Prof Hero: Bencana Kebakaran Lahan dan Kabut Asap Belum Berakhir

Senin, 09 November 2015 | 07:00 WIB
Prof Hero: Bencana Kebakaran Lahan dan Kabut Asap Belum Berakhir
Prof Bambang Hero. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pertengahan pekan lalu hujan mengguyur beberapa kawasan kebakaran lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan. Ternyata diprediksi hujan itu hanya sementara saja.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Prof. Bambang Hero Saharjo mempunyai prediksi jika kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan akan terus berlanjut sampai 2016. Ini berdasarkan data satelit National Oceanic and Atmospheric Administration atau NOAA Amerika Serikat. Selain itu, kebakaran hutan saat ini sangat bergantung pada el nino yang masih kuat di kawasan Indonesia.

Kobaran api di lahan gambut, menurutnya, tidak serta merta padam begitu hujan turun. Sebab ada puluhan ton bahan bakar yang terbakar di lahan itu. Api kemungkinan masih tersimpan dalam sekam di bawah permukaan gambut.

Prof Hero juga menegaskan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia akan terus berlanjut dari tahun ke tahun mendatang. Sebab saat ini pengelolaan hutan dan lahan sangat buruk, terutama pengelolaan lahan gambut.

Luas lahan rawa gambut di Indonesia diperkirakan 20,6 juta hektar atau sekitar 10,8 persen dari luas daratan Indonesia. Dari luasan tersebut sekitar 7,2 jutahektar atau 35 persen terdapat di Pulau Sumatera. Kebanyakan lahan gambut itu sudah rusak parah karena penanaman sawit dan perkebunan secara illegal. Tahun 2015 ini saja ada 2 juta hektar lahan yang terbakar.

Lahan gambut perlu direstorasi agar kembali menjadi bagian dari sumberdaya alam yang mempunyai fungsi untuk pelestarian sumberdaya air, peredam banjir, pencegah intrusi air laut, pendukung berbagai kehidupan, keanekaragaman hayati, dan pengendali iklim melalui penyerapan dan menyimpan karbon.

Restorasi itu terutama untuk mencegah kebakaran. Sebab jika lahan gambut sudah terbakar, maka akan merdampak parah seperti kabut asap, pelepasan karbon dan terganggunya ekosistem di suatu kawasan.

Di usianya yang tak lagi muda dan statusnya sebagai guru besar, Hero masih aktif meneliti persoalan lingkungan. Dia aktif membantu kepolisian daerah di Sumatera dan Kalimantan mengungkap modus pembakaran hutan oleh perusahaan kepala sawit yang bermasalah. Sehingga salah satu pakar gambut bergelar professor ini tahu persis persoalan lingkungan di Indonesia.

Mengapa kebakaran hutan di Indonesia tahun ini begitu dahsyat? Bagaimana restorasi lahan gambut itu bisa dilakukan?

Berikut wawancara suara.com dengan Bambang Hero Saharjo di ruang kerjanya di Kampus IPB Darmaga, Bogor akhir pekan lalu:

Sampai akhir tahun 2015 ini, bagaimana keadaan gambut di Indonesia?

Warning itu sudah ada sejak kebakaran tahun 1997-1998. Sudah banyak (perusahaan perkebunan sawit) yang main di gambut. Peneliti sudah memberikan peringatan, “jangan main-main dengan gambut”. Karena kalau begitu menggunakan lahan gambut dengan mengeksplorasi gambut, risiko pertama, kita gagal mengelola itu. Karena kita harus kuat dengan water manajemennya.

Kedua, gambut itu miskin hara sehingga membutuhkan cost dan knowledge untuk mengelolanya. Karena nanti harus membangun kanal, water magementnya, pupuknya, pestisida dan sebagainya. Biaya pengelolaan perhektar Rp40-50 juta.

Dari beberapa perusahaan saya konfirmasi dan saya dengar, beberapa sudah memasuki arena gambut. Mereka menyatakan, “sebagai pengusaha kami selalu menghadapi tantangan, termasuk gambut. Tapi kan kita punya teknologi punya SDM. Kenapa tidak. Kalau pun ada kerugian kami harapkan hanya di awal-awal saja. Setelah itu mudah-mudahann cost yang hilang bisa dicover”.

Kita melihat itu sebetulnya dari janji mereka di dalam dokumen AMDAL, studi kelayakan, UKL-UPL mereka tahu kalau ini daerah bergambut. Maka mereka akan melakukan yang dalam aturan. Sehingga pemerintah melihat dia seakan-akan sudah siap berhadapan dengan gambut.

Kan banyak aturannya, misal dalam Kepres 32 tahun 1990, di UU Tata ruang, Permentan 14 Tahun 2009, dan banyak juga yang lain. Kalau tidak siap, mereka akan menghadapi bencana.

Apakah perusahaan sawit patuh dengan aturan pengelolaan gambut?

Begitu melihat perusahaan sawit di lapangan, banyak semua itu di atas kertas. Karena tahun lalu di UKP4 zamannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saya memimpin tim audit kepatuhan pengendalian kebakaran hutan. Ada 15 korporasi, termasuk perusahaan besar yang selalu mengklaim sudah benar.

Hasilnya, dari 15 perusahaan itu tidak ada satu pun yang memenuhi kewajiban mereka. Anehnya perusahaan itu sudah diberikan izin. Bahkan mereka sudah berjalan puluhan tahun. Mereka ada di grade perusahaan tidak patuh. Termasuk perusahaan besar yang selama ini pencitraan mengklaim patuh dengan aturan.

Bagaimanan Anda bisa meyakinkan data itu akurat?

Kita cek langsung ke lapangan. Saat itu saya kerahkan mahasiswa saya yang baru lulus. Kita mau apa yang tertera dalam izin dokumen itu, dicocokkan dengan yang di lapangan. Bahkan dibongkar, misalnya banyak alat pompa tidak berfungsi. Paling menonjol dan kelihatan itu soal menara pemantau api di perkebunan sawit.

Menara itu bagian dari early detection system. Menara ini ukurannya harus lebih tinggi dari tanaman yang dilihat. Di atas menara harus ada manusia, binokuler, dan peta. Sehingga ketika ada asap langsung meninfokan ke manara semua. Lalu ada tim yang ke lokasi titik api itu, biasanya pemadam kebakaran. Aturan itu ada di PP 4 Tahun 2001.

Ternyata apa yang kami lihat, ada menara tapi di atas menara tidak ada orang. Hanya telur burung saja yang ada. Kemarin saya sudah menyarankan harus dilakukan evaluasi melalu audit. Dengan audit itu kita minta kembali perusahaan sawit untuk memenuhi janji yang mereka buat puluhan tahun lalu.

Apakah keadaan gambut sekarang sudah termasuk darurat?

Kalau yang saya lihat over explotation. Di beberapa daerah yang lahan gambutnya tidak disetuh, mereka malah berlomba. Misalnya daerah dengan kedalaman gambut lebih dari 3 meter, ternyata mereka ada di dalam itu. Banyak manipulasi dokumen izin penggunaan lahan gambut. Mereka banyak yang menggunakan lahan gambut di kedalaman 5 meter lebih. Di situ ‘permainan’ yang dimainkan.

Kemarin saya baru pulang dari Kalimantan Tengah, lahan sejuta hektar yang dikonsevasi di sana semua gagal. Sekarang di atas lahan gambut tempat konsevasi lahan sudah ditanai sawit. Yang memberi izin itu bupati. Sawit itu harus ditanam di kawasan budidaya, bukan kawasan hutan. Kalau di kawasan hutan, dia harus dialihfungsikan dulu menjadi kawasan budidaya. Tapi harus lewat aturan penelitian AMDAL dan sebagainya. Nah yang diberikan bupati ini langsung diberikan izin begitu saja. Tanpa ada alih fungsi hutan.

Sehingga kita sebut ini membabibuta dalam mengeluarkan izin sawit ini. Meski ini sudah di-warning. Ini akan menimbulkan bencana. Masalahnya siapa yang mengawasi? Itu masalah besar.

Apakah berapa lahan gambut yang tersisa dan berkondisi layak?

Persentase tidak besar. Yang paling tersisa di kawasan konservasi. Bahkan ada kawasan konservasi juga digarap menjadi sawit. Lihat saja kawasan Biosver di sana, itu isinya salit. Kita sudah deklarasi di UNESCO tahun 2009, sebagai cagar biosver yang sangat dihargai. Apa itu ternyata, dilogging, kayu dikeluarkan dan langsung dibakar. Itu contoh kecil. Apalagi di tanah mineral. Ada eks tanah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) itu sudah tidak kelihatan mana hutannya, sawit semua.

Luas lahan sawit yang masih layak yang tersisa kurang dari 20 persen. Itu karena keinginan investasi yang terlalu tinggi, di sisi lain lahan yang bisa dieksploitasi tidak banyak. Dengan akal-akalan lahan itu bisa ditembus, tidak di SPLG, tanaman disikat habis, anak sungai ditimbun supaya rata.

Dari sisi ilmu pengetahuan bagaimana kita bisa menjelaskan gambut bisa ditanami sawit. Karena banyak pakar menentang gambut ditanami sawit?

Lahan gambut sah-sah saja bisa digunakan untuk sawit. Asalkan aturan itu diikuti. Untuk kelapa sawit saja ada Peraturan Menteri Pertanian khusus untuk penanaman sawit di gambut, Permen 14 tahun 2009. Itu sudah jelas diatur di mana ditanam, berapa kedalaman, kanalnya, dan pengaturan air.

Dengan mengikuti itu diharapkan tidak timbul kerusakan yang segera terjadi setelah mereka melakukan. Terbukti di lapangan, misal izinnya diberikan hanya 1000 hektar. Diproses HGU, misal dapat 600 hektar. Tapi begitu dicek lagi, itu bisa jadi 2000 hektar. Itu kisah nyata, itu dilakukan oleh perusahaan besar. Itu bisa dicegah kalau instrument penegakan hukum bisa jalan, tidak hanya sekadar komat kamit.

Apakah ada perusahaan sawit yang menjalankan izin secara benar?

Ada, dan itu harus dijadikan contoh. Misal di Siak.

Kebakaran lahan dan hutan tahun ini begitu besar dan lama, mengapa?

Pertama memang penyiapan lahan dengan pembakaran. Kedua, karena buah sawit gagal maka sengaja dibakar. Ketiga modusnya asuransi. Misal ketika ingin membangun area sawit, kan kita mempunyai indikator. Sawit akan dibangun di HTI, di tahun terakhir sampai 5 tahun ketika ingin dipanen sudah menghasilkan sekian kubik sawit perhektar. Kalau perhektar ada 20 kubik, maka pertahun ada 100 kubik. Sehingga kalau 1000 hektar kita akan dapat 100 ribu kubik.

Lalu dihitung pendapatan dan keuntungannya. Begitu masuk tahun kedua, ada kesalahan pengelolaan karena pupuknya nggak bagus. Diprediksi itu akan rugi dan hasilnya nggak bagus. Maka perusahaan mencari asuransi yang bisa menjamin area mereka. Sehingga ketika terjadi sesuatu, mereka harus mengganti klaimnya. Nah orang-orang asuransi ini nggak tahu soal sawit dan keadaan di lapangan.

Kejadian ini ada di Sumatera Selatan. Begitu terjadi kebakaran, asuransi harus bayar klaimnya. Jumlah klaimnya itu sampai miliaran rupiah. Makanya pengusaha sawit itu begitu terbakar, yah tenang saja. Karena modalnya sudah kembali saat klaimnya dibayar. Paling nggak balik modal.

Asuransi jenis apa itu?

Saya nggak tahu jenisnya itu. Itu sama seperti asuransi jiwa. Modus itu terjadi tahun ini. Saya saat ini sering diminta oleh perusahaan asuransi untuk menganalisa perusahaan itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI