Dharsono Hartono: Menjaga Lingkungan Bisa Jadi Bisnis Menjanjikan

Senin, 07 Desember 2015 | 07:00 WIB
Dharsono Hartono: Menjaga Lingkungan Bisa Jadi Bisnis Menjanjikan
Dharsono Hartono. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apa jaminannya jika perusahaan Anda nantinya tidak menyalahgunakan lahan gambut ini?

Kami sudah tandatangani 13 MoU dengan desa-desa. MoUnya mengatakan kita akan kerjasama dengan masyarakat dan membuat program. Ini seperti kasus kebakaran hutan gambut, itu seharusnya persiapan untuk mencegahnya 9 bulan lalu. Kalau sudah terbakar percuma sudah tidak bisa lagi.

Misal kami tanyakan, kenapa mau bakar? Ternyata mereka mau berladang, ada yang memang mau berburu, atau juga ada yang iseng. Kami sudah edukasi itu 9 bulan sebelumnya. Kami membuat program-program mata pencarian. Misal ada yang kerjanya berladang dengan sistem bakar, jadi kita arahkan ke bertani saja. Lalu ada budi daya ikan.

Tahun ini perusahaan kami alokasi Rp1,3 miliar di 13 desa untuk program mata pencarian. Itu kita kerjasama dengan LSM. Sehingga itu bisa dianggap sebagai uang sumbangan yang dialokasikan ke program itu. Cuma setiap desa harus punya entitas. Kita siapkan, bangun kapasitas desa. Setiap desa harus punya rekening dan harus ada representatif dari kaum muda dan perempuan. Jadi semua kita buat.

Di masyarakat itu biasanya mempunyai masalah di akses pasar, keuangan, dan kapasitas. Misal kita pernah latih masyarakat membuat keranjang di Kota Waringin Timur. Awalnya kita latih dan penguatan kapasitas. Akhirnya sekarang sudah bisa mengirimkan 1 kontener ke Inggris.

Bagaimana bentuk bisnis konservasi dan restorasi hutan yang Anda jalankan?

Project kami itu dalam tahap validasi, namanya pasar karbon sukarela. Jadi perusahaan kami keluarkan sertifikat. Jadi yang dijual itu servis menjaga dan konservasi hutan. Di mana itu disertifikatkan sehingga bisa dikontifikasikan menjadi karbon kredit. Jadi prosesnya panjang, proposalnya sampai 100 halaman. Metologinya harus bisa terbukti secara ilmiah.

Bisa Anda jelaskan lebih detil?

Asumsinya begini. Di areal 200 ribu hektar ini kalau tanpa dikelola PT RMU, 20 tahun dari sekarang ini seperti apa? Kalau nggak dibuka dan dibakar, emisi karbon yang dikeluarkan itu seberapa? Itu dibuat dulu sekenarionya. Misalnya, dengan adanya intervensi PT RMU bisa nggak emisi setelah 20 tahun diselamatkan. Kalau bisa, maka dikasih kredit. Itu lah yang namanya karbon kredit. Itu lah yang kami jual tiap tahun.

Siapa pembelinya?

Pembelinya sampai saat ini ada di pasar sukarela, dan tidak diharuskan. Tapi mudah-mudahan dalam pertemuan perubahan iklim di Paris ini ada persetujuan global. Saat ini yang bisa beli carbon credit seperti Google, microsoft, dan bagian dari CSR dia.

Siapakah yang menentukan harga karbon itu?

Si penjual dan si pembeli. Seperti beli barang aja. Jadi pertonnya berapa. Pasarannya harga karbon 5-10 dolar perton.

Bagaimana skema pembayarannya?

Tergantung. Bisa tiap tahun. Misal tahun ini areal saya bisa menurunkan emisi 3 juta ton. Keperluan di perusahaan ingin membeli 100 ribu ton. Tinggal tentukan harga. Justru dengan pemasukan seperti ini, perusahaan harus transparan dan untung.

Selama berdiri, sudah berapa karbon yang Anda jual?

Selama 7 tahun ini kami keluar dana terus. Belum ada penjualannya. Belum ada untung. Untung, kalau kita sudah menjual kabon kreditnya. Prosesnya, saya belum dapat sertifikat untuk penjualannya.

Siapa yang mengeluarkan sertifikat itu?

Ada, VCS atau Verified Carbon Standard. Jadi standar internasional. Itu bisa dijual belikan di pasar. Ada registernya. Metode perhitungan penjualan karbon akan disiapkan, makanya itu tengah divalidasi.

Di Indonesia ada berapa perusahaan seperti ini?

Ada beberapa. Ada yang sudah jalan, salah satunya PT Rimba Raya Conservation. Itu sudah jual kreditnya. Tapi area kami termasuk yang paling besar di dunia untuk jumlah kredit yang dibayarkan.

Berapa potensi total kredit karbon di Indonesia?

Wah nggak bisa jawab saya. Tapi kan masalah seperti ini harus terbukti dulu. Bisnis ini belum banyak yang lirik karena belum terbukti ada pembelinya siapa. Tapi bisnis ini bisa mencegah potensi kebakaran, karena ini di lahan gambut.

Berapa lama izin pengelolaan hutan Anda?

60 tahun. Jadi anak cucu saya bisa ikut mengelolanya juga.

Anda belum mendapatkan keuntungan, tapi sudah berapa modal yang ada keluarkan untuk bisnis ini?

Banyak sekali. Untuk urus izinnya saja kami harus stor Rp16,5 miliar secara legal. Ini pendapatan negara bukan pajak. Sampai sekarang, bisa dihitung sekitar Rp50 miliar, sudah saya keluarkan.

Kalau belum dapat untung, bagaimana nasib karyawan Anda?

Kan jalan terus. Ada pakai uang sendiri, pinjaman juga. Nggak ada dari donor dan CSR. Kita belum jualan soalnya. Hasil kebun dan usaha masyarakat, itu untuk mereka. Kami nggak ambil untung.

Lalu kapan Anda sudah bisa jualan?

Mudah-mudahan tahun depan sudah jualan sih. Karena skema perhitungan sudah ada. Ini bisnis ada idealismenya. Karena nggak ada yang mau kerjakan, karena untung ruginya ini belum tahu. Uang Anda bisa hilang.

Bisnis ini belum ketahuan untung ruginya dari sisi pendapatan uang, mengapa Anda terus menjalankanya?

Selama perjalanan saya, ini potensi bisnis yang jangka panjangnya baik. Cara pengelolaan lahannya yang luar biasa. Harus membangun social capital dulu. Karena kita bisnis lahan ini lama sekali 60 tahun. Kalau social capitalnya nggak kuat, konfliknya akan keluar. Dan uang keluar terus, konflik bayar dan seterusnya.

Cara pengelolaan kami itu sebenarnya bisa menjadi mainstream, karena memberikan kepastian lahan yang lebih baik. Kepastian social, risk rendah. Makanya hrus ada transpransi, leadership, dan blusukan ke daerah. Saya sebagai presiden direktur dan direktur sama-sama blusukan ke kampong. Saya tetap menjalankan selama 7 taun ini karena melihat harapan dari masyarakat, itu yang mendorong saya.

Usaha ini belum menguntungkan, dari mana Anda mendapatkan uang?

Saya tidak ada bisnis lain selain ini. Saya menggunakan uang sendiri. Kebetulan istri saya juga memunyai bisnis. Saya juga mendapatkan pinjaman.

Dalam restorasi dan konservasi, apakah pohon yang akan ditanai?

Restorasi ini harus tanam tanaman lokal dan tanaman gambut. Nggak bisa ditanam akasia atau sawit.

Jaminan tidak menyalahgunakan lahan itu?

Jelas, itu sudah tercatat dalam perjanjian. Kita dapat surat keputusan izin dari menteri itu kan panjang, nggak boleh ini itu. Jadi buat apa disalahgunakan. Bahkan kami jaga lahan itu dari kebakaran. Saya melibatkan 200 warga dari 6 desa untuk patrol pencegahan kebakaran. Mereka dibayar 100 ribu perhari.

Apakah tantangan yang Anda hadapi untuk merintis bisnis konservasi ini?

Menurut saya birokrasi. Banyak peraturan yang tumpang tindih. Tapi pemerintah sekarang sudah lebih baik. Dulu perizinan masih sangat susah. Tapi sekarang sudah lebih terbuka.

Tantangan kedua, orang nggak ngerti lahan gambut. Ada yang bilang lahan gambut bisa dikonversikan, ada yang bilang juga tidak bisa. Sebenarnya kalau ada yang berinisiatif dan bisa memberikan benefit ke masyarakat, ngapain kita buka lahan gambut? Risiko membuka lahan gambut itu sangat amat besar. Makanya kami memilih untuk merestorasi dan mengkonservasi.

Indonesia ingin menurunkan karbon sampai 29 persen, peran industri ini penting. Anda juga bagian dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin), sejauhu mana pengusaha pada berkomitmen mendukung penurunan emisi karbon?

Sebenarnya banyak pengusaha sawit yang berinisiatif baik. Tapi untuk menurunkan 29 persen bisa saja, tapi selama gambutnya nggak terbakar saja.

Jadi dalam pertemuan COP di Paris ini harus ada komitmen yang mengikat. Karena isu ini sudah lama dijalankan. Buat Indonesia, harus menunjukkan ke dunia jika pengelolaan lahan gambut itu bisa dilakukan.

Biografi singkat Dharsono Hartono

Dharsono adalah Chief Executive Officer (CEO) sekaligus Presiden Direktur PT Rimba Makmur Utama. RMU menjalankan sebuah program Katingan Project. Pada tahun 1998, dia bekerja untuk multinational company seperti PricewaterhouseCoopers dan JP Morgan di New York. Berbekal keahlian dalam berbisnis, lelaki yang lahir tahun 1974 ini mendirikan PT Rimba Makmur Utama yang berfokus pada marketing and financing in the carbon market. Ayah satu anak ini merupakan lulusan Financial Engineering Cornell University bidang teknik industri (S1) dan Master Engineering.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI