Anda pasti menemui banyak hal aneh dan berkesan saat berpraktik di rumah sakit apung, boleh diceritakan apa saja itu?
Ada anak di Kalimantan Barat, Ketapang. Jalan darat 11 jam dengan sepeda motor. Dia punya hemangioma atau tumor pembuluh darah.
Dia datang, saya merasa kasihan. Tapi tidak ada darah dan tidak ada ICU. Saya merasa iba dan akhirnya saya lakukan operasi, tumornya sebesar telur ayam. Saya kerjakan dan anak itu akhirnya anak itu sehat. Itu pengalaman yang mengharukan, heroik dan terlalu pede.
Apakah karena keberanian ini anda disebut “dokter gila”?
Ini salah satu kegilaan. Kapal ini tidak mempunyai izin sebagai rumah sakit, saya sudah mendaftar, saya sudah ke mana-mana. Tapi undang-undangnya belum ada. Saya pergi ke Kemenkes (Kementerian Kesehatan). Ditanya di mana alamat rumah sakitnya. Saya bilang "di seluruh Samudera Indonesia".
Kalau inovasi saya harus menunggu regulasi terlebih dahulu, sementara penyakit tidak bisa menunggu. Mungkin orang akan berpikir 3-4 kali untuk memasukan saya ke hotel prodeo untuk menangkap saya.
Awalnya orang-orang yang menghina saya dan tidak percaya dengan ide saya. Kalau nggak salah, kolega saya sesama dokter yang mengatakan saya gila itu. Mereka tahu semua, nggak mungkin membuat rumah sakit apung, karena nggak ada duit. Kapal yang begini kecil berjalan di Indonesia Timur itu nggak layak. Tapi saya bisa dan sampai dan ini sekarang (kapalnya) dalam perjalanan pulang ke sini setelah melakukan pelayanan 6 bulan di Maluku-Papua.
Anda melakukan ini karena negara tidak memberikan pelayanan maksimal?
Saya ingin mengatakan di ruang publik seperti ini kehadiran pemerintah belum bisa dirasakan. Kalau kita katakan tidak ada, ada lho. Ada puskesmas, tidak ada dokternya. Ada dokter, nggak ada puskesmas dan peralatannya.
Saat bertugas di Papua, apa yang Anda temukan?