Syamsuddin Haris: DPR Terpuruk, Jokowi Kesepian

Senin, 30 November 2015 | 07:00 WIB
Syamsuddin Haris: DPR Terpuruk, Jokowi Kesepian
Syamsuddin Haris. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Apakah persaingan antar koalisi atau ‘dendam’ saat Pemilu 2014 masih tersisa?

Jelas masih ada dong. Salah satu faktor di balik kehidupan politik kita yang gaduh ini adalah tingkat saling percaya antara pemimpin sipil itu yang lemah. Saling curiganya masih tinggi. Ini tampak di balik hubungan KMP dan KIH setahun ini. Padahal setelah pemilu itu seharusnya berakhir semua. Kekuatan politik wajib mendukung yang menang.

Di era persaingan Megawati dan SBY, Taufik Kiemas yang menjadi penengah. Saat ini siapa tokoh yang bisa mendapatkan dua kubu ini?

Sekarang ini sudah sulit. Sekarang kan keadaan sudah baik, tapi hanya dipermukaan. Di bawahnya masih panas. Baik di permukaan itu kan hasil negosiasi politik dengan janji kompensasi. Kalau nggak yah sulit sendiri.

Tapi saat ini jumlah partai pendukung KIH di DPR sudah lebih besar dari KMP. Mengapa posisi KIH juga belum menampakkan lebih kuat? Sebutlah saat dua kali kasus Setya Novanto di DPR, dua kasus ini bergulir, tapi Novanto tak tersentuh. Mengapa?

Saya sih jawabannya sudah jelas. Penyebabnya Jokowi itu adalah presiden yang kesepian. Jokowi tidak didukung sepenuhnya oleh koalisi KIH. Apalagi sama oleh PDIP. Masing-masing itu, itu kan melihat-lihat apa untungnya buat gue? Gue dapat apa nih kalau membela Jokowi? Hitungannya masih demikian. Sehingga wajar saja kalau Anda mengataka KIH kok terkesan tidak kompak. Apalagi kompensasi bagi PAN di kabinet belum dikasih. PAN itu tidak mendukung Jokowi dengan cuma-cuma. Tidak ada makan siang gratis dalam politik.

PAN menunggu resufle kabinet jilid II nih dapat apa? Jokowi membutuhkan PAN karena dia terus digerogoti oleh koalisi pendukungnya. Di pihak lain PAN juga membutuuhkan bagian kekuasaan untuk masa depan mereka.

PAN ini kunci menutup kesepian Jokowi?

Saya membaca, sebetulnya bukan hanya PAN. Sebenarnya kalau nggak meledak kasusnya Novanto, saya menduga Jokowi juga membuka pintu bergabungnya Golkar. Jokowi berikan kursi di kabinet. Makanya pengalaman setahun Jokowi itu menunjukan dia diganggu oleh koalisi pendukungnya.

Anda masih ingat bagaimana alotnya Jokowi membatalkan pencalonan Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Indonesia kemarin. Juga alotnya membatalkan BG sebagai wakil kepala polisi. Tapi akhirnya jadi juga menjadi wakil dan sebenarnya menunda menjadi kepala.

Sekarang kasus Novanto sudah sepekan. Apa statement PDIP? Nggak ada. PDIP melihat kesempatan mengambil sikap dalam konteks kasus ini. Mestinya kalau Megawati dan PDIP membackup Jokowi, ada kesempatan pertama mereka harus dukung langkah pemerintahan. Dengan asumsi langkah Sudirman Said itu restu dari Jokowi. Lagi pula Mega secara tak langsung bisa konfirmasi ke Jokowi lewat seskab. Apakah sebelulnya sikap pemerintah soal ini.

Sekarang ini sudah terlanjur keadaannya, Menkopolhukam sudah keluarkan penyataan resmi pemerintah jika langkah Sudirman Said tidak ada restu Jokowi. Luhut membantah Sudirman, Jusuf Kalla membantah Luhut. Konyol sekali. Ini sangat tidak menguntungkan posisi pemerintah.

Apakah kasus beda pendapat pemerintah di kasus Novanto dan kasus-kasus lainnya, menandakan kepemimpinan Jokowi tidak tegas dan pemerintah tidak kompak?

Memang masalah untuk Jokowi. Dia harus jauh lebih tegas dan pastikan kabinet satu suara. Harus bisa pastikan itu. Dilemanya adalah, watak Jokowi tidak menghendaki itu atau tidak ada keinginan untuk tegas. Dia tidak ingin penyeragaman suara pemerintah, dia tidak mau.

Ini suatu yang negatif, tapi bagi Jokowi tidak. Ya biar saja beda-beda sedikit, begitu kata jokowi. Saya tidak tahu kenapa Jokowi begitu. Dia mungkin memberikan kesempatan ke pembantunya lebih inisiatif dan ingin beda dengan sebelumnya.

Saya dan pengamat politik lainnya pernah diundang ke Istana untuk makan siang. Kita samaikan masalah dia dalam komunikasi politiknya. Dia gagal mengartikulasi apa yang sedang dilakukan pemerintah dan apa yang akan dilakukan. Dengan kata lain, dia butuh juru bicara.

Tapi dia tidak sependapat. Dia hanya membentuk tim komunikasi presiden yang otoritasnya juga nggak jelas. Alasannya nggak tahu saya juga. Mungkin dia ingin menciri khas dirinya saja.

Sudah tidak menjadi rahasia umum jika DPR bermain proyek, bagaimana proyeksi DPR ke depan?

Masalah kita pada kualitas partai politik yang jeblok. Jadi inti masalah kita ini adalah kualitas yang memang yah jeblok, tidak berkualitas. Parpol kita ini kan ada yang ideologinya kebangsaan, nasionalis dan islam. Tapi ideologinya itu hanya tertulis di kertas saja. Dalam tingkah lakunya dan menciptakan kebijakan, itu tidak kelihatan perjuangannya yang berbasiskan pada ideologi masing-masing.

Jadi kualitas partai politik, dan berpulang pada kualitas politisinya yang mengisi DPR. Kualitas politisi kita masih pada level menjadikan parpol sebagai kendaraan untuk meningkatkan status sosial, memperkaya diri, petantang pententeng, masih pada level itu. Belum pada level perjuangan kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Ada desakan kocok ulang pergantian piminan DPR. Menurut Anda cara ini efektif untuk mengubah keadaan parlemen yang tengah berantakan ini?

Belum tentu, kocok ulang itu bisa kembali menguatkan dendam politik antara KIH dan KMP. Sebab, finalisasi UU MD3 yang menghasilkan pimpinan dewan saat ini itu produk dari hasil Pilpres. Kekalahan Prabowo berdamak pada pengambilalihan parlemen dengan cara mengubah MD3 dari mestinya kepempinan otomais sesuai dengan hasil pemilu, sekarang otomatis dipilih.

Di mana-mana pimpinan parlemen itu sesuai hasil pemilu. Di Indonesia saja yang aneh.

Apakah solusi untuk menghindari situasi parlemen yang carut marut ini?

Sulit sekali saya menjawabnya.

Tapi kalau kasus yang dikemukakan Sudirman Said itu betul, Novanto harus legowo untuk turun. Musti ada tekanan dari Golkar, khususnya dari Aburizal Bakrie agar Novanto mundur. Kalau nggak mndur tingkat kepercayaan publik ke dewan akan makin jelek dan rendah. Untuk saat ini Ical memang lebih memilih sikap KMP, novanto akan dipertahannkan. Bagi saya, ini akan menjatuhkan kredibilitas dewan.

Novanto tidak mundur itu menguntungkan posisi pemerintahan Jokowi. Dengan catatan kasus pencatutuan itu betul. Simpatik publik akan jatuh ke pemerintah.

Biografi Syamsuddin Haris

Syamsuddin Haris adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI. Profesor Riset bidang perkembangan politik Indonesia dan doktor ilmu politik yang pernah menjabat sebagai Kepala P2P LIPI (2008-2014. Dia dilahirkan di Bima (NTB) pada 9 Oktober 1957.

Selain menjadi peneliti, lulusan FISIP Universitas Nasional (S-1) dan FISIP UI (S-2 dan S-3) ini mengajar pada Program Pasca-Sarjana Ilmu Politik pada FISIP Unas. Dia juga aktif dalam organisasi profesi kalangan sarjana/ahli politik, yakni Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI). Haris menulis sejumlah buku, puluhan artikel di jurnal, dan lebih dari tiga ratus kolom opini di media cetak. Bukunya Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (LP3ES, 1995) memperoleh penghargaan sebagai Buku Terbaik bidang ilmu-ilmu sosial dari Yayasan Buku Utama.

Sejak menjadi peneliti pada Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI pada 1985, Syamsuddin Haris memfokuskan perhatian, minat dan kajian dalam masalah pemilu, partai politik, parlemen, otonomi daerah, dan demokratisasi di Indonesia.

Beberapa pengalaman di antaranya adalah menjadi Koordinator Penelitian Wawasan Kebangsaan (1990-1995), Koordinator Penelitian Pemilu di Indonesia (1995-1998), Anggota Tim Penyusun UU Bidang Politik versi LIPI (1999-2000), Koordinator Penelitian Paradigma Baru Hubungan Pusat-Daerah (2000-2001), Ketua Tim Penyusun Revisi UU Otonomi Daerah versi LIPI (2002-2003), Anggota Tim Ahli Revisi UU Otonomi Daerah Depdagri (2003-2004), Anggota Tim Ahli Penyusun RPP Partai Lokal Aceh (2006), dan terakhir, terlibat sebagai Tim Ahli Pokja Revisi Undang-Undang Bidang Politik yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri (2006-2007), Ketua Tim Penyusun Naskah Akademik RUU Bidang Politik versi LIPI (2007), serta Anggota Tim Pakar Evaluasi Daerah Otonom Baru, Depdagri RI (2009-2010). Pada 2011 pernah menjadi anggota Tim Pakar Pokja Penyempurnaan UU Bidang Politik Kementerian Dalam Negeri RI; Koordinator penelitian “Pemilu, Demokrasi, dan Keindonesiaan”, bagian dari program Kajian Pemilu LIPI (2012-2014); Anggota Majelis Profesor Riset LIPI (sejak 2014); serta menjadi anggota Dewan Riset Nasional (DRN) Komisi Sosial dan Humaniora periode 2012-2014 dan 2015-2017.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI