Suara.com - Kementerian Politik Hukum dan Keamanan mencatat ada 46 orang mantan ‘pejuang ISIS’ di Suria dan Irak dalam pengawasan intelijen. Mereka terus diikuti intel karena dianggap mengancam.
Ketakutan teror bom yang kemungkinan akan dilakukan mereka juga diwaspadai oleh Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Ansyaad Mbai. Menurutnya, Indonesia berpotensi besar ‘diserang’ teror bom seperti yang terjadi di Paris, Prancis pekan lalu.
Ansyaad mencatat ada belasan narapidana kasus terorisme yang akan bebas dalam beberapa waktu ke depan. Ditambah ada 145 WNI yang akan pulang dari Suriah dan Irak. Menurutnya, ini menjadi kombisasi membahayakan. Aksi mereka tinggal menunggu waktu.
"Jika pun tidak semua 145 orang itu pulang, misal hanya 20 persen saja sudah 30-an orang yang akan pulang. Sementara di Paris ini hanya 8 orang. Secara kuantitaf dan fakta, bukan analisis," jelas pakar dari Hendropriyono Strategic Consulting itu.
Ansyaad punya cara jitu untuk menangkal aksi terorisme mereka. Namun dia tak menyangkal jika cara itu kemungkinan akan menabrak koridor hak asasi manusia (HAM). Namun menurut dia tidak ada cara lain, sebab aksi teror ini dilakukan segelintir orang.
Sedahsyat apa ancaman teror ISIS di Indonesia? Bagaimana cara untuk menangkal itu semua? Dan adakah modus baru aksi teroris di Indonesia?
Berikut wawancara lengkap suara.com dengan Ansyaad Mbai di kawasan Jakarta Barat akhir pekan lalu:
Bom Paris membuka fakta baru jika ISIS sudah menyebar ke negara-negara selain Irak dan Suriah. Dikhawatirkan mereka meneror dunia, apakah ketakutan ini beralasan?
Itu benar sekali. Sekarang ISIS ini sudah punya jaringan atau sel di beberapa negara, termasuk di Indonesia. Rentetan peristiwa di Paris, Metro Jet di Mesir, peristiwa pemboman di Lebanon, Turki, itu adalah wake up call untuk semuanya. Jadi serangan di situ, ancaman untuk semua negara. Maka itu kita harus lebih peka melihat perkembangan internasional. Seluruh kepala negara internasional menyatakan bersatu perang terhadap teroris, termasuk di Indonesia. Apalagi Indonesia punya sejarah rentetan pengeboman cukup banyak.
Kedua, kalau Anda melihat teroris yang menyerang di Paris itu, komando dan orangnya yang sudah pulang dari Suriah dan Irak.
Di Indonesia bagaimana? Sampai sekarang ini sudah ada 145 orang jihadis internasional atau jihadis fighter yang akan pulang dari Suriah. Senin (pekan) lalu, ada 4 orang yang sudah kembali baru sampai. Sedang diperiksa oleh Satgas Antiteror kita. Itu apa artinya? Lihat di Paris, mereka juga beraksi setelah dari Suriah. Kemampuan mereka tidak lebih hebat dari jihadis Indonesia yang pulang.
Kenapa? Sampai hari ini sudah ada 302 jihadis dari Indonesia yang Suriah dan Irak. Data lain ada 700 orang, dan ada juga yang bilang 500 orang. Tapi saya kira itu dihitung semua orang yang berangkat. Tapi kami mencatat yang sebagai fighter di sana ada 302 orang. Ada 54 orang yang sudah di sana, termasuk bom bunuh diri, mereka di antaranya anak Imam Samudra, anak Abu Jibril. Mereka mati.
Artinya nekatnya ini tidak kurang dari yang di Paris, mereka mau mati. Kemampuan yang pulang serang tidak kurang, semangat bunuh diri, berangkat dari paham radikal yang sama.
Sebagian yang berangkat kan juga karena iming-iming uang?
Memang ada, tapi mereka di sana memang untuk cari hidup. Tapi fihgter ini bukan karena uang. Di Belgia ada pemilik bar yang menjual usahanya untuk ke sana, itu bukan karena uang. Orang Indonesia yang ke sana banyak yang menjual rumah, kebun salak untuk berangkat ke Suriah dan Irak. Artinya yang berangkat ini bukan orang miskin, mereka berkecukupan di Indonesia.
Mereka terus diserukan Abu Bakar Ba'asyir, Oman Abdurrahman dan Abu Tholut. Orang-orang ini akan keluar penjara bulan-bulan ini. Ada belasan. Anda bisa bayangkan tokoh-tokoh ini yang akan keluar, ditambah ada 145 orang yang kan pulang. Masih ada lagi kelompok yang terang-terangan bersenjata dan bom seperti Santoso di Poso. Santoso mendapatkan senjata dari Filipia Selatan, uangnya pasok dari ISIS miliaran rupiah.
Anda bisa lihat kaitan dan potensi itu. Saya menyimpulkan, potensi akan terjadinya serangan teroris seperti dii Paris, di Indonesia sama kayak negara lain. Bahkan lebih besar.
Jika pun tidak semua 145 orang itu pulang, misal hanya 20 persen saja sudah 30-an orang yang akan pulang. Sementara di Paris ini hanya 8 orang. Secara kuantitatif dan fakta, bukan analisis. Saya tidak setuju dengan orang yang menyebut serangan teroris kecil kemungkinan terjadi Indonesia. Kita harus waspada, jangan sampai bom sudah terjadi. Kita kaget.
Ini Ancaman di depan mata kita, ini mereka menunggu timing dan mencari alasan yang paling tepat untuk meledakan bom. Timing dan alasan yang tepat itu tidak harus terjadi Indonesia. Pengalaman kita 2 tahun lalu, kita menangkap sekelompok orang yang sudah lengkap dengan ransel dan bom siap ledak. Ditangkap di Benhil, itu sedang menuju ke Kedubes Myanmar.
Alasan dia meledakan adalah isu Rohingya. Bisa saja respon Prancis, Rusia, Inggris, terhadap ISIS. Nah bisa saja teroris menghajarnya di Indonesia dengan meledakan tempat atau lembaga yang berhubungan dengan negara-negara itu. Jadi saya harap kita jangan terperosok ke lubang yang sama, karena menganggap enteng. Ini potensi tidak kecil sama sekali.
Isu ISIS ini muncul saat Anda menjabat sebagai kepala BNPT. Sebenarnya mengapa saat itu pemerintah tidak tegas melarang warganya berangkat ke Suriah-Irak?
Saya orang pertama yang berteriak di media. Langkah kongkrit saat itu yang kita ambil harus ada tindakan tegas orang-orang yang berangkat ke sana. Bukan hanya dilarang, tapi cabut kewarganegaraannya. Undang-undang kita memperbolehkan itu. Warga negara Indonesia yang dengan sukarela mengatakan setia dengan negara lain atau bagian dari negara yang bersangkutan maka akan kehilangan kewarga negaraannya. Mengapa tidak kita lakukan? Kalau kita lakukan itu, akan mencegah. Ini tidak. Selama 2 tahun ini, mengalir WNI ke Suriah-Irak. Mereka fighter!
Sejak 3 tahun lalu internasional sudah mengingatkan itu, tapi tidak dilakukan di Indonesia. Di Asia, Indonesia yang paling banyak ke sana. Kita masih kurang bertindak, karena kita anggap enteng. Seolah-olah kita bersikap “yang penting jangan di Indonesia”. Ini terbukti, Dubes Irak di akhir-akhir saya menjabat sebagai kepala BNPT, datang ke Indonesia. Dia sering ditanya, Indonesia kan negara muslim terbesar, kenapa tega datang ke Irak dan membunuh sesama muslim. Kita sudah dianggap eksportir teroris. Ini memalukan.
Nanti ketika dunia menyatakan melawan ISIS, dan memborbardir habis-habisan. ISIS kan akan kalah, berantakan. Warga negara kita kalau nggak mati di sana, kan akan pulang. Nah bayangkan, mereka pulang dengan pengalaman perang begitu. Kita sudah pernah saat Afghanistan di serang, WNI yang jihad di sana pulang dan menjadi teroris. Apa kita sudah lupa?
Apa yang harus dilakukan pemerintah?
Ada dua hal. Pertama, harus ada action konkrit. Bagaimana mecegah orang ke sana dan bagaimana mencegah orang yang kembali tidak melakukan teror di sini. Kan sekarang ini jelas, orangnya ada dan jumlahnya ada. Tinggal apa yang ingin dilakukan.
Yang 4 orang ditangkap karena pulang dari Suriah dan Irak itu saya yakin akan dilepas. Karena polisi tidak mempunyai dasar hukum untuk menahan mereka lebih lama. Mereka cerita sudah tertipu dan menjual ini itu untuk ke Suriah. Apa kita percaya dengan cerita teroris? Apakah kita menggantungkan nasib bangsa ini dari belas kasihan teroris? Teroris tidak bisa dihentikan dengan kata-kata. Seharusnya tegakkan hukum dan perberat hukumannya.
Sekarang ini bagaimana ke-145 orang yang pulang dari Suriah dan kesebelas tokoh terpidana terorisme yang akan bebas penjara yang menganjurkan ratusan orang itu untuk berangkat ke Suriah, ini harus kita pastikan orang-orang ini tidak bisa berbuat apa-apa.
Ini artinya intelijen kita harus kuat. Karena kita banyak lembaga intelijen tapi belum bersinergi. Kalau mau ini kan fakta sudah terbentang dan kartu sudah di atas meja. Jadi kita bahas sama-sama gitu. Masing-masing porsinya apa.
Lembaga intelijen dari mana saja yang kurang bersinergi?
TNI, Polri, BIN, Badan Intelijen Strategis, Kejaksaan, Imigrasi, bahkan Kemendagri. Coba saja tanya masing-masing lembaga intelijen itu siapa yang dihadapi sebagai musuh? Pasti jawabannya beda, malah bisa kontraproduktif. Ini bahaya, bisa tabrakan di lapangan. Ini sering terjadi. Yang dianggap kooperatif di satu lembaga, malah ditangkap Satgas Antiteror.
Misalnya siapa yang ditangkap itu?
Saya tidak bisa lebih jauh, itu rahasia dapur.
Padahal kalau kita petakan, tokoh radikal, kelompok radikal, radikal teroris, radikal non teroris, itu bisa diurut. Mulai dari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Abu Bakar Ba’asyir, Abdulah Sungkar dan penerusnya. Jaringannya bisa diketahui. Jadi semua intelijen masing-masing lembaga harus focus. Data polri dan BNPT ini jelas dan real. Bahkan ada BAP-nya.
Dalam hal ini harus melibatkan DPR, tentukan dasar hukum apa yang diperlukan polisi, intelijen, TNI dan semua bisa bekerjasama.
Bukannya ada UU Terorisme?
Itu masih kurang. UU yang ada sekarang hanya memberikan kewenangan kepada aparat kita bertindak reaktif, bertindak setelah terjadi bom. Too late. Padahal dalam menangani terorisme kita harus proaktif. Contoh Prancis, dia mendeklarasi semua orang dari Suriah, Irak tahan dan tangkap.
Cara seperti itu melanggar HAM, bagaimana menurut Anda?
Itu lah pemaknaan melanggar HAM dan melindungi HAM itu salah satu kendala kita yang paling utama. Maksud saya harus ada keseimbangan dan kepentingan melindungi HAM dengan kepentingan keamanan. Kalau bicara HAM, jangan sepihak. Anda bicara pelanggaram HAM aparat pemerintah yang melindungi HAM bangsa Indonesia.
Ketika si teroris sebagai pelanggar HAM terberat di bumi ini, tidak pernah melihat orang melihat ini HAM. Bagaimana orang biacara HAM ketika Densus menghadapi orang yang memegang bom dan senjata di tangan. Bagaimana bicara HAM ketika Densus ini tembak teroris, sementara mereka banyak yang gugur. Seringnya aktivis HAM kebablasan.
Lihat saja, Amerika dan Prancis itu ‘rajanya’ HAM. Tapi ketika berhadapan dengan teroris ini, “jangan bicara HAM dulu deh, nanti begitu tertangkap dan dipenjara, baru bicara HAM”.
Tapi dalam operasi penangkapan, kita jangan bicara HAM, hanya focus ke bicara HAM-nya bangsa. Di Indonesia masih mending, polisi bertindak ada koridor hukum. Kalau nanti ini nggak mampu diatasi, tentara yang turun. Apa kita mau? Paling soft kita selama ini. Apakah mau kaya Prancis, main sikat.
Di Indonesia, banyak organisasi yang jelas-jelas radikal dipertahankan. Seperti HTI dan FPI. Sebab ini bibit jadi teroris. Anda lama jadi Kepala BNPT, sebenarnya bagaimana kebijakan pemerintah dalam mencegah mereka tidak benar-benar menjadi teroris?
Iya tinggal satu digit mereka jadi teroris. Pendekatannya harus dua arah. Pertama, tidak lewat penegakan hukum. Dan kedua, harus masuk ke akar masalah, yaitu pemikiran. Yaitu lewat jalan deradikalisasi.
Banyak pihak yang meragukan keberhasilan program deradikalisasi?
Belum ada deradikalisasi di dunia ini yang efektif. Tetapi itu harus dilakukan, karena tidak ada cara lain. Kalau nggak deradikalisasi, tangkap dan masuk penjara. Deradikalisasi butuh waktu lama, tidak sekali jadi. Tidak ada satu cara yang efektif untuk semua negara, masing-masing negara punya karakter.
Negara mana contohnya?
Arab Saudi dinilai paling top dalam program deradikalisasi. Dananya banyak. Pusat deradikalisasinya melebihi universitas. Dia punya lapangan olahraga, fasilitas, ada ahli psikologi, dan ahli lain. Hasilnya apa? Berapa ratus yang keluar? Berapa puluh yang ternyata diketahui kembali jadi komandan teroris di Afghanistan, Yaman? Kita juga nggak kurang dalam menjalankan deradikalisasi. Salah satunya Abu Thalib, sudah keluar. Dia jadi pelatih kembali di Aceh. Dulu kan dia dibina.
Mereka yang dideradikalisasi itu difasilitasi. Dibelikan modal usaha, bikin kedai kopi, bikin kerambah ikan, mau jual pulsa, buka bengkel, tapi hasilnya 50-50. Ada yang benar berhasil, ada yang nggak. Kita ini tidak kurang dalam program itu, tapi memang tidak terekspose.
Saat ini ada juga mantan teroris yang sudah S3. Kita modali sekolahnya. Lainnya adik Amrozi, Ali Fauzi Manzi sampai sekolah S2. Dibiayai oleh BNPT. Tapi bukan jaminan difasilitasi dana, lalu di teroris itu berhenti.
BNPT sudah berkali-kali mendatangkan mantan pendiri JI dari Mesir. Karena JI di Indonesia ini duplikat dari Mesir. Namanya Doktor Syech Najib Ibrahim. Dia 20 tahun dipenjara. Sekarang dia mendukung deradikalisasi. Dia melakukan al mubadarah atau penghentian sepihak dari diri sendiri untuk menghentikan permusuhan dari pemerintah. Dia pernah bertemu dengan Abu Bakar Ba’asyir dan Oman Abdurrahman di Nusa Kambangan. Dia kasih tahu, dulu begitu tapi itu keliru. Tapi itu nggak berhasil.
Berapa anggaran deradikalisasi?
Saat itu dana itu belum dianggarkan. Tapi setelah 2012 sudah ada. Saat ini dana deradikalisasi Rp100 miliar dalam setahun. Itu tidak cukup. 2013 saya diperintahkan oleh Wapres Boediono merancang blueprint menangkal radikalisme. Saya kumpulkan semua hasil penelitian dari berbagai lembaga. Dana yang saya ajukan Rp 200 miliar. Tapi itu tidak masuk di RKAKL, ini harus dicari di luar. Jadi ini tergantung kemauan kita.
Apakah langkah kongkrit yang paling realistis dilakukan untuk mencegah kemunculan bibit teroris di Indonesia?
Berdasarkan hasil penelitian yang paling utama, masjid. Masjid, bukan berarti kita menuduh masjid itu sebagai sumber radikal. Tapi kelompok radikal favoritnya adalah menguasi masjid untuk menyebarkan radikalisme. Ada hasil penelitian di Jakarta, kotbah jumat. Kan ada bulletin jumat, ternyata bulletin itu yang dibuat atau dikeluarkan kelompok radikal jumlahnya 4 kali lebih banyak yang dikeluarkan pihak masjid dan kementerian agama.
Buletin itu illegal?
Saya tidak tahu, kalau itu illegal masa tidak ada yang ditangkap. Berarti legal dong. Makanya ini yang saya katakana jika hukum kita ini masih terlalu lembek. Saya sendiri mengalami saat salat Jumat banyak yang bertemakan radikal, misal “indahnya hukum rajam”, “hukum potong tangan”. Bahkan di Menteng, hanya beberapa meter dari Istana juga begitu. Saya yakin 50 persen radikal. Ini di tengah kota. Jangan bicara di desa-desa. Nah ini harus kita apakan?
Itu pertanyaannya, harus diapakan mereka?
Kita sudah rumuskan saat itu, kita kuatkan takmir atau imam masjid. Takmir masjid harus orang moderat dan berani menolak orang radikal khotbah. Orang radikal ini datang karena punya modal. Mereka tawari jasa cleaning service gratis, lama-lama azan, lalu khotbah dan akhirnya atur jadwal di masjid itu. Itu terjadi. Imam masjid itu harus difasilitasi, tapi tidak semua masjid. Menurut kementerian agama, ada 800 ribu sampai 1 juta masjid di Jakarta.
Kementerian Agama punya Pembina masjid, tapi jumlahnya terbatas. Gajinya hanya Rp100-150 ribu perbulan, tergantung pendapatan majid. Mereka tamatan IAIN. Padahal orang ini kita harapkan jadi benteng keselamatan kita dari aspek agama. Sampai sekarang ini belum itu. Kalau itu bisa dilakukan, itu sangat nyata. Kita petakan masjid mana saja. Misal yang jalankan dewan masjid atau dari masyarakat sekitar masjid. Negara perlu hadir di masjid itu.
Darimana sumber dana untuk menambal kekurangan program deradikalisasi?
Selama ini dari inisiatif sendiri. Bahkan Densus sendiri yang mencari jalan, bagaimana fasilitasi orang ini biar nggak berbuat lagi? Itu bukan APBN. Ada sumbangan orang yang merasa simpati dan merasa ini melindungi kita.
Informasi menguat, jika ISIS bentukan Amerika. Apakah saat jadi Kepala BNPT, Anda menerima informasi ini? Bagaimana respon Anda?
Ada. Itu adalah kesenangan para pengamat dan politisi yang senang bermain-main dengan teori konspirasi. Kalau dilihat secara dangkal, ada benarnya.
Apakah ada pengaruhnya dengan kenyataan ISIS bentukan Amerika terkait pemberantasan teroris di Indonesia?
Saat itu yang menghambat untuk memberikan pencerahan kepada public. Dan yang senang dengan teori konspirasi itu bukan orang bodoh. Orang terpelajar itu. Tapi dia lihat terpotong-potong.
Apakah proses deradikalisasi BNPT sampai menjelaskan konspirasi itu?
Tidak. Tidak perlu menjelaskan itu, habis energi. Masing-masing punya pemahaman. Tidak cukup baca 1 buku. Perlu paham semua.
Apakah tantangan baru ancaman terorisme saat ini?
Dulu banyak aksi terror bom, sekarang kalau pun ada hanya yang tingkatnya kecil. Mengapa saya katakana ini wake up untuk Indonesia. Karena bom yang dipakai di terror Paris, adalah bom yang tidak terdeteksi oleh alat detector dan anjing pelacak. Mustinya di stadion itu begitu ketat, tapi lolos. Karena jenis bom itu TATP, Triacetone Triperoxide. Itu bisa didapat di sekitaran salon. Tidak bau bom itu.
Acetone itu kan bahan cutex atau pembersih kuku. Peroxidea, buat rambut. Tidak terdeteksi. Di bom Alam Sutra Tangerang persis pakai itu. Hanya kapasitasnya kecil. Di Paris itu kapasitasnya besar. Artinya mereka sudah bisa merakit itu, tinggal menambah kapasitas. Ini sangat bahaya. Saya menduga kasus peledakan Metro Jet di Mesir, pakai jenis bom yang sama. Tidak terdeteksi di bandara.
Bahan bom ini mudah didapatkan. Tinggal butuh pengetahuan kimia, berapa porsi perbandingan. Produk kecantikan bisa dijadikan bom. Ini tren baru aksi teror.
Biografi singkat Ansyaad Mbai
Ansyaad Mbai lahir di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada 2 Juni 1948. Di usianya yang ke 67 tahun ini dia sudah pension dari korp kepolisia sejak 2006 dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal. Pengetahuannya tentang terorisme di Indonesia sudah di luar kepala. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di Indonesia dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
Selama aktif di kepolisian, Ansyaad melang-melintang dengan banyak tugas yang dia emban. Di antaranya Kepala Polresta Pontianak (1991-1996), Kepala Direktorat Reserse Polda Jawa Tengah (1996-1999), Wakil Kepala Polda Jawa Tengah (1999), Direktur Reserse Umum Polri (1999-2000), Wakil Kepala Korps Reserse Polri (2000-2001), Asisten Intel Kapolri (2001), dan Kepala Polda Sumatera Utara (2002).
Di masa pensiunnya, Ansyaad masih berada ‘di belakang layar’ sebagai konsultan berbagai isu. Terutama terorisme. Saat ini Ansyaad bagian dari konsultan di Hendropriyono Strategic Consulting. Ansyaad pun tidak keberatan disebut sebagai pakar terorisme.