Ansyaad Mbai: "Wake Up Call" Teror ISIS di Indonesia

Senin, 23 November 2015 | 07:00 WIB
Ansyaad Mbai: "Wake Up Call" Teror ISIS di Indonesia
Ansyaad Mbai. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Lembaga intelijen dari mana saja yang kurang bersinergi?

TNI, Polri, BIN, Badan Intelijen Strategis, Kejaksaan, Imigrasi, bahkan Kemendagri. Coba saja tanya masing-masing lembaga intelijen itu siapa yang dihadapi sebagai musuh? Pasti jawabannya beda, malah bisa kontraproduktif. Ini bahaya, bisa tabrakan di lapangan. Ini sering terjadi. Yang dianggap kooperatif di satu lembaga, malah ditangkap Satgas Antiteror.

Misalnya siapa yang ditangkap itu?

Saya tidak bisa lebih jauh, itu rahasia dapur.

Padahal kalau kita petakan, tokoh radikal, kelompok radikal, radikal teroris, radikal non teroris, itu bisa diurut. Mulai dari Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, Abu Bakar Ba’asyir, Abdulah Sungkar dan penerusnya. Jaringannya bisa diketahui. Jadi semua intelijen masing-masing lembaga harus focus. Data polri dan BNPT ini jelas dan real. Bahkan ada BAP-nya.

Dalam hal ini harus melibatkan DPR, tentukan dasar hukum apa yang diperlukan polisi, intelijen, TNI dan semua bisa bekerjasama.

Bukannya ada UU Terorisme?

Itu masih kurang. UU yang ada sekarang hanya memberikan kewenangan kepada aparat kita bertindak reaktif, bertindak setelah terjadi bom. Too late. Padahal dalam menangani terorisme kita harus proaktif. Contoh Prancis, dia mendeklarasi semua orang dari Suriah, Irak tahan dan tangkap.

Cara seperti itu melanggar HAM, bagaimana menurut Anda?

Itu lah pemaknaan melanggar HAM dan melindungi HAM itu salah satu kendala kita yang paling utama. Maksud saya harus ada keseimbangan dan kepentingan melindungi HAM dengan kepentingan keamanan. Kalau bicara HAM, jangan sepihak. Anda bicara pelanggaram HAM aparat pemerintah yang melindungi HAM bangsa Indonesia.

Ketika si teroris sebagai pelanggar HAM terberat di bumi ini, tidak pernah melihat orang melihat ini HAM. Bagaimana orang biacara HAM ketika Densus menghadapi orang yang memegang bom dan senjata di tangan. Bagaimana bicara HAM ketika Densus ini tembak teroris, sementara mereka banyak yang gugur. Seringnya aktivis HAM kebablasan.

Lihat saja, Amerika dan Prancis itu ‘rajanya’ HAM. Tapi ketika berhadapan dengan teroris ini, “jangan bicara HAM dulu deh, nanti begitu tertangkap dan dipenjara, baru bicara HAM”.

Tapi dalam operasi penangkapan, kita jangan bicara HAM, hanya focus ke bicara HAM-nya bangsa. Di Indonesia masih mending, polisi bertindak ada koridor hukum. Kalau nanti ini nggak mampu diatasi, tentara yang turun. Apa kita mau? Paling soft kita selama ini. Apakah mau kaya Prancis, main sikat.

Di Indonesia, banyak organisasi yang jelas-jelas radikal dipertahankan. Seperti HTI dan FPI. Sebab ini bibit jadi teroris. Anda lama jadi Kepala BNPT, sebenarnya bagaimana kebijakan pemerintah dalam mencegah mereka tidak benar-benar menjadi teroris?

Iya tinggal satu digit mereka jadi teroris. Pendekatannya harus dua arah. Pertama, tidak lewat penegakan hukum. Dan kedua, harus masuk ke akar masalah, yaitu pemikiran. Yaitu lewat jalan deradikalisasi.

Banyak pihak yang meragukan keberhasilan program deradikalisasi?

Belum ada deradikalisasi di dunia ini yang efektif. Tetapi itu harus dilakukan, karena tidak ada cara lain. Kalau nggak deradikalisasi, tangkap dan masuk penjara. Deradikalisasi butuh waktu lama, tidak sekali jadi. Tidak ada satu cara yang efektif untuk semua negara, masing-masing negara punya karakter.

Negara mana contohnya?

Arab Saudi dinilai paling top dalam program deradikalisasi. Dananya banyak. Pusat deradikalisasinya melebihi universitas. Dia punya lapangan olahraga, fasilitas, ada ahli psikologi, dan ahli lain. Hasilnya apa? Berapa ratus yang keluar? Berapa puluh yang ternyata diketahui kembali jadi komandan teroris di Afghanistan, Yaman? Kita juga nggak kurang dalam menjalankan deradikalisasi. Salah satunya Abu Thalib, sudah keluar. Dia jadi pelatih kembali di Aceh. Dulu kan dia dibina.

Mereka yang dideradikalisasi itu difasilitasi. Dibelikan modal usaha, bikin kedai kopi, bikin kerambah ikan, mau jual pulsa, buka bengkel, tapi hasilnya 50-50. Ada yang benar berhasil, ada yang nggak. Kita ini tidak kurang dalam program itu, tapi memang tidak terekspose.

Saat ini ada juga mantan teroris yang sudah S3. Kita modali sekolahnya. Lainnya adik Amrozi, Ali Fauzi Manzi sampai sekolah S2. Dibiayai oleh BNPT. Tapi bukan jaminan difasilitasi dana, lalu di teroris itu berhenti.

BNPT sudah berkali-kali mendatangkan mantan pendiri JI dari Mesir. Karena JI di Indonesia ini duplikat dari Mesir. Namanya Doktor Syech Najib Ibrahim. Dia 20 tahun dipenjara. Sekarang dia mendukung deradikalisasi. Dia melakukan al mubadarah atau penghentian sepihak dari diri sendiri untuk menghentikan permusuhan dari pemerintah. Dia pernah bertemu dengan Abu Bakar Ba’asyir dan Oman Abdurrahman di Nusa Kambangan. Dia kasih tahu, dulu begitu tapi itu keliru. Tapi itu nggak berhasil.

Berapa anggaran deradikalisasi?

Saat itu dana itu belum dianggarkan. Tapi setelah 2012 sudah ada. Saat ini dana deradikalisasi Rp100 miliar dalam setahun. Itu tidak cukup. 2013 saya diperintahkan oleh Wapres Boediono merancang blueprint menangkal radikalisme. Saya kumpulkan semua hasil penelitian dari berbagai lembaga. Dana yang saya ajukan Rp 200 miliar. Tapi itu tidak masuk di RKAKL, ini harus dicari di luar. Jadi ini tergantung kemauan kita.

Apakah langkah kongkrit yang paling realistis dilakukan untuk mencegah kemunculan bibit teroris di Indonesia?

Berdasarkan hasil penelitian yang paling utama, masjid. Masjid, bukan berarti kita menuduh masjid itu sebagai sumber radikal. Tapi kelompok radikal favoritnya adalah menguasi masjid untuk menyebarkan radikalisme. Ada hasil penelitian di Jakarta, kotbah jumat. Kan ada bulletin jumat, ternyata bulletin itu yang dibuat atau dikeluarkan kelompok radikal jumlahnya 4 kali lebih banyak yang dikeluarkan pihak masjid dan kementerian agama.

Buletin itu illegal?

Saya tidak tahu, kalau itu illegal masa tidak ada yang ditangkap. Berarti legal dong. Makanya ini yang saya katakana jika hukum kita ini masih terlalu lembek. Saya sendiri mengalami saat salat Jumat banyak yang bertemakan radikal, misal “indahnya hukum rajam”, “hukum potong tangan”. Bahkan di Menteng, hanya beberapa meter dari Istana juga begitu. Saya yakin 50 persen radikal. Ini di tengah kota. Jangan bicara di desa-desa. Nah ini harus kita apakan?

Itu pertanyaannya, harus diapakan mereka?

Kita sudah rumuskan saat itu, kita kuatkan takmir atau imam masjid. Takmir masjid harus orang moderat dan berani menolak orang radikal khotbah. Orang radikal ini datang karena punya modal. Mereka tawari jasa cleaning service gratis, lama-lama azan, lalu khotbah dan akhirnya atur jadwal di masjid itu. Itu terjadi. Imam masjid itu harus difasilitasi, tapi tidak semua masjid. Menurut kementerian agama, ada 800 ribu sampai 1 juta masjid di Jakarta.

Kementerian Agama punya Pembina masjid, tapi jumlahnya terbatas. Gajinya hanya Rp100-150 ribu perbulan, tergantung pendapatan majid. Mereka tamatan IAIN. Padahal orang ini kita harapkan jadi benteng keselamatan kita dari aspek agama. Sampai sekarang ini belum itu. Kalau itu bisa dilakukan, itu sangat nyata. Kita petakan masjid mana saja. Misal yang jalankan dewan masjid atau dari masyarakat sekitar masjid. Negara perlu hadir di masjid itu.

Darimana sumber dana untuk menambal kekurangan program deradikalisasi?

Selama ini dari inisiatif sendiri. Bahkan Densus sendiri yang mencari jalan, bagaimana fasilitasi orang ini biar nggak berbuat lagi? Itu bukan APBN. Ada sumbangan orang yang merasa simpati dan merasa ini melindungi kita.

Informasi menguat, jika ISIS bentukan Amerika. Apakah saat jadi Kepala BNPT, Anda menerima informasi ini? Bagaimana respon Anda?

Ada. Itu adalah kesenangan para pengamat dan politisi yang senang bermain-main dengan teori konspirasi. Kalau dilihat secara dangkal, ada benarnya.

Apakah ada pengaruhnya dengan kenyataan ISIS bentukan Amerika terkait pemberantasan teroris di Indonesia?

Saat itu yang menghambat untuk memberikan pencerahan kepada public. Dan yang senang dengan teori konspirasi itu bukan orang bodoh. Orang terpelajar itu. Tapi dia lihat terpotong-potong.

Apakah proses deradikalisasi BNPT sampai menjelaskan konspirasi itu?

Tidak. Tidak perlu menjelaskan itu, habis energi. Masing-masing punya pemahaman. Tidak cukup baca 1 buku. Perlu paham semua.

Apakah tantangan baru ancaman terorisme saat ini?

Dulu banyak aksi terror bom, sekarang kalau pun ada hanya yang tingkatnya kecil. Mengapa saya katakana ini wake up untuk Indonesia. Karena bom yang dipakai di terror Paris, adalah bom yang tidak terdeteksi oleh alat detector dan anjing pelacak. Mustinya di stadion itu begitu ketat, tapi lolos. Karena jenis bom itu TATP, Triacetone Triperoxide. Itu bisa didapat di sekitaran salon. Tidak bau bom itu.

Acetone itu kan bahan cutex atau pembersih kuku. Peroxidea, buat rambut. Tidak terdeteksi. Di bom Alam Sutra Tangerang persis pakai itu. Hanya kapasitasnya kecil. Di Paris itu kapasitasnya besar. Artinya mereka sudah bisa merakit itu, tinggal menambah kapasitas. Ini sangat bahaya. Saya menduga kasus peledakan Metro Jet di Mesir, pakai jenis bom yang sama. Tidak terdeteksi di bandara.

Bahan bom ini mudah didapatkan. Tinggal butuh pengetahuan kimia, berapa porsi perbandingan. Produk kecantikan bisa dijadikan bom. Ini tren baru aksi teror.

Biografi singkat Ansyaad Mbai

Ansyaad Mbai lahir di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara pada 2 Juni 1948. Di usianya yang ke 67 tahun ini dia sudah pension dari korp kepolisia sejak 2006 dengan pangkat terakhir Inspektur Jenderal. Pengetahuannya tentang terorisme di Indonesia sudah di luar kepala. Dia pernah menjabat sebagai Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan di Indonesia dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Selama aktif di kepolisian, Ansyaad melang-melintang dengan banyak tugas yang dia emban. Di antaranya Kepala Polresta Pontianak (1991-1996), Kepala Direktorat Reserse Polda Jawa Tengah (1996-1999), Wakil Kepala Polda Jawa Tengah (1999), Direktur Reserse Umum Polri (1999-2000), Wakil Kepala Korps Reserse Polri (2000-2001), Asisten Intel Kapolri (2001), dan Kepala Polda Sumatera Utara (2002).

Di masa pensiunnya, Ansyaad masih berada ‘di belakang layar’ sebagai konsultan berbagai isu. Terutama terorisme. Saat ini Ansyaad bagian dari konsultan di Hendropriyono Strategic Consulting. Ansyaad pun tidak keberatan disebut sebagai pakar terorisme.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI