Dedi Mulyadi: Saya Sudah Biasa Dibilang Kafir

Senin, 14 Desember 2015 | 07:00 WIB
Dedi Mulyadi: Saya Sudah Biasa Dibilang Kafir
Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Bagaimana mengelola kelompok intoleransi di daerah Anda?

Intoleran sendirikan bagian dari sikap yah, orang tidak suka dengan satu golongan. Nah sikap boleh, kalau bersikap pribadi. Tapi kalau sikap itu menggangu orang lain, maka tugas negara yang mencegah. Saya akan tegas dong, nggak boleh kalau ada orang berbuat itu, kita jagain. Saya dengan Kapolres sikapnya sama.

Baru-baru ini Anda kasus 'campur racun'. Tokoh budayawan Sunda, melarang FPI masuk Jawa Barat. Apakah anda akan menerapkan larangan itu ke Purwakarta?

Kalau saya sih, organisasi apa saja boleh tumbuh di Indonesia. Orang ngomong apa pun boleh, asal tidak mengganggu, menghasut, dan merendahkan martabatnya orang lain. Rizieq ini kan dulu ceramahnya di Purwakarta. Kemudian itiu ada peraturan desa, bahwa kegiatan ceramah yang di dalamnya menghasut dan menyebarkan fitnah, kebencian, otomatis pemerintahan desa dan kelurahan yang akan melarang.

Secara resmi, apakah FPI akan Anda larang masuk Purwakata?

Nggak lah, itu kan orang berhak untuk berorganisasi. Tapi bagaimana mereka nanti mengganggu orang lain, tidak memberikan orang lain untuk kebebasan beribadah, tentu nantinya kita punya sikap. Mereka berarti ganggu kepentingan umum.

Purwakarta tidak sebentar punya pengalaman berhadapan dengan kelompok intoleran. Misal patung Purwakarta pernah dirobohkan, termasuk saya dilaporkan ke Polda karena dinilai melakukan penistaan agama.

Sepertinya sikap Anda santai sekali meski sudah dilaporkan ke polisi?

Karena saya dari dulu begini. Saya kan dari dulu berjuang memberikan keyakinan untuk warga sunda. “Eh kita ini bangsa ini terhormat, ajaran kita ini baik lho mengajarkan silih asah, silih asuh, silih asih. Mengajarkan kasih sayang. Hati kita nggak boleh kotor ke orang lain.” Masih banyak lagi.

Saya kan Islam, saya mengatakan dengan menjadi Sunda yang baik, maka kita menjadi Islam yang baik. Nah ini yang menjadi laporan saya ke Polda. Dilaporkan penistaan agama, saya nggak tahu jenis penistaannya yang mana.

Saya juga pernah ngomong, saya bertemu dengan tukang sampah. Mengapa mereka kok senang banget jadi tukang sampah? Ternyata mereka bekerja dengan ikhlas, saat bekerja iklas, sampah itu menjadi harum. Karena Allah ada di situ, nah tapi saya dilaporkan juga ke polisi.

Saya juga pernah bilang, kita ini beragama terlalu formal. Solatnya formal, puasanya formal tapi substantifnya nggak terkejar. Padahal Allah itu bukan hanya ingin diformalkan, Allah itu harus dicumbuin dengan cinta kasih. Itu juga dilaporkan karena dianggap melecehkan Allah.

Kalau dilaporkan ya sudah lah ini bagian dari risiko karena konsistensi saya menyampaikan sampurasun. Padahal itu sejak tahun 2003 kan sudah popular. Baju ikat juga. Banyak yang mengkafirkan, saya sudah terbiasa. Padahal sampurasun itu salam kemulian. Saya membawa itu ke Amerika dan Malaysia. Saya sengaja untuk mempopulerkan, sama dengan “horas” di Medan dan Bali ada “om swastiastu”. Saya ingin sampurasun sejajar.

Saya ingin dong presiden juga ucapkan salam sampurasun ke kancah internasional.

Apa yang membedakan konsep kepemimpinan Anda dibanding Ahok atau juga Ridwan Kamil?

Pertama, yang lain kan memimpin kota. Memimpin masyarakat perkotaan yang rata-rata sekolah. Insfrastruktur sudah ada. Tapi saya kan memimpin kota dan desa yang daerah yang nggak punya jalan. Ada daerah yang di balik hutan, gunung. Saya kemarin membuka jalan, menyelamatkan penduduk yang jumlahnya hanya 150 orang dan saya menghabiskan Rp4 miliar untuk membuka isolasi mereka.

Mereka punya sekolah yang muridnya 50 orang, dari kelas 1-6. Kelas 7 muridnya 7 orang. Dan saya membuat sekolah itu.

Saya juga pernah membuka Kampung Cikempung yang penduduknya 170, dan menghabiskan Rp7 miliar. Saya buka desa Sukamukti, itu satu desa penduduknya 1500 orang. Estimasi biaya yang diperluka Rp15 miliar untuk 1 desa. Saya buka kecamatan Sukasari yang penduduknya 40 ribu jiwa, menghabiskan uang Rp250 miliar.

Saya bisa menembus itu semua. Artinya memang problem kabupaten itu berat sekali. Melewati sungai, sawah, gunung. Saya buka itu semua. Sehingga mempunyai akses transportasi darat.

Tapi juga saya tidak ketinggalan membangun kota sebagai pusat peradaban masyarakat sebagai akses interaksi. Saya bangun taman-taman kecil, bangunan kecil yang berarsitektur unik. Saya juga punya taman air mancur yang terbesar se-Indonesia. Itu saya yang merancang dan saya yang membuat, selesai Desember ini.

Saya punya museum digital yang pertama di Indonesia. Lalu lagi dirancang museum nusantara, dan masih dirancang museum dunia. Nanti ada Museum Sate Maranggi, ada Museum Padi, ada Museum Wayang Nusantara. Nanti saya ingin kabupaten ini mempunyai kelengkapan teknologi museum masa lalu dengan teknologi digital. Nanti syaa punya perpustakaan digital. Artinya bahwa saya bisa mengelola desa.

Apa yang mendorong kepemimpinan Anda seperti ini?

Pengalaman hidup. Saya lahir di desa, bapak saya pensiunan tentara, ibu saya tidak bisa baca tulis tapi bisa mengatur keluarga. Dia ajarkan saya jalan kaki mengambil rumput dan kayu bakar. Saya alami hidup menjadi kuli, kuli padi, tukang pukul bata merah, kuli kayu bakar, jualan rokok, dan layangan. Mungkin orang tidak punya pengalaman hidup itu, saya mengalaminya.

Waktu kuliah saya dagang bala-bala (bakwan), selesai kuliah dagang beras ke perusahaan. Dan itu jadi modal saya dalam berpolitik.

Saya juga memahami gejolak perburuhan, sehingga kalau ada masalah saya tangani dengan baik. Saya memahami petani, karena saya pernah jadi petani. Saya memahami tukang ojek, saya pernah jadi tukang ojek. Jadi kalau saya cerita sama mereka, saya bicara soal pengalaman hidup saya.

Komunikasi politik penting, bagaimana cara Anda melakukan komunikasi politik di Purwakarta?

Saya sebagai orang desa, saya kenal dengan wayang golek. Saya pernah jadi dalang wayang golek saat kecil. Jadi saya tahu betul caranya berkomunikasi. Memang yang jadi problem itu, banyak orang pintar, bisa nulis nggak bisa bicara, bisa bicara nggak bisa nulis, bisa ngomong di kampus nggak bisa ngomong di rakyat.

Yang nggak suka dengan ungkapan saya, selalu berujung pada laporan polisi. Bagi saya itu biasa dan dinamika. Pemimpin itu ungkapannya itu dicerna orang.

Bagaimana berkomunikasi dengan DPRD?

Bagi saya mudah. Saya 3 tahun di DPRD, teman-teman DPRD paling cepat bahas anggaran. Nggak pernah lambat. Saya nggak pernah ada batas, nggak formal kepartaian.

Tiga tahun lagi masa jabatan Anda habis, adakah hal yang mendesak harus diselesaikan di masa kepemimpinan Anda?

Karakter, ini sunda. Belum ada prototype. Jawa Barat sebagai sunda belum ada prototypenya.

Apakah Purwakarta mengembangkan smart city?

Saya sih tidak smart city yah. Saya kan daerah kabupaten, smart village. Kalau saya bahasanya “smart village goes to city”. Dari kampung menuju kota. Kampung yang lembut, segala fasilitas ada. Kalau di kota semua ada yah biasa. Kalau di kampung punya ambulance, pemadam kebakaran, jaringan internet, CCTV terpasang di setiap sudut. Jadi 2016 itu kampong-kampung di Purwakarta akan seperti itu. Tinggal 30 persen. Jelang akhir jabatan saya, semua mudah-mudahan tuntas di 2017.

2017, Pilkada Jawa Barat. Ada kabar Anda ikut dalam bursa calon gubernur. Apa yang sudah Anda siapkan?

Saya belum pasti maju. Nanti kita lihat saja. Berbuat baik saja. Belum ada pembicaraan di Partai Golkar.

Anda sudah merasa mampu pimpin provinsi?

Jadi gubernur lebih mudah daripada bupati. Saya kira setiap orang harus siap. Jadi gubernur juga uangnya lebih banyak, jadi bupati uangnya lebih sedikit.

Tapi publik mendukung lho?

Ah belum juga, saya ngak mau ge’er. Kalau kemudian dalam penataan Purwakarta dilihat, hasil itu hasil kerja keras.

Menurut Anda, apa yang masih kurang dari Jawa Barat?

Karakter. Coba Anda bayangkan masuk ke Jawa Tengah di perbatasan itu terasa. Bali apalagi. Coba masuk Jawa Barat, terasa nggak diperbatasan. Di bekasi, Karawang. Di sana sangat modern. Karakter itu membentuk identitas. Arsitekturnya apa? Jadi kalau masuk Jawa Barat, arsitekturnya sudah terlihat. Kayak masuk purwakarta ini kan sekarang sudah ada auranya.

Biografi singkat Dedi Mulyadi

Dedi Mulyadi merupakan sarjana hukum yang kahir di Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang, 11 April 1971 lalu. Dia anak bungsu dari sembilan bersaudara. Ayahnya, Sahlin Ahmad Suryana adalah seorang pensiunan Tentara Prajurit Kader yang dipensiunkan muda pada usia 28 tahun akibat terkena racun tentara Belanda.

Sementara ibunya, Karsiti adalah aktivis Palang Merah Indonesia. Ia adalah seorang politikus yang dalam usia muda (37 tahun) sudah menjabat sebagai Bupati Purwakarta. Dilantik pada tanggal 13 Maret 2008. Sebelum jadi Bupati, Dedi Mulyadi menjabat sebagai Wakil Bupati Purwakarta pada periode (2003-2008) bersama Lily Hambali Hasan. Pada Pilkada 2013, Dedi Mulyadi terpilih kembali menjadi Bupati Purwakarta untuk periode 2013-2018 berpasangan dengan Dadan Koswara.

Dedi Mulyadi menempuh masa SD hingga SMA di kota kelahirannya, Subang. Mulai dari SD Subakti (1984), SMP Kalijati (1987), dan SMA Negeri Purwadadi (1990). Selanjutnya pendidikan tingginya diselesaikan di Sekolah Tinggi Hukum Purnawarman Purwakarta dengan meraih gelar Sarjana Hukum (1999).

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI