Dedi Mulyadi: Saya Sudah Biasa Dibilang Kafir

Senin, 14 Desember 2015 | 07:00 WIB
Dedi Mulyadi: Saya Sudah Biasa Dibilang Kafir
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Masuk ke lingkungan Kantor Bupati Purwakarta atau yang biasa disebut Balai Negara, terasa kuat ‘aura mistis’. Patung-patung singa dan bentangan taman menambah kesan jika tempat itu adalah sebuah kerajaan.

Masuk lebih ke dalam, ada pendopo besar yang dikelilingi air mancur dan taman bunga. Pendopo itu dekat dengan lobi utama kantor Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi. Di sana Dedi lebih banyak menghabiskan waktu jika tidak bertugas keluar ‘istana’.

Di lobi kantor Kang Dedi ada 4 buah kereta kencana. Kereta itu diberinama Nyai Melati, Ki Jaga Rasa, Ki Jaga Raga dan Ki Jaka Sunda. Semuanya terbuat dari kayu jati dengan bobot sekitar 100 kilogram. Ada sebuah benda ditancapkan dan dibakar di bawah kereta. Benda itu seperti dupa, lengkap dengan bejana dan kembang. Baunya harum.

Mengenakan pakaian putih khas masyarakat Sunda, Kang Dedi menyapa suara.com yang datang ke kantornya pekan lalu. Dia berpakaian lengkap dengan menggunakan ikat kepala. Lelaki 44 tahun itu mengenalkan ornamen-ornamen yang ada di kantornya, termasuk alasan menggunakan wewangian seperti dupa dan kereta kencana.

"Itu bukan jimat atau mistis," tegas Dedi sambil mengajak masuk ke ruang tamu Balai Negara.

Belum lama ini Dedi dituding sebagai pemimpin sesat oleh pimpinan ormas FPI Rizieq Shibab. Kelompok intoleran ini memang sering memberikan ‘cap sesat’ kepada siapapun yang tak sepaham. Termasuk Dedi.

Celakanya Rizieq yang biasa disapa Habib itu mendapatkan serangan balik dari kelompok budayawan Sunda karena pelesetkan kata “sampurasun” menjadi “campur racun”. Lelaki yang pernah masuk penjara itu pun ‘dicekal’ masuk tanah pasundan.

Sementara, bagi Dedi sudah biasa dicap sesat dan kafir. Dia bahkan mengaku berulangkali dilaporkan sekelompok orang karena dituduh menghina Islam dan tuhannya, Allah. Dedi terima saja.

Namun di balik tudingan itu, Dedi adalah salah satu kepala daerah terbaik yang dimiliki Indonesia. Dia membangun Purwakarta selama 16 tahun mulai dari menjadi anggota DPRD sampai saat ini bupati selama 2 periode. Dedi juga dikenal sebagai kepala daerah yang toleran terhadap berbagai ajaran agama. Inovasinya mengantarkan kabupaten Purwakarta menjadi kawasan modern, namun tetap terasa ‘hawa’ budayanya.

Bagaimana itu bisa dilakukan Dedi? Bagaimana pula sikapnya terhadap kaum antitoleransi di kabupaten yang dia pimpin?

Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Dedi di ruang tamu Balai Negara Purwakarta pekan lalu:

Dekorasi kantor Anda begitu terasa ‘mistis’. Ditambah ada beda mirip dupa di lobi kantor Anda. Apa tujuan tertentu pemasangan benda itu?

Itu bebauan lebih alami, aroma terapi, bukan dupa. Saya lebih suka itu daripada pengharum kimia. Itu bukan jimat atau mistis, saya orang rasional dan dididik sejak awal hidup dengan logika. Saya tidak percaya dukun dan ramalan. Semua itu beda pengharum ruangan.

Saya sudah lama pakai itu, saya selalu pakai yang tradisional. Misal untuk mengusir nyambuk, saya lebih pilih bakar ratus dibanding menggunakan obat semprot, bahaya. Kalau pakai ratus, tidak banyak asap dan ruangan wangi. Orang-orang Arab dan Cina gunakan itu juga.

Di depan lobi kantor Anda juga ada kereta kuda, apakah itu milik Purwakarta?

Kita membuatnya tahun 2009 sebagai bentuk aksesoris Balai Negeri. Saya melihat Sumedang dan Cirebon punya kereta, di Jawa Tengah juga. Saya merasa seharusnya Purwakarta harus punya sesuatu yang dicintai oleh warganya dan ditunggu warganya. Kereta itu diarak setahun sekali saat hari jadi Purwakarta.

Itu bukan kereta tua atau peninggalan. Karena, Purwakarta kan tidak mempunyai kerajaan dan warisan kereta kayak gitu.

Anda sudah 16 tahun menjadi pejabat di Purwakarta. Dimulai dari menjadi anggota DPRD tahun 1999, sampai saat ini menjadi Bupati sudah 2 periode. Apa yang membuat Anda begitu betah di sini?

Bukan betah atau tidak betah. Tapi memang dari sisi aspek karier kan memang berjenjang. Anggota DPRD selama 3 tahun dan wakil bupati 1 periode. Sebenarnya, saya lebih tidak betah di banding teman-teman di DPRD, Mereka banyak yang masih di DPRD sampai saat ini. Saya menuntaskan karier di Purwakarta, sekarang periode ke dua jadi bupati.

Mengapa tidak ingin ke luar Purwakarta, misal jadi Gubernur Jawa Barat?

Karena nggak mungkin kalau kita ingin sukses, memimpin daerah hanya 5 tahun. Karier jabatan kita ini bekerja dan harus menyelesaikan dan fokus mengerjakan semua pekerjaan itu. Tidak mungkin kita memimpin daerah dalam waktu sebentar, sementara pemikiran dan gagasan itu belum selesai sudah diganti lagi.

Selama 16 tahun, apa yang berubah dari Purwakarta?

Bisa Anda lihat apa yang sudah berubah. Dulu Purwakarta hampir semua jalannya rusak, sekarang hampir semua sudah berbeton pakai aspal hotmix. Bahkan kita masih membuka jalan-jalan baru. Terakhir kita membuka jalan yang mengisolasi 5 desa yang selama 50 tahun mereka tidak menginjak jalan. Hidup masyarakat itu keluar dari rumah langsung turun ke sungai. Sekarang mereka mempunyai jalan.

Dulu 50 ribu keluarga tidak menikmati listrik, hari ini tinggal 4 ribu kepala keluarga yang belum menikmati listrik, tahun depan mudah-mudahan sudah 100 persen menikmati listrik.

Dulu anak-anak Purwakarta rata-rata pendidikannya SMP, sekarang sudah 80 persen SMA. Kemudian, sekarang sekolah di sini gratis sampai SMA. Sekarang juga 11 rumah sakit negeri dan swasta gratis asal mau di kelas III. Kalau kepepet bisa di kelas II. Sekarang 100 amblance di Purwakarta gratis. Itu dijamin sama pemerintah. Kalua pun ada yang mau kasih uang ke sopirnya juga nggak apa-apa. Namanya juga budaya baik.

Dulu di area pemda ini daerah kumuh, sekarang daerah yang tertata.

Inovasi apa yang Anda gunakan untuk membangun itu semua?

Orang tidak percaya dengan sistem anggaran yang saya buat. Karena APBD Purwakarta kecil, tapi bisa memberikan pelayanan dengan jangkauan yang luas. Bahkan kita lebih gila, tahun depan gaji RT Rp700 ribu, sekarang Rp500 ribu. Di tempat lain, paling Rp50 ribu atau paling besar Rp150 ribu.

Saya menerapkan logika anggaran. Orang biasanya berpikir menggunakan logika pendapatan, memperbanyak pendapatan. Waktu saya awal menjabat yang saya lakukan bukan memperbanyak pendapatan, tapi membuat tempat belanja. Mungkin seperti yang dilakukan Pak Ahok (Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama) hari ini. Tapi kan DKI itu duitnya banyak sekali yah. Saya kan kecil banget. Dulu saat pertama saya menjabat Rp800 miliar, Sekarang Rp2,3 triliun. Jauh banget dari Jakarta.

Memuat tempat belanja itu melahirkan penghematan. Misalnya pangkas belanja perjalanan dinas, dialihkan ke belanja untuk kepentingan publik. Nah ini membuat orang tidak percaya, sampai timbul anggapan saya menikahi Ratu Kidul. Itu kan karena itu.

Makanya itu karena saya kerja itu nggak berhenti membangun. Dari awal saya menjabat tidak berhenti membangun, sampai bisa membuat event internasional. Orang lain tidak bisa melakukan itu, ini kabupaten kecil, bupati dapat duit dari mana. Yah kan duitya dari itu-itu juga. Ini persoalan teknik belanja saja.

Anda mendapatkan dana dari CSR perusahaan?

Nggak ada. Kita kan sudah pungut pajak dari masyarakat. Belanjakan saja uang yang diberikan itu.

Bahkan kalau ada rumah masyarakat gentengnya bocor, rumahnya rusak, pada SMS ke saya. Saya menyebar nomor telepon saya ke masyarakat. Banyak sekali SMS, banyak juga yang belum dibuka. Saya selalu memberikan jawaban dengan baik dan membantu semampunya. Mereka terbantu, tidak ada yang pernah saya acuhkan. Saya membalas dan merespon juga.

Anda pernah membuat kebijakan yang dinilai kontroversi. Yaitu larangan berpacaran atau bertamu di atas jam 9 malam. Apa kabar kebijakan itu?

Itu kan bukan saya melarang berpacaran, tapi secara budaya orang Indonesia ini kan feodal pada umumnya. Pendidikannya sangat tergantung pada ibu dan bapaknya dalam pembentukan karakter. Kondisi saat ini orangtua tidak mempunyai karakter untuk mendidik anaknya.

Dulu, mendidik anak selalu dengan menggunakan kalimat mistis pamili. Hari ini, orang nggak percaya dengan hal mistis. Sekarang percaya dengan yang realistis. Sementara orangtua tidak mempunyai kemampuan menjelaskan hal-hal realistis dengan logika dan argumentasi yang kuat. Karena keterbatasan pendidikan, sementara anak-anak sekolahnya sudah tinggi. Anak-anak tidak ingin mendengarkan orangtuanya, jadi mereka merasa merdeka dan bebas.

Beda antara barat dan Indonesia, anak-anak di sana bebas dari problem itu hanya sampai umuar 18 tahun. Umur 17 ke bawah diawasi orangtua. Tidak boleh merokok, minum minuman keras, menonton bioskop, beli ke toko sendiri. Di Indonesia dalam paham kebebasan, bebas itu bukan 18 tahun ke atas, tapi 17 tahun ke bawah sudah bebas banget. Dampaknya, mereka menikah dengan keadaan muda dan banyak problem penyimpangan. Ini perlu diluruskan.

Pengawasan seperti itu memang diatur konstitusi, tapi kan konstitusi kita nggak efektif karena alat penegakannya tidak seperti di negara lain.

Akhirnya ada orangtua yang bilang ke saya, “bupati bisa nggak bikin aturan yang mempunyai pegangan?”. Nah aturan pembatasan jam itu, yang membuat aturan teknis itu kan desa. Nanti desa, membuat aturan yang diterapkan.

Kalau misal pacaran, umur 17 tahun, pacarannya cuma “hay”, “aku suka kamu”, kalau kayak begitu nggak ada masalah. Nah kan kita tahu pacaran saat ini beda dengan dulu. Rata-rata kan ‘kecelakaan’. Dikultur kita kan hal seperti itu masih dijunjung tinggi. Bayangkan kita berhadapan dengan kultur masyarakat yang bebas, sementara kultur masyarakatnya belum cuek kayak di luar negeri. Masih diomongin, kan nggak jelas. Di Indonesia 13 tahun, 12 tahun hamil. Bagaimana itu? Sehingga aturan ini untuk memberikan penjelasan kamu jangan deh pacaran berlebihan kalau masih di bawah umur. Karena berlebihan ini tidak bisa dikendalikan, harus ada alat control dong, misal bikin larangan.

Dalam kebijakan itu, Anda memadukan hukum formal dan non formal (seperti hukum adat). Apakah ini berlaku untuk semuanya?

Iya, nilai-nilai adat itu dibuat dengan ketentuan yang dipatuhi. Saya hanya membuat panduan saya.

Awalnya kebijakan ini mendapatkan kritikan, tapi karena tidak tahu fakta yang sebenarnya. Sebenarnya itu aturan agar anak sekolah fokus belajar dan tidak mengalami kegagalan. Anak sekolah hamil, itu nggak akan sekolah lagi. Apalagi di kampung.

Seberapa banyak anak di bawah umur di Purwakarta yang hamil di luar nikah?

Jumlahnya tidak tahu, tapi banyak. Di bawah umur banget, umur 12 tahun.

Kebijakan lain, mungkin ini dinilai sebagai prestasi Anda. Menerbitkan surat edaran itu untuk menjamin pelaksanaan konstitusi dan dasar negara. Penegasan surat ini apa? Apakah Anda juga mengizinkan seluruh kepercayaan untuk ibadah? Termasuk Ahmadiyah dan Syiah yang selama ini mendapatkan penolakan?

Iya berlaku, boleh dong semuanya menjalankan ibadah masing-masing.

Apa motif Anda dibalik pengeluaran surat edaran itu?

Urusan keyakinan itu kan hak individual, karena hak individu, orang lain nggak boleh mencampuri. Hanya urusan saya dan tuhan. Ini hak yang paling asasi orang menentukan pilihan. Saya bukan hanya di situ saja. Bukan hanya agama yang formal dan diakui oleh negara. Bahkan saya usulkan kepada presiden untuk aspek-aspek yang lain. Indonesia kan punya agama penghayat hampir 600 buah.

Itu akan local wisdom yah. Misal mereka tinggal di hulu sungai, ritual mereka itu hanya untuk menjaga hulu sungai. Tapi mereka nggak diakui, padahal mereka berjasa menjaga hutan dan lingkungan. Kelompok ini yang menjaga Indonesia sebenarnya.

Apakah mungkin bupati membuat aturan daerah yang mengakui mereka?

Nggak bisa. Itu undang-undang, negara yang atur. Di kampung-kampung itu banyak penghayat, mereka bisa punya KTP tapi kolom agamanya dikosongkan.

Sekuat apa surat edaran itu dari sisi hukum? Sebab sering kali berbenturan dengan pelaksaan pengamanan aparat kepolisian di lapangan.

Sari sisi hukum kan hanya menterjemahkan dari sisi aturan perundang-undangan dalam hal kebebasan berkeyakinan. Surat edaran itu untuk membuat rasa lega, pegangan sama RT-RW. Surat ditembuskan ke Polres.

Bagaimana mengelola kelompok intoleransi di daerah Anda?

Intoleran sendirikan bagian dari sikap yah, orang tidak suka dengan satu golongan. Nah sikap boleh, kalau bersikap pribadi. Tapi kalau sikap itu menggangu orang lain, maka tugas negara yang mencegah. Saya akan tegas dong, nggak boleh kalau ada orang berbuat itu, kita jagain. Saya dengan Kapolres sikapnya sama.

Baru-baru ini Anda kasus 'campur racun'. Tokoh budayawan Sunda, melarang FPI masuk Jawa Barat. Apakah anda akan menerapkan larangan itu ke Purwakarta?

Kalau saya sih, organisasi apa saja boleh tumbuh di Indonesia. Orang ngomong apa pun boleh, asal tidak mengganggu, menghasut, dan merendahkan martabatnya orang lain. Rizieq ini kan dulu ceramahnya di Purwakarta. Kemudian itiu ada peraturan desa, bahwa kegiatan ceramah yang di dalamnya menghasut dan menyebarkan fitnah, kebencian, otomatis pemerintahan desa dan kelurahan yang akan melarang.

Secara resmi, apakah FPI akan Anda larang masuk Purwakata?

Nggak lah, itu kan orang berhak untuk berorganisasi. Tapi bagaimana mereka nanti mengganggu orang lain, tidak memberikan orang lain untuk kebebasan beribadah, tentu nantinya kita punya sikap. Mereka berarti ganggu kepentingan umum.

Purwakarta tidak sebentar punya pengalaman berhadapan dengan kelompok intoleran. Misal patung Purwakarta pernah dirobohkan, termasuk saya dilaporkan ke Polda karena dinilai melakukan penistaan agama.

Sepertinya sikap Anda santai sekali meski sudah dilaporkan ke polisi?

Karena saya dari dulu begini. Saya kan dari dulu berjuang memberikan keyakinan untuk warga sunda. “Eh kita ini bangsa ini terhormat, ajaran kita ini baik lho mengajarkan silih asah, silih asuh, silih asih. Mengajarkan kasih sayang. Hati kita nggak boleh kotor ke orang lain.” Masih banyak lagi.

Saya kan Islam, saya mengatakan dengan menjadi Sunda yang baik, maka kita menjadi Islam yang baik. Nah ini yang menjadi laporan saya ke Polda. Dilaporkan penistaan agama, saya nggak tahu jenis penistaannya yang mana.

Saya juga pernah ngomong, saya bertemu dengan tukang sampah. Mengapa mereka kok senang banget jadi tukang sampah? Ternyata mereka bekerja dengan ikhlas, saat bekerja iklas, sampah itu menjadi harum. Karena Allah ada di situ, nah tapi saya dilaporkan juga ke polisi.

Saya juga pernah bilang, kita ini beragama terlalu formal. Solatnya formal, puasanya formal tapi substantifnya nggak terkejar. Padahal Allah itu bukan hanya ingin diformalkan, Allah itu harus dicumbuin dengan cinta kasih. Itu juga dilaporkan karena dianggap melecehkan Allah.

Kalau dilaporkan ya sudah lah ini bagian dari risiko karena konsistensi saya menyampaikan sampurasun. Padahal itu sejak tahun 2003 kan sudah popular. Baju ikat juga. Banyak yang mengkafirkan, saya sudah terbiasa. Padahal sampurasun itu salam kemulian. Saya membawa itu ke Amerika dan Malaysia. Saya sengaja untuk mempopulerkan, sama dengan “horas” di Medan dan Bali ada “om swastiastu”. Saya ingin sampurasun sejajar.

Saya ingin dong presiden juga ucapkan salam sampurasun ke kancah internasional.

Apa yang membedakan konsep kepemimpinan Anda dibanding Ahok atau juga Ridwan Kamil?

Pertama, yang lain kan memimpin kota. Memimpin masyarakat perkotaan yang rata-rata sekolah. Insfrastruktur sudah ada. Tapi saya kan memimpin kota dan desa yang daerah yang nggak punya jalan. Ada daerah yang di balik hutan, gunung. Saya kemarin membuka jalan, menyelamatkan penduduk yang jumlahnya hanya 150 orang dan saya menghabiskan Rp4 miliar untuk membuka isolasi mereka.

Mereka punya sekolah yang muridnya 50 orang, dari kelas 1-6. Kelas 7 muridnya 7 orang. Dan saya membuat sekolah itu.

Saya juga pernah membuka Kampung Cikempung yang penduduknya 170, dan menghabiskan Rp7 miliar. Saya buka desa Sukamukti, itu satu desa penduduknya 1500 orang. Estimasi biaya yang diperluka Rp15 miliar untuk 1 desa. Saya buka kecamatan Sukasari yang penduduknya 40 ribu jiwa, menghabiskan uang Rp250 miliar.

Saya bisa menembus itu semua. Artinya memang problem kabupaten itu berat sekali. Melewati sungai, sawah, gunung. Saya buka itu semua. Sehingga mempunyai akses transportasi darat.

Tapi juga saya tidak ketinggalan membangun kota sebagai pusat peradaban masyarakat sebagai akses interaksi. Saya bangun taman-taman kecil, bangunan kecil yang berarsitektur unik. Saya juga punya taman air mancur yang terbesar se-Indonesia. Itu saya yang merancang dan saya yang membuat, selesai Desember ini.

Saya punya museum digital yang pertama di Indonesia. Lalu lagi dirancang museum nusantara, dan masih dirancang museum dunia. Nanti ada Museum Sate Maranggi, ada Museum Padi, ada Museum Wayang Nusantara. Nanti saya ingin kabupaten ini mempunyai kelengkapan teknologi museum masa lalu dengan teknologi digital. Nanti syaa punya perpustakaan digital. Artinya bahwa saya bisa mengelola desa.

Apa yang mendorong kepemimpinan Anda seperti ini?

Pengalaman hidup. Saya lahir di desa, bapak saya pensiunan tentara, ibu saya tidak bisa baca tulis tapi bisa mengatur keluarga. Dia ajarkan saya jalan kaki mengambil rumput dan kayu bakar. Saya alami hidup menjadi kuli, kuli padi, tukang pukul bata merah, kuli kayu bakar, jualan rokok, dan layangan. Mungkin orang tidak punya pengalaman hidup itu, saya mengalaminya.

Waktu kuliah saya dagang bala-bala (bakwan), selesai kuliah dagang beras ke perusahaan. Dan itu jadi modal saya dalam berpolitik.

Saya juga memahami gejolak perburuhan, sehingga kalau ada masalah saya tangani dengan baik. Saya memahami petani, karena saya pernah jadi petani. Saya memahami tukang ojek, saya pernah jadi tukang ojek. Jadi kalau saya cerita sama mereka, saya bicara soal pengalaman hidup saya.

Komunikasi politik penting, bagaimana cara Anda melakukan komunikasi politik di Purwakarta?

Saya sebagai orang desa, saya kenal dengan wayang golek. Saya pernah jadi dalang wayang golek saat kecil. Jadi saya tahu betul caranya berkomunikasi. Memang yang jadi problem itu, banyak orang pintar, bisa nulis nggak bisa bicara, bisa bicara nggak bisa nulis, bisa ngomong di kampus nggak bisa ngomong di rakyat.

Yang nggak suka dengan ungkapan saya, selalu berujung pada laporan polisi. Bagi saya itu biasa dan dinamika. Pemimpin itu ungkapannya itu dicerna orang.

Bagaimana berkomunikasi dengan DPRD?

Bagi saya mudah. Saya 3 tahun di DPRD, teman-teman DPRD paling cepat bahas anggaran. Nggak pernah lambat. Saya nggak pernah ada batas, nggak formal kepartaian.

Tiga tahun lagi masa jabatan Anda habis, adakah hal yang mendesak harus diselesaikan di masa kepemimpinan Anda?

Karakter, ini sunda. Belum ada prototype. Jawa Barat sebagai sunda belum ada prototypenya.

Apakah Purwakarta mengembangkan smart city?

Saya sih tidak smart city yah. Saya kan daerah kabupaten, smart village. Kalau saya bahasanya “smart village goes to city”. Dari kampung menuju kota. Kampung yang lembut, segala fasilitas ada. Kalau di kota semua ada yah biasa. Kalau di kampung punya ambulance, pemadam kebakaran, jaringan internet, CCTV terpasang di setiap sudut. Jadi 2016 itu kampong-kampung di Purwakarta akan seperti itu. Tinggal 30 persen. Jelang akhir jabatan saya, semua mudah-mudahan tuntas di 2017.

2017, Pilkada Jawa Barat. Ada kabar Anda ikut dalam bursa calon gubernur. Apa yang sudah Anda siapkan?

Saya belum pasti maju. Nanti kita lihat saja. Berbuat baik saja. Belum ada pembicaraan di Partai Golkar.

Anda sudah merasa mampu pimpin provinsi?

Jadi gubernur lebih mudah daripada bupati. Saya kira setiap orang harus siap. Jadi gubernur juga uangnya lebih banyak, jadi bupati uangnya lebih sedikit.

Tapi publik mendukung lho?

Ah belum juga, saya ngak mau ge’er. Kalau kemudian dalam penataan Purwakarta dilihat, hasil itu hasil kerja keras.

Menurut Anda, apa yang masih kurang dari Jawa Barat?

Karakter. Coba Anda bayangkan masuk ke Jawa Tengah di perbatasan itu terasa. Bali apalagi. Coba masuk Jawa Barat, terasa nggak diperbatasan. Di bekasi, Karawang. Di sana sangat modern. Karakter itu membentuk identitas. Arsitekturnya apa? Jadi kalau masuk Jawa Barat, arsitekturnya sudah terlihat. Kayak masuk purwakarta ini kan sekarang sudah ada auranya.

Biografi singkat Dedi Mulyadi

Dedi Mulyadi merupakan sarjana hukum yang kahir di Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang, 11 April 1971 lalu. Dia anak bungsu dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Sahlin Ahmad Suryana adalah seorang pensiunan Tentara Prajurit Kader yang dipensiunkan muda pada usia 28 tahun akibat terkena racun tentara Belanda.

Sementara ibunya, Karsiti adalah aktivis Palang Merah Indonesia. Ia adalah seorang politikus yang dalam usia muda (37 tahun) sudah menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Dilantik pada tanggal 13 Maret 2008. Sebelum jadi Bupati, Dedi Mulyadi menjabat sebagai Wakil Bupati Purwakarta pada periode (2003-2008) bersama Lily Hambali Hasan. Pada Pilkada 2013, Dedi Mulyadi terpilih kembali menjadi Bupati Purwakarta untuk periode 2013-2018 berpasangan dengan Dadan Koswara.

Dedi Mulyadi menempuh masa SD hingga SMA di kota kelahirannya, Subang. Mulai dari SD Subakti (1984), SMP Kalijati (1987), dan SMA Negeri Purwadadi (1990). Selanjutnya pendidikan tingginya diselesaikan di Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman Purwakarta dengan meraih gelar Sarjana Hukum (1999).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI