah ini sebagai 'gaya baru' kekerasan di Papua?
Kalau kita lihat dalam kacamata penegakan hukumnya, saya melihat ada gaya baru dalam pemberian pasal-pasal di suatu peristiwa baru. Terutama sejak tahun kemarin, misal soal perdagangan amunisi, penggunaan senjata. Ini kan dulu tidak ada, tapi satu tahun belakangan ini muncul lagi.
Sebenarnya sejak tahun 2003 ini sudah muncul waktu kasus Mile 62-63 Distrik. Saat itu tiga staf pengajar sekolah internasional Tembagapura tewas. Dua korban di antaranya berkewarganegaraan asing.
Sampai saat ini kekerasan terhadap orang Papua di sana masih berlanjut. Jika ditarik benang merah, apa akar masalah konflik saat ini?
Beberapa pihak menggunakan persepsi yang berbeda. Pemerintah bilang ini soal kesejahteraan. Makanya dikasih banyak uang di Papua, tetapi tetap saja banyak orang yang bersuara tentang merdeka. Kasus dan peristiwa politik masih banyak.
Jadi bukan hanya soal ekonomi. Tapi kasus yang harus dilihat adalah – kalau kita merujuk pada Papua roadmap. Soal politik, perbedaan pemahaman soal integrasi Papua itu ada beberapa orang
Anda pernah membela Almarhum Theys Hiyo Eluay, salah satu tokoh Papua merdeka yang didakwa makar dan berhasil bebas dari tuntutannya. Apa yang tak terlupakan saat membela Theys?
Saat itu, 10 November 2001 siang Theys diculik dari rumahnya. Besoknya, Theys ditemukan tewas di dalam mobilnya di KM 9, Koya, Muara Tami, Jayapura. Theys terletang, perutnya ada bekas goresan merah lembab.
Dari pagi saat Theys ditemukan tewas, saya tidak istirahat. Sampai besonya lagi. Peristiwa demi peristiwa sangat banyak saya lewati, sampai saat dibawa ke rumah sakit dan diotopsi, saya mengikuti. Saya melihat langsung Pak Theys diotopsi, karena keluarga tidak ada yang bisa datang. Saat itu rumahnya di Sentani terjadi kebakaran. Dari berbagai kasus yang saya tangani, saya kira itu kasus yang paling kompleks.
Anda dan kawan-kawan juga mendampingi tujuh warga sipil Wamena yang dituduh membobol gudang senjata Kodim 1710 Wamena pada 2003. Mengapa Anda bela juga?
Mereka ini satu-satunya kasus yang unik. Karena mereka ditahan di LP yang berbeda-beda, di Wamena dan mau dibawa ke Jawa, ke Makassar, dan pindah ke Nabire. Ada yang meninggal saat ditahan di Makassar. Sampai saya bawa ke Yahukimo. Sampai mereka diberikan grasi oleh Presiden Joko Widodo.
Mereka di antaranya Apotnalogolik Lokobal, Numbungga Telengge, Kimanus Wend, Linus Hiluka dan Jefrai Murib. Saya juga berharap jangan mereka saja yang mendapatkan grasi. Tahan-tahanan lain juga harus mendapatkannya.
Sebagian orang yang Anda bela dituduh makar, memberontak dan tuduhan sparatis lain. Apakah Anda sengaja membela kasus-kasus seperti itu?
Tidak juga. Ada juga kasus pemilu, mereka dituduh sebagai kelompok bersenjata atau pemeberontak. Aparat negara tidak hanya memberikan mereka pasal 106 KUHP Pidana tentang maka, tapi juga pasal 108 tentang melawan negara dengan menggunakan senjata. Lalu pasal kepemilikan amunisi, dan pasal penghasutan.
Di Papua, demonstrasi dan demo-demo lainnya bisa disebut sebagai menghasut. Sehingga bisa dikenakan pasal penghasutan. Ada juga kasus criminal. Tetapi pada proses penangkapannya semena-mena. Ditembak, dibawa ke rumah sakit dengan dilempar saja. Saat ingin dilayani, aparat polisi bilang nanti saja dulu. Padahal dia sudah terluka parah. Mereka ini bukan pencuri.
Belum lama ada kasus penyiksaan di sel tahanan bernama Ricko Wambo hingga tewas. Dia adalah ketua KNPB Mamberamo Tengah. Apakah kasus penyiksaan seperti ini sering terjadi di Papua?
Penyiksaan itu berlangsung dari kasus yang bernuansa politis sampai kasus criminal. Mereka rentan penyiksaan kalau mereka orang Papua. Ada beberapa kasus, meski dia bukan orang Papua, tapi dia berpotensi disiksa. Misalnya pada kasus kriminal dalam penjara.