Dharsono Hartono: Menjaga Lingkungan Bisa Jadi Bisnis Menjanjikan

Senin, 07 Desember 2015 | 07:00 WIB
Dharsono Hartono: Menjaga Lingkungan Bisa Jadi Bisnis Menjanjikan
Dharsono Hartono. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pertemuan perubahan iklim masih berlangsung pekan ini di Paris, Prancis. Pertemuan yang digelar Perserikatan Bangsa-Basngsa (PBB) itu dinilai sangat penting.

Bahkan kebanyakan pakar lingkungan dunia, termasuk Sekertaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon menyebutkan pertemuan COP21 itu harus ‘menghasilkan’ keputusan dan komitmen negara-negara berkembang, dan maju menurunkan emisi karbon. Agar perubahan iklim bisa dihindari.

Bencana topan, cuaca ekstrim, sampai kemarau berkepanjangan adalah dampak perubahan iklim. Tak terhitung manusia yang tewas karena itu semua. Di Indonesia, el nino menjadi dampak nyata dan paling terasa akibat perubahan iklim. Lahan gambut dan hutan Kalimantan dan Sumatera mudah terbakar dan dibakar. Warga terdampak banyak yang tewas, lainnya menderika gangguan kesehatan ekstrim.

Di balik peristiwa itu, ada Dharsono Hartono yang melihat ada potensi bisnis untuk menyelamatkan lingkungan. Dia mendirikan PT Rimba Makmur Utama, sebuah perusahaan yang bertujuan untuk mengkonservasi dan restorasi lahan gambut. Perusahaan ini mencari pihak yang peduli dengan alam dengan ‘membeli’ karbon.

Dharsono yang juga Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) bidang Sustainable Forestry, Conservation, and Climate ini mengatakan menjaga lingkungan juga bisa menguntungkan. “Ini proyek idealis, tapi ini bisnis masa depan yang menguntungkan,” kata Dharsono.

Bisnis lahannya ini diterapkan dengan ‘ramah’. Dia ingin membuktikan berbisnis lahan tidak selalu identik mengancam warga di sekitar kawasan hutan.

“Saya bilang ke masyarakat, saya kan punya tujuan menjaga hutan dan menjadikan ini bisnis. Bisa dapat untung kalau perusahaan dan masyarakat bisa percaya. Kalau hutan ditebang, kan saya rugi,” catat mantan karyawan lembaga keuangan internasional JP Morgan ini.

Seperti apa bisnis ‘konservasi dan restorasi hutan’ yang dijalankan Dharsono? Berapa keuntungan materi bisnis ini?

Berikut wawancara suara.com dengan Dharsono di apartemen pribadinya di kawasan Jakarta Pusat pekan lalu:

Bisa Anda jelaskan bagaimana awal Anda berkecimpung di perusahaan konservasi hutan?

Kalau kami, PT RMU ini mulai beraktivitas di kegiatan ini tahun 2007 setelah ada konferensi perubahan iklim di Bali atau COP 13.

Cikal bakalnya perusahaan restorasi dan konservasi hutan ini dimulai dari tahun 2008 atau 2009. Itu sudah ada. Perusahaan saya sejak itu sudah mengajukan izin. Namanya izin pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi eksistem. Itu sebenarnya dimulai dari Yayasan Burung ingin mengkonservasikan burung-burung di hutan produksi. Di mana hutan produksi itu ditebang.

Kalau hutan konservasi saat itu berangkat dari banyak sekali biodefersitas atau keanekaragaman hayati di dunia di hutan produksi. Tapi banyak hutan produksi kita ini dikonservasi jadi sawit. Sehingga misi perusahaan saya ini ingin memertahankan. Itu cikal bakal restorasi ekosistem.

Apakah sebelumnya Anda sudah berkecimpung di sektor lingkungan sebagai aktivis atau apapun?

Latarbelakang saya lebih ke bisnis. Saya pernah kerja di Amerika Serikat selama 6 tahun, salah satunya di lembaga keuangan Amerika JP Morgan. Ketika pulang ke Indonesia, saya bertemu teman kuliah. Namanya Rezal Kusumaatmadja, putra dari Menteri Lingkungan Hidup era Soeharto tahun 1993-1998, Sarwono Kusumaatmadja. Dia punya ide konservasi dan menjaga hutan itu bisa menjadi bisnis. Dan itu terbukti dari hasil konvensi di Bali tahun 2007.

Waktu itu ada istilah REDD (Reducing emissions from deforestation and forest degradation). Waktu itu bunyinya, kalau apabila ada inisiatif bisa menurunkan emisi dari deforestasi dan degredasi hutan itu harus bisa dikompensasikan. Nah ada dua sumber kompensasi itu. Satu, itu dari segi pemerintah G to G, atau inisiatif perusahaan atau swasta. Dalam hal ini muncul istilah Carbon Trading atau perdagangan karbon. Selain itu ada istilah carbon credit. Carbon adalah unit penjulannya atau komoditasnya.

Saya melihat ini satu potensi, karena cepat atau labat lingkungan itu bisa jadi suatu aset dan diberikan nilai.

Apa yang dilakukan perusahaan Anda?

Kami melihat, kebetulan peraturan REDD baru keluar tahun 2008. Jadi perusahaan kami memohon area di Kalimantan tengah. Waktu itu kami melihat tahun 2007, lahan gambut itu strategis dan ada risikonya juga. Lahan gambut memiliki nilai karbon yang sangat tinggi. Tapi ini masih diperdebatkan sebenarnya.

Sedikit saya jelaskan soal lahan gambut. Lahan yang bukan gambut ditumbuhi pohon dan ranting. Beda dengan lahan hambut, di atas lahan dan di bawah lahan terdapat nilai karbon atau mengandung karbon. Bio massa kayu yang sudah mati tertimbun itu yang berisiko tinggi. Jadi kalau saya bisa bilang, gambut itu batubara muda. Kami sudah melihat itu suatu potensi.

Waktu kebakaran tahun 1997-1998 itu parah sekali. Karena pembukaan lambut di Kalimantan tengah atau yang biasa dikatakan lahan sejuta hektar itu. Nah kami sudah memprediksi lahan gambut itu harus bisa diselamatkan.

Cuma 8 tahun lalu orang melihat potensinya, tidak seperti sekarang. Perusahaan kami yang pertama kali melihat potensi itu. Makanya kami mengajukan areal seluas 200 ribu hektar di Kabupaten Katingan dan Kota Waringin Timur di Kalimantan tengah. Di situ proses pengajuan izin sejak tahun 2008, dan Oktober tahun 2013 izin kami baru dikeluarkan saat menteri lingkungan hidup dijabat Zulkifli Hasan. Waktu itu sebenarnya dikasih izin cuma 100 ribu hektar. Padahal kami minta 200 ribu. Dari 108,255 ribu hektar itu, kami sudah bekerja sejak Januari 2014.

Mengapa lama sekali izin itu dikeluarkan sejak diajukan?

Banyak alasan-alasan. Karena mungkin ketidakmengertian pemerintah tentang regulasi. Kami juga melihat proses birokrasi dari daerah ke pusat sangat buruk saat itu. Tapi saat itu project kami dikunjungi oleh Harrison Ford. Sesudah kunjungan itu, izin kami ditandatangani. Karena kebetulan dia juga menanyakan itu ke Pak Zulkifli juga. Berkasnya di Pak Zulkifli sudah setahun.

Bagaimana keadaan lahan yang Anda urus saat itu?

Dari 100 ribu hektar itu hampir 90 persennya gambut. Ada kondisinya masih bagus dan sudah terbuka. Dari 90 persen itu, sekitar 15 persen lahannya sudah terbuka. Sisanya masih bagus. Jadi kami melihat ini ada potensi harus dijaga dan direstorasi.

Tantangan apa yang Anda hadapi dalam mengurus lahan?

Yang paling berharga selama saya berkecimpung di sini, karena saya selalu berkomitmen dari awal saya ingin bisa tunjukkan bahwa kami harus menempatkan masyarakat sebagai partner yang sama dengan perusahaan. Dan itu susah. Harus ada keterbukaan dari perusahaan dan masyarakat.

Bagi saya, bisnis lahan jika tidak ada keterbukaan, kesetaraan dengan masyakat. Maka potensi konflik lebih besar. Makannya mending kita susah di depan. Sejak tahun 2008, kami sudah mulai sosialisasi ke masyarakat meski pun izin belum ada.

Jadi membuat kegiatan-kegiatan apa yang harus kami lakukan. PT RMU ini menempatkan masyarakat sebagai partner yang sama. Itu akan memberikan keuntungan yang akan datang dalam pengembangan lahan. Dengan keterlibatan masyarakat itu bisa mengkonservasi areal. Saya dan Rezal, langsung blusukan ke kampung-kampung. Saya kasih kartu nama yang ada nomor ponselnya. Silakkan telepon, tapi jangan minta sumbangan ke saya.

Area kami berjarak 1-5 km dari desa-desanya. Memang, kami tidak ada hubungannya dengan mereka. Cuma kan bukan berarti kami tidak bisa berbuat apa-apa tanpa mereka. Kami melihat walau pun di area konsesi tidak ada kampung, tapi bukan berati kami tidak berhubungan dengan masyarakat dan kampungnya. Kami berkomitmen memberikan akses masuk ke masyarakat ke areal kita. Cuma dengan catatan jangan ditebang pohonnya.

Anda juga melibatkan masyarakat dalam penanganan lahan itu?

Iya, caranya kita identifikasi mata pencarian seperti apa yang cocok untuk mereka. Misalnya getah, karet, rotan atau apa pun. Sehingga 5 tahun terakhir itu, setiap saya ke desa saya selalu tanya apa sih yang diperlukan. Walaupun mereka tahu kita tujuannya REDD dan carbon credit. Tapi kan saya ada misi sebagai swasta untuk menjaga lingkungan dan mendapatkan keuntungan.

Cuma saya ingin mendengar masukan ke masyarakat, mereka bilang ingin kepastian lahan. Karena kalau perusahaan masuk itu pastinya selalu dicurigai untuk mengambil lahan. Makanya kamu membuat pemetaan partisipatif desa. Jadi masyarakat desa dikumpulkan, sehingga proses kami akan komitmen apakah hasilnya itu kami akan akui masyrakat.

Selama 5 tahun terakhir kita sudah menyelesaikan hampir semua pengakuan lahan desa. Desanya ada sekitar 34 desa di luar sekitar hutan, bukan di dalam. Daerah hutan kami di antara 2 sungai. Desa yang kami cakup hanya 14 desa. Cuma bisa dibilang kami sudah menyelesaikan pemetaan partisipatif desa. Kalau ada tumpang tindih lahan, saya pasti ngalah. Karena itu psrtisipatif.

Makanya begitu saya ke masyarakat, saya sekali mengulangi kalau kita harus transparan. Apa yang saya bicarakan dengan masyarakat di desa, sama apa yang saya ceritakan ke Anda, bahkan menteri. Kita harus ubah paradikma jika perusahaan itu harus transpran.

Saya bilang ke masyarakat, saya kan punya tujuan menjaga hutan dan menjadikan ini bisnis. Bisa dapat untung kalau perusahaan dan masyarakat bisa percaya. Kalau hutan ditebang, kan saya rugi.

Apa jaminannya jika perusahaan Anda nantinya tidak menyalahgunakan lahan gambut ini?

Kami sudah tandatangani 13 MoU dengan desa-desa. MoUnya mengatakan kita akan kerjasama dengan masyarakat dan membuat program. Ini seperti kasus kebakaran hutan gambut, itu seharusnya persiapan untuk mencegahnya 9 bulan lalu. Kalau sudah terbakar percuma sudah tidak bisa lagi.

Misal kami tanyakan, kenapa mau bakar? Ternyata mereka mau berladang, ada yang memang mau berburu, atau juga ada yang iseng. Kami sudah edukasi itu 9 bulan sebelumnya. Kami membuat program-program mata pencarian. Misal ada yang kerjanya berladang dengan sistem bakar, jadi kita arahkan ke bertani saja. Lalu ada budi daya ikan.

Tahun ini perusahaan kami alokasi Rp1,3 miliar di 13 desa untuk program mata pencarian. Itu kita kerjasama dengan LSM. Sehingga itu bisa dianggap sebagai uang sumbangan yang dialokasikan ke program itu. Cuma setiap desa harus punya entitas. Kita siapkan, bangun kapasitas desa. Setiap desa harus punya rekening dan harus ada representatif dari kaum muda dan perempuan. Jadi semua kita buat.

Di masyarakat itu biasanya mempunyai masalah di akses pasar, keuangan, dan kapasitas. Misal kita pernah latih masyarakat membuat keranjang di Kota Waringin Timur. Awalnya kita latih dan penguatan kapasitas. Akhirnya sekarang sudah bisa mengirimkan 1 kontener ke Inggris.

Bagaimana bentuk bisnis konservasi dan restorasi hutan yang Anda jalankan?

Project kami itu dalam tahap validasi, namanya pasar karbon sukarela. Jadi perusahaan kami keluarkan sertifikat. Jadi yang dijual itu servis menjaga dan konservasi hutan. Di mana itu disertifikatkan sehingga bisa dikontifikasikan menjadi karbon kredit. Jadi prosesnya panjang, proposalnya sampai 100 halaman. Metologinya harus bisa terbukti secara ilmiah.

Bisa Anda jelaskan lebih detil?

Asumsinya begini. Di areal 200 ribu hektar ini kalau tanpa dikelola PT RMU, 20 tahun dari sekarang ini seperti apa? Kalau nggak dibuka dan dibakar, emisi karbon yang dikeluarkan itu seberapa? Itu dibuat dulu sekenarionya. Misalnya, dengan adanya intervensi PT RMU bisa nggak emisi setelah 20 tahun diselamatkan. Kalau bisa, maka dikasih kredit. Itu lah yang namanya karbon kredit. Itu lah yang kami jual tiap tahun.

Siapa pembelinya?

Pembelinya sampai saat ini ada di pasar sukarela, dan tidak diharuskan. Tapi mudah-mudahan dalam pertemuan perubahan iklim di Paris ini ada persetujuan global. Saat ini yang bisa beli carbon credit seperti Google, microsoft, dan bagian dari CSR dia.

Siapakah yang menentukan harga karbon itu?

Si penjual dan si pembeli. Seperti beli barang aja. Jadi pertonnya berapa. Pasarannya harga karbon 5-10 dolar perton.

Bagaimana skema pembayarannya?

Tergantung. Bisa tiap tahun. Misal tahun ini areal saya bisa menurunkan emisi 3 juta ton. Keperluan di perusahaan ingin membeli 100 ribu ton. Tinggal tentukan harga. Justru dengan pemasukan seperti ini, perusahaan harus transparan dan untung.

Selama berdiri, sudah berapa karbon yang Anda jual?

Selama 7 tahun ini kami keluar dana terus. Belum ada penjualannya. Belum ada untung. Untung, kalau kita sudah menjual kabon kreditnya. Prosesnya, saya belum dapat sertifikat untuk penjualannya.

Siapa yang mengeluarkan sertifikat itu?

Ada, VCS atau Verified Carbon Standard. Jadi standar internasional. Itu bisa dijual belikan di pasar. Ada registernya. Metode perhitungan penjualan karbon akan disiapkan, makanya itu tengah divalidasi.

Di Indonesia ada berapa perusahaan seperti ini?

Ada beberapa. Ada yang sudah jalan, salah satunya PT Rimba Raya Conservation. Itu sudah jual kreditnya. Tapi area kami termasuk yang paling besar di dunia untuk jumlah kredit yang dibayarkan.

Berapa potensi total kredit karbon di Indonesia?

Wah nggak bisa jawab saya. Tapi kan masalah seperti ini harus terbukti dulu. Bisnis ini belum banyak yang lirik karena belum terbukti ada pembelinya siapa. Tapi bisnis ini bisa mencegah potensi kebakaran, karena ini di lahan gambut.

Berapa lama izin pengelolaan hutan Anda?

60 tahun. Jadi anak cucu saya bisa ikut mengelolanya juga.

Anda belum mendapatkan keuntungan, tapi sudah berapa modal yang ada keluarkan untuk bisnis ini?

Banyak sekali. Untuk urus izinnya saja kami harus stor Rp16,5 miliar secara legal. Ini pendapatan negara bukan pajak. Sampai sekarang, bisa dihitung sekitar Rp50 miliar, sudah saya keluarkan.

Kalau belum dapat untung, bagaimana nasib karyawan Anda?

Kan jalan terus. Ada pakai uang sendiri, pinjaman juga. Nggak ada dari donor dan CSR. Kita belum jualan soalnya. Hasil kebun dan usaha masyarakat, itu untuk mereka. Kami nggak ambil untung.

Lalu kapan Anda sudah bisa jualan?

Mudah-mudahan tahun depan sudah jualan sih. Karena skema perhitungan sudah ada. Ini bisnis ada idealismenya. Karena nggak ada yang mau kerjakan, karena untung ruginya ini belum tahu. Uang Anda bisa hilang.

Bisnis ini belum ketahuan untung ruginya dari sisi pendapatan uang, mengapa Anda terus menjalankanya?

Selama perjalanan saya, ini potensi bisnis yang jangka panjangnya baik. Cara pengelolaan lahannya yang luar biasa. Harus membangun social capital dulu. Karena kita bisnis lahan ini lama sekali 60 tahun. Kalau social capitalnya nggak kuat, konfliknya akan keluar. Dan uang keluar terus, konflik bayar dan seterusnya.

Cara pengelolaan kami itu sebenarnya bisa menjadi mainstream, karena memberikan kepastian lahan yang lebih baik. Kepastian social, risk rendah. Makanya hrus ada transpransi, leadership, dan blusukan ke daerah. Saya sebagai presiden direktur dan direktur sama-sama blusukan ke kampong. Saya tetap menjalankan selama 7 taun ini karena melihat harapan dari masyarakat, itu yang mendorong saya.

Usaha ini belum menguntungkan, dari mana Anda mendapatkan uang?

Saya tidak ada bisnis lain selain ini. Saya menggunakan uang sendiri. Kebetulan istri saya juga memunyai bisnis. Saya juga mendapatkan pinjaman.

Dalam restorasi dan konservasi, apakah pohon yang akan ditanai?

Restorasi ini harus tanam tanaman lokal dan tanaman gambut. Nggak bisa ditanam akasia atau sawit.

Jaminan tidak menyalahgunakan lahan itu?

Jelas, itu sudah tercatat dalam perjanjian. Kita dapat surat keputusan izin dari menteri itu kan panjang, nggak boleh ini itu. Jadi buat apa disalahgunakan. Bahkan kami jaga lahan itu dari kebakaran. Saya melibatkan 200 warga dari 6 desa untuk patrol pencegahan kebakaran. Mereka dibayar 100 ribu perhari.

Apakah tantangan yang Anda hadapi untuk merintis bisnis konservasi ini?

Menurut saya birokrasi. Banyak peraturan yang tumpang tindih. Tapi pemerintah sekarang sudah lebih baik. Dulu perizinan masih sangat susah. Tapi sekarang sudah lebih terbuka.

Tantangan kedua, orang nggak ngerti lahan gambut. Ada yang bilang lahan gambut bisa dikonversikan, ada yang bilang juga tidak bisa. Sebenarnya kalau ada yang berinisiatif dan bisa memberikan benefit ke masyarakat, ngapain kita buka lahan gambut? Risiko membuka lahan gambut itu sangat amat besar. Makanya kami memilih untuk merestorasi dan mengkonservasi.

Indonesia ingin menurunkan karbon sampai 29 persen, peran industri ini penting. Anda juga bagian dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin), sejauhu mana pengusaha pada berkomitmen mendukung penurunan emisi karbon?

Sebenarnya banyak pengusaha sawit yang berinisiatif baik. Tapi untuk menurunkan 29 persen bisa saja, tapi selama gambutnya nggak terbakar saja.

Jadi dalam pertemuan COP di Paris ini harus ada komitmen yang mengikat. Karena isu ini sudah lama dijalankan. Buat Indonesia, harus menunjukkan ke dunia jika pengelolaan lahan gambut itu bisa dilakukan.

Biografi singkat Dharsono Hartono

Dharsono adalah Chief Executive Officer (CEO) sekaligus Presiden Direktur PT Rimba Makmur Utama. RMU menjalankan sebuah program Katingan Project. Pada tahun 1998, dia bekerja untuk multinational company seperti PricewaterhouseCoopers dan JP Morgan di New York. Berbekal keahlian dalam berbisnis, lelaki yang lahir tahun 1974 ini mendirikan PT Rimba Makmur Utama yang berfokus pada marketing and financing in the carbon market. Ayah satu anak ini merupakan lulusan Financial Engineering Cornell University bidang teknik industri (S1) dan Master Engineering.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI