Dokter Lie Dharmawan, 'Dokter Gila' Pendiri Rumah Sakit Apung

Laban Laisila Suara.Com
Senin, 16 November 2015 | 06:46 WIB
Dokter Lie Dharmawan, 'Dokter Gila' Pendiri Rumah Sakit Apung
Pendiri rumah sakit apung dan Doctor Share, Dokter Lie Dharmawan. [suara.com/Laban Laisila]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Saya sudah membaca antara yang kaya dan yang miskin di Indonesia ini besar dan terlebih-lebih seolah saya tidak ada di Indonesia. Seperti ketika saya datang ke Jakarta untuk memperkenalkan Indonesia sebelah timur. Infrastrukturnya sama sekali tidak ada. Ketika Anda datang ke puncak gunung di pedalaman Papua, percuma Anda mempunyai smart phone dan uang jutaan. Anda tidak bisa membeli sinyal itu. Saya tersesat 6 jam di hutan Papua pada malam hari. Saya cuma mengandalkan teriakan. Kebetulan suara saya suara orang Sumatera yang teriakan keras.

Di mana itu?

Gagemba, Juli tahun ini. Kami waktu itu dua orang tersesat di hutan. Saat kami memberikan pelayanan di Gagemba. Setelah selesai, saya bilang ayo kita keluar. Kita sudah seharian melihat orang sakit di sini. Kita lihat pemandangan yang lebih hijau. Jam 4-an. Maunya 15 menit.

Ketika pulang kami tidak bisa melihat tanda yang terpasang itu. Semua terlihat sama. Itu pada saat tidak ada bulan dan bintang. Kami hanya mengandalkan senter kami yang secara bergantian dinyalakan. Kami ditemukan jam 10-an. Kami bertemu warga setempat. Kami tegur dan sapa mereka. Karena dua  tidak bisa berbahasa Indonesia, kami diajak ke Honai dan di Honai juga tidak ada yang bisa berbahasa Indonesia. Sampai kami dibawa ke suatu tempat dan ada yang kenal kami. Akhirnya saya diantar malam itu juga (ke lokasi pelayanan).

Anda kan keturunan Tionghoa dan masih banyak penduduk yang resisten dengan kesukuan, punya pengalaman soal ini?

Rasanya ketika kita datang dengan niat baik, resistensi itu tidak ada. Tapi primodialisme di Indonesia ini besar. Kami mengalami di Bengkulu, di Muko-muko. Ada Tsunami tahun 2000-an. Sesudah tsunami Padang. Saya naik ke gunung. Celakanya di Gunung itu orang transmigran banyak berasal Jawa, Bali dan Jawa Timur.

Si Jawa Bali ini tidak senang si Melayu datang, sebaliknya juga. Ketika kami datang ke gunung itu, yang ada tumbuhan cokelat, sawit dan enau.

Sampai sana sudah malam. Kami menyalakan genset. Antara mereka ini tidak cocok, yang satu berdiri di sini dan lain berdiri ke sana. Saya merasa ada ketegangan di sana. Saya bicara dengan pimpinannya, "kok kalian nggak ngobrol. Kalau kalian mau, saya ini orang Tionghoa. Saya datang dari Jakarta karena saya Indonesia. Kok kalian begini?"

Antara pimpinannya mengerti, kita ini bhineka, tapi kita harus tunggal di NKRI kita. Kami tidak akan mengadakan pelayanan satu untuk yang ini satu untuk yang itu. Kalau mau menjadi satu, tidak membedakan kelompok mana.  Siapa saja datang ke sini duluan, lalu kami acak antreannya. 

Artinya ada 3 misinya, pelayanan kesehatan, pengentasan kemiskinan dan misi politis?

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI