Syamsuddin Haris: DPR Terpuruk, Jokowi Kesepian

Senin, 30 November 2015 | 07:00 WIB
Syamsuddin Haris: DPR Terpuruk, Jokowi Kesepian
Syamsuddin Haris. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Selama setahun DPR terbentuk, hanya merampungkan dan mengesahkan 3 undang-undang. Padahal janji awal DPR, mereka akan mengesahkan 22 UU pertahun.

Dari akhir 2014 setelah terpilih pasca Pemilihan Umum Presiden/Wakil Presiden dan Pemilu Legisllatif, DPR hanya merampungkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (5 Desember 2014), Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan PERPPU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU (17 Februari 2015) , dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi UU (17 Februari 2015). Sementara setelah itu sampai saat ini, DPR hanya gaduh-gaduh politik saja.

DPR saat ini diisi oleh kekuatan besar. Kekuatan kumpulan partai pemenang pemilu yang menamakan diri Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan partai-partai dari pendukung Prabowo Subianto yang kalah dalam pemilu (Koalisi Merah Putih). Di awal-awal terbentuknya DPR, mereka disibukan dengan perebutan kursi pimpinan dewan dan komisi.

Belum lagi heboh dua pimpinan DPR, Setya Novanto dan Fadli Zon yang bertemu dengan calon presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump. Pertemuan mereka dianggap tidak lazim sehigga desakan digantinya mereka dari kursi pimpinan DPR menguat.

Terakhir, ada skandal pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla terkait permintaan jatah saham PT Freeport Indonesia oleh Ketua DPR Seyta Novanto. Isu ini menyita perhatian pubik.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Profesor Syamsuddin Haris menilai kegaduhan itu menunjukan wajah DPR saat ini. Menurut dia, kualitas dan kredebilitas anggota DPR di era pascapemilu 2014 ini makin terbupuk. Terlebih, kasus skandal ‘papa minta saham’ Novanto membuka mata publik tentang wajah anggota DPR.

“Politik kita dan pemahaman terhadapnya mengalami pedangkalan. Sehingga seolah-olah partai politik itu tempat untuk mencari nafkah,” kata Haris.

Ditambah roda pemerintahan tidak efektif dan tidak berjalan seperti semestinya. ‘Permainan’ partai politik sangat terasa di kabinet Jokowi. Sehingga ini menghambat program-program da janji Jokowi.

“Banyak janji Jokowi yang tidak ditepati,” kata dia lagi.

Menurut Haris, keadaan politik Indonesia saat ini tidak terlepas dari politik masa lalu. Lebih dekatnya, masih dipengaruhi ‘dendam kusumat’ persaingan antara kubu Jokowi dan Prabowo di Pemilu 2014 lalu. Dia mengatakan jika persaingan dua kelompok politik besar itu tidak berakhir, Indonesia lambat laun akan hancur. Rakyat pun menjadi korban.

Apa yang harus dilakukan di tengah keterpurukan kehidupan politik Indonesia? Bagaimana pun langkah yang harus diambil untuk mengakhiri ‘dendam kusumat’ antar dua kubu ini?

Simak wawancara suara.com dengan Prof Haris di Kantor LIPI Jakarta pekan lalu:

Indonesia sudah menggelar 3 kali pemilihan langsung presiden dan legislatif. Reformasi juga terus berjalan sejak tahun 1998. Tapi mengapa kondisi politiknya masih sangat hancur?

Saya juga melihat parlemen tidak efektif, tidak bekerja sepenuhnya, dan pemerintahan juga tidak bekerja maksimal. Kehidupan politik yang kita alami ini tidak terlepas dari apa yang kita alami perpuluh tahun sebelumnya. Memang betul sekali sejak tahun 1998-1999 kita berhasil menumbangkan Soeharto dari kursi kekuasaan dan memasuki sistem demokrasi. Kemudian pemilu-pemilu yang lebih baik dan demokratis itu sudah dilaksanakan sampai 2014 sampai yang ke-4 kali. Pemilu presiden langsung dimulai 2004, pilkada langsung tahun 2005.

Jadi, di satu pihak demokrasi makin baik, pemilu makin baik. Tapi di pihak lain, pemimpin-pemimpin politik dan wakil rakyat di legislatif khususnya kok tidak kunjung lebih akuntabel dan tidak lebih baik.

Mengapa demikian?

Pertama kita terlampau lama dengan sistem otoriter. Bukan hanya di zaman Soeharto selama 32 tahun. Di zaman Soekarno sistem demokrasi terpimpin itu kan sistem otoriter mulai tahun 1959 sampai 1998. Kenapa disebut sebagai penyebab. Sistem otoriter itu memang membatasi partisipasti, membunuh setiap potensi kepemimpina yang tidak biasa dan bertentangan dengan Soeharto, pasti dihabisi. Ini berdampak luas.

Kedua, ketika soeharto sudah jatuh, pemimpin sipil, khususnya yang menjadi ketua partai politik atau ormas besar, dan massa luas bertemu. Saat itu ada Abdurrahman Wahid (GusDur), Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Sri Sultan Hamengkubuwono X bertemu dalam pertemuan Ciganjur di rumah GusDur. Mereka gagal menyepakati konsensus minimum mengenai pertanyaan “bangsa ini mau di bawa ke mana?”. Mereka gagal menyepakati hal yang signifikan, pondasi bagi reformasi pascasoeharto. Isi deklarasi itu kelewat lunak.

Kenapa mereka gagal membuat kesepakatan konsensus politik pascasoeharto? Karena tingkat saling curiga di antara mereka masih sangat tinggi. Khususnya antara megawati yang nasionalis dengan pemimpin berideologi Islam. Kenapa saling curiga? Itu lah yang ditinggalkan dalam sistem otoriter.

Meninggalkan saling curiga antara masyarakat yang tinggi. Supaya militer berkuasa dan bisa mengendalikan. Penjelasannya, misalnya muncul peristiwa Semanggi I, Semanggi II. Begitu mahasiswa berhadapan dengan senapan dan tentara, pemimpin sipil tidak bisa berbuat banyak. Karena memang tidak ada kesepakatan, apakah mahasiswa yang berhadapan tentara di jalanan itu adalah bagian dari skema menata ulang sistem politik pascasoeharto?

Artinya apakah tuntutan reformasi total dari mahasiswa itu dianggap oleh pemimpin politik? Ternyata tidak dianggap sampai sekarang. Memang tidak didukung oleh pemimpin sipil pascasoeharto.

Ketiga, fakta bahwa amandemen konstitusi di satu pihak berhasil, tapi di pihak lain itu tambal sulam. Dari 1999 sampai 2002. Di antaranya sebelum amandemen itu dilakukan ada kesepakatan politis di majelis supaya memperkuat sistem presidensil. Tapi di dalam hasil amandemen, tidak sesuai dengan kesepakatan awal. Sebagian kekuasaan presiden justru dipreteli.

Di sisi lain kekuasaan DPR makin di perluas. Lainnya misalnya, DPD yang dipilih langsung itu di sini nggak ada apa-apanya, tidak jelas ‘jenis kelaminnya’. Makanya sistem legislatif kita ini nggak jelas. Apakah monocamelar, dicamelar atau tricamelar. Kita tumpah tindih. Karena kekuasaan parlemen yang luas. Termasuk pengangkatan pejabat publik. Hampir semua pejabat publik harus diseleksi di dewan.

Ini anomali atau menyimpang dari sistem presidensil. Di mana-mana otorits atau wewenang pejabat publik di tangan presiden. Secara umum wewenang itu di presiden. Oleh sebab itu ini juga yang menyabkan pansel KPK yang sudah menghasilkan calon pemimpin KPK, tapi belum disentuh oleh dewan. Belum yang lain-lain.

Pokoknya saat ini presiden cuma jadi tukang pos saja. Mengantarkan surat keputusan presiden. Sementara namanya sudah ditentukan oleh dewan.. Entah itu lembaga negara maupun komisi negara.

Keempat, sulit dibantah jika Indonesia mengalami krisis kepemiminan. Kenapa? Karena sistem otoriter yang panjang itu juga.

Kelima, pendangkalan atas politik. Politik kita dan pemahaman terhadapnya mengalami pedangkalan. Sehingga partai politik itu tempat untuk mencari nafkah. Seharusnya hanya orang yang tidak butuh uang yang masuk ke politik. Esensi politik itu mencari kekuasaan untuk kepentingan kolektif atau untuk kebaikan bersama. Kalau sekarang politiknya untuk individu masing-masing.

Saat ini DPR mengalami pendangkalan. Kapan DPR di Indonesia bisa dikatakan kuat?

Saat tahun 1950-an itu sangat cukup kuat. Parpol menjadi tempat mengabdi dan memupuk nilai-nilai kebangsaan. Untuk membentuk identitas ke-Indonesiaan. Itu zaman Soekarno dan Hatta. Nah sekarang kan politik itu tempat untuk bancakan atau untuk mengambil uang negara.

Dari sisi manakah DPR tidak akuntabel?

Dari sisi tugas dan tanggung jawabnya sebagai dewan perwakilan rakyat. Tugas dewan itu ada 3, legislasi, budgeting dan pengawasan. Titik tolak untuk menilai dewan yah ketiga ini. Di amandemen, pusat fungsi dewan lebih pada legislasinya. Hitung saja dalam setahun ini sudah berapa produk undang-undang yang dihasilkan, kalau tak salah baru 3. Padahal targetnya 40 RUU yang disahkan. Ini bukan hanya sekarang. Dulu-dulu juga begitu. Nah ini artinya memang kinerjanya belum maksimal.

Apakah persaingan antar koalisi atau ‘dendam’ saat Pemilu 2014 masih tersisa?

Jelas masih ada dong. Salah satu faktor di balik kehidupan politik kita yang gaduh ini adalah tingkat saling percaya antara pemimpin sipil itu yang lemah. Saling curiganya masih tinggi. Ini tampak di balik hubungan KMP dan KIH setahun ini. Padahal setelah pemilu itu seharusnya berakhir semua. Kekuatan politik wajib mendukung yang menang.

Di era persaingan Megawati dan SBY, Taufik Kiemas yang menjadi penengah. Saat ini siapa tokoh yang bisa mendapatkan dua kubu ini?

Sekarang ini sudah sulit. Sekarang kan keadaan sudah baik, tapi hanya dipermukaan. Di bawahnya masih panas. Baik di permukaan itu kan hasil negosiasi politik dengan janji kompensasi. Kalau nggak yah sulit sendiri.

Tapi saat ini jumlah partai pendukung KIH di DPR sudah lebih besar dari KMP. Mengapa posisi KIH juga belum menampakkan lebih kuat? Sebutlah saat dua kali kasus Setya Novanto di DPR, dua kasus ini bergulir, tapi Novanto tak tersentuh. Mengapa?

Saya sih jawabannya sudah jelas. Penyebabnya Jokowi itu adalah presiden yang kesepian. Jokowi tidak didukung sepenuhnya oleh koalisi KIH. Apalagi sama oleh PDIP. Masing-masing itu, itu kan melihat-lihat apa untungnya buat gue? Gue dapat apa nih kalau membela Jokowi? Hitungannya masih demikian. Sehingga wajar saja kalau Anda mengataka KIH kok terkesan tidak kompak. Apalagi kompensasi bagi PAN di kabinet belum dikasih. PAN itu tidak mendukung Jokowi dengan cuma-cuma. Tidak ada makan siang gratis dalam politik.

PAN menunggu resufle kabinet jilid II nih dapat apa? Jokowi membutuhkan PAN karena dia terus digerogoti oleh koalisi pendukungnya. Di pihak lain PAN juga membutuuhkan bagian kekuasaan untuk masa depan mereka.

PAN ini kunci menutup kesepian Jokowi?

Saya membaca, sebetulnya bukan hanya PAN. Sebenarnya kalau nggak meledak kasusnya Novanto, saya menduga Jokowi juga membuka pintu bergabungnya Golkar. Jokowi berikan kursi di kabinet. Makanya pengalaman setahun Jokowi itu menunjukan dia diganggu oleh koalisi pendukungnya.

Anda masih ingat bagaimana alotnya Jokowi membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Indonesia kemarin. Juga alotnya membatalkan BG sebagai wakil kepala polisi. Tapi akhirnya jadi juga menjadi wakil dan sebenarnya menunda menjadi kepala.

Sekarang kasus Novanto sudah sepekan. Apa statement PDIP? Nggak ada. PDIP melihat kesempatan mengambil sikap dalam konteks kasus ini. Mestinya kalau Megawati dan PDIP membackup Jokowi, ada kesempatan pertama mereka harus dukung langkah pemerintahan. Dengan asumsi langkah Sudirman Said itu restu dari Jokowi. Lagi pula Mega secara tak langsung bisa konfirmasi ke Jokowi lewat seskab. Apakah sebelulnya sikap pemerintah soal ini.

Sekarang ini sudah terlanjur keadaannya, Menkopolhukam sudah keluarkan penyataan resmi pemerintah jika langkah Sudirman Said tidak ada restu Jokowi. Luhut membantah Sudirman, Jusuf Kalla membantah Luhut. Konyol sekali. Ini sangat tidak menguntungkan posisi pemerintah.

Apakah kasus beda pendapat pemerintah di kasus Novanto dan kasus-kasus lainnya, menandakan kepemimpinan Jokowi tidak tegas dan pemerintah tidak kompak?

Memang masalah untuk Jokowi. Dia harus jauh lebih tegas dan pastikan kabinet satu suara. Harus bisa pastikan itu. Dilemanya adalah, watak Jokowi tidak menghendaki itu atau tidak ada keinginan untuk tegas. Dia tidak ingin penyeragaman suara pemerintah, dia tidak mau.

Ini suatu yang negatif, tapi bagi Jokowi tidak. Ya biar saja beda-beda sedikit, begitu kata jokowi. Saya tidak tahu kenapa Jokowi begitu. Dia mungkin memberikan kesempatan ke pembantunya lebih inisiatif dan ingin beda dengan sebelumnya.

Saya dan pengamat politik lainnya pernah diundang ke Istana untuk makan siang. Kita samaikan masalah dia dalam komunikasi politiknya. Dia gagal mengartikulasi apa yang sedang dilakukan pemerintah dan apa yang akan dilakukan. Dengan kata lain, dia butuh juru bicara.

Tapi dia tidak sependapat. Dia hanya membentuk tim komunikasi presiden yang otoritasnya juga nggak jelas. Alasannya nggak tahu saya juga. Mungkin dia ingin menciri khas dirinya saja.

Sudah tidak menjadi rahasia umum jika DPR bermain proyek, bagaimana proyeksi DPR ke depan?

Masalah kita pada kualitas partai politik yang jeblok. Jadi inti masalah kita ini adalah kualitas yang memang yah jeblok, tidak berkualitas. Parpol kita ini kan ada yang ideologinya kebangsaan, nasionalis dan islam. Tapi ideologinya itu hanya tertulis di kertas saja. Dalam tingkah lakunya dan menciptakan kebijakan, itu tidak kelihatan perjuangannya yang berbasiskan pada ideologi masing-masing.

Jadi kualitas partai politik, dan berpulang pada kualitas politisinya yang mengisi DPR. Kualitas politisi kita masih pada level menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk meningkatkan status sosial, memperkaya diri, petantang pententeng, masih pada level itu. Belum pada level perjuangan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ada desakan kocok ulang pergantian piminan DPR. Menurut Anda cara ini efektif untuk mengubah keadaan parlemen yang tengah berantakan ini?

Belum tentu, kocok ulang itu bisa kembali menguatkan dendam politik antara KIH dan KMP. Sebab, finalisasi UU MD3 yang menghasilkan pimpinan dewan saat ini itu produk dari hasil Pilpres. Kekalahan Prabowo berdamak pada pengambilalihan parlemen dengan cara mengubah MD3 dari mestinya kepempinan otomais sesuai dengan hasil pemilu, sekarang otomatis dipilih.

Di mana-mana pimpinan parlemen itu sesuai hasil pemilu. Di Indonesia saja yang aneh.

Apakah solusi untuk menghindari situasi parlemen yang carut marut ini?

Sulit sekali saya menjawabnya.

Tapi kalau kasus yang dikemukakan Sudirman Said itu betul, Novanto harus legowo untuk turun. Musti ada tekanan dari Golkar, khususnya dari Aburizal Bakrie agar Novanto mundur. Kalau nggak mndur tingkat kepercayaan publik ke dewan akan makin jelek dan rendah. Untuk saat ini Ical memang lebih memilih sikap KMP, novanto akan dipertahannkan. Bagi saya, ini akan menjatuhkan kredibilitas dewan.

Novanto tidak mundur itu menguntungkan posisi pemerintahan Jokowi. Dengan catatan kasus pencatutuan itu betul. Simpatik publik akan jatuh ke pemerintah.

Biografi Syamsuddin Haris

Syamsuddin Haris adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI. Profesor Riset bidang perkembangan politik Indonesia dan doktor ilmu politik yang pernah menjabat sebagai Kepala P2P LIPI (2008-2014. Dia dilahirkan di Bima (NTB) pada 9 Oktober 1957.

Selain menjadi peneliti, lulusan FISIP Universitas Nasional (S-1) dan FISIP UI (S-2 dan S-3) ini mengajar pada Program Pasca-Sarjana Ilmu Politik pada FISIP Unas. Dia juga aktif dalam organisasi profesi kalangan sarjana/ahli politik, yakni Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Haris menulis sejumlah buku, puluhan artikel di jurnal, dan lebih dari tiga ratus kolom opini di media cetak. Bukunya Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (LP3ES, 1995) memperoleh penghargaan sebagai Buku Terbaik bidang ilmu-ilmu sosial dari Yayasan Buku Utama.

Sejak menjadi peneliti pada Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI pada 1985, Syamsuddin Haris memfokuskan perhatian, minat dan kajian dalam masalah pemilu, partai politik, parlemen, otonomi daerah, dan demokratisasi di Indonesia.

Beberapa pengalaman di antaranya adalah menjadi Koordinator Penelitian Wawasan Kebangsaan (1990-1995), Koordinator Penelitian Pemilu di Indonesia (1995-1998), Anggota Tim Penyusun UU Bidang Politik versi LIPI (1999-2000), Koordinator Penelitian Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah (2000-2001), Ketua Tim Penyusun Revisi UU Otonomi Daerah versi LIPI (2002-2003), Anggota Tim Ahli Revisi UU Otonomi Daerah Depdagri (2003-2004), Anggota Tim Ahli Penyusun RPP Partai Lokal Aceh (2006), dan terakhir, terlibat sebagai Tim Ahli Pokja Revisi Undang-Undang Bidang Politik yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri (2006-2007), Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Bidang Politik versi LIPI (2007), serta Anggota Tim Pakar Evaluasi Daerah Otonom Baru, Depdagri RI (2009-2010). Pada 2011 pernah menjadi anggota Tim Pakar Pokja Penyempurnaan UU Bidang Politik Kementerian Dalam Negeri RI; Koordinator penelitian “Pemilu, Demokrasi, dan Keindonesiaan”, bagian dari program Kajian Pemilu LIPI (2012-2014); Anggota Majelis Profesor Riset LIPI (sejak 2014); serta menjadi anggota Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Sosial dan Humaniora periode 2012-2014 dan 2015-2017.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI