Rachmat Witoelar: Dunia Akan Hancur Jika Emisi Tak Diturunkan

Senin, 02 November 2015 | 07:00 WIB
Rachmat Witoelar: Dunia Akan Hancur Jika Emisi Tak Diturunkan
Rachmat Witoelar. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Di balik sisi humoris Rachmat Witoelar, wajahnya agak tegang saat ditanya pentingnya isu perubahan iklim dan penurunan emisi karbon oleh negara-negara di dunia. Dia menyebut dunia akan hancur jika tak ada yang ingin menurunkan emisi karbon.

Bahkan tokoh dunia pun mempunyai kengerian atas perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini. Mereka yang sudah bicara adalah Pemimpin Tibet di pengasingan Dalai Lama dan Sekertaris Jenderal PBB Ban Ki-moon.

Dalai Lama mengatakan bahwa dua pertiga gletser di Tibet akan lenyap pada 2050 akibat perubahan iklim. Sementara dataran tinggi Tibet, yang merupakan salah satu cadangan es terbesar dunia selain di Kutub Utara dan Selatan, dalam lima dekade terakhir mengalami kenaikan suhu mencapai 1,3 derajat Celcius. Kenaikan suhu itu tiga kali lebih tinggi dari rata-rata kenaikan suhu global. Naiknya suhu di dataran tinggi itu telah membuat lapisan gletser mencair dan mengancam 1,3 miliar orang yang hidup dari air yang berasal dari sumber-sumber es itu.

Ban Ki-moon pun mendesak dunia mengatasi ancaman perubahan iklim itu. Karena tidak ada ‘planet B’ untuk pilihan pengungsian jika dunia ini hancur.

Ban Ki-moon mengatakan solusi untuk memperbaiki iklim dunia adalah dengan mensukseskan pertemuan Conference of Parties (COP21). Pertemuan itu akan diselenggarakan 30 November sampai 11 Desember 2015 di Paris. Tujuan menjamin perjanjian gas rumah kaca yang membatasi suhu global di bawah dua derajat celsius.

Indonesia terlibat dalam petemuan itu. Pemerintah Indonesia menaikan target penurunan emisi karbon pada 2030 sebesar 29 persen dalam Intended Nationally Determined Contribution (INDC). Dokumen itu diserahkan ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Saat ini total emisi global sebanyak 9,9 giga ton karbon pertahun. Sementara Indonesia emisi karbonnya rata-rata 1,2 giga ton pertahun. Indonesia mempunyai peranan penting dalam pertemuan itu.

Rachmat mewakili Indonesia dalam pertemuan itu. Dia disebut sebagai Minister in charge of climate change.

“Persisnya saya itu special envoy (utusan khusus) dengan pangkat menteri. Saya bisa duduk sejajar dengan menteri,” kata mantan menteri lingkungan hidup di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu.

Apakah peran penting Indonesia dalam pertemuan itu? Bagaimana dampak kebakaran hutan di Indonesia terhadap iklim global? Dan semengerikan apa dampak perubahan iklim untuk dunia, khususnya Indonesia?

Berikut wawancara khusus jurnalis suara.com, Laban Laisila dan Pebriansyah Ariefana dengan Rachmat Witoelar dalam kesempatan santai di apartemenya di kawasan Jakarta Selatan, pekan lalu:

Pertemuan perubahan iklim akan digelar di Paris, akhir November sampai Desember 2015. Apa saya yang akan dibahas di sana?

Conference of the Parties (COP) itu diadakan tiap tahun. Itu adalah satu puncak dari negosiasi tiap tahun itu. Tiap tahun ada target, dan target semuanya selalu mengacu kepada pencarian kesepakatan global untuk melawan perubahan iklim. Masalahya, perubahan iklim tidak selalu dimengerti oleh masyarakat luas. Sehingga masing-masing negara sukar mencari benang merah atau titik temu apa yang dinginkan dari negara itu.

Di tambah lagi harus ada kebersamaan kesepakatan dari keinginan negara-negara peserta. Ini komplikasi mencari kesepakatan dunia. Ada kaidah votting, tapi itu percuma karena kesepakatannya pada akhirnya tidak memperoleh hasil.

Kesepakatan itu berujung agar setiap negara bisa mengurangi emisi-emisi, dan itu rumit sekali. Karena dengan memotong emisi, negara itu harus mengubah strategi pembangunannya. Selama ini pembangunan selalu dipicu oleh energi. Energi itu ekuivalen (mempunyai nilai yang sama atau sebanding) dengan CO2. Jadi memotong energi itu, artinya memotong pembangunan.

Tapi sekarang ini baru ada teknologi yang menciptakan energi tanpa menghasilkan emisi CO2. Misal angin dan geothermal. Tapi itu terlambat. Karena saat ini sebanyak 80 persen energi yang dihasilkan CO2 yang atau fosil. Setiap tahunnya, itu yang dibahas.

Indonesia pernah menjadi tuan rumah konferensi sejenis di tahun 2007, apa bedanya?

Saya sudah menghadiri 10 kali. Yang paling menonjol, saat saya pimpin KTT Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali pada tahun 2007. Sejak konferensi itu, Indonesia selalu mendapatkan atensi yang sangat tinggi. Misalnya jika ada perundingan perubahan iklim, itu tidak akan jalan kalau Indonesia tidak ikut. Takut jika Indonesia tidak setuju dengan keputusan yang dibuat. Cina juga seperti itu, kalau Cina tidak setuju putus emisi, kesepakatan tidak akan jalan.

Di KTT Perubahan Iklim Bali, ada konsensus yang disepakati. Yaitu siapa yang mempunyai emisi besar, emisi kecil dan siapa yang bertanggungjawab. Di sana diputuskan negara maju yang bertanggungjawab. Dia mesti bayar hutannya dengan bentuk-bentuk tertentu ke dunia.

Dunia untuk menurunkan emisi, perlu usaha. Usaha itu perlu duit. Di situ lah Carbon Trade keluar. Carbon trade atau perdagangan karbon adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfer. Pasar perdagangan karbon membuat pembeli dan penjual karbon sejajar kedudukannya dalam peraturan perdagangan yang sudah distandarisasi.

Jika negara maju ingin menurunkan emisii karbon tapi tidak bisa, mereka harus ada pengertian. Misal jika ingin menurunkan emisi karbon sekian giga ton, itu dinilai uang. Kalau uang dikasih ke negara yang bekembang, negara itu harus menurunkan emisinya.

Misal hutan itu berpotensi mengurangi emisi, potensi itu dibeli oleh negara yang tidak ingin mengurangi emisinya. Karena jika negara itu menurunkan emisinya, mereka harus menghilangkan pabrik mobil dan pabrik baja. Makanya bayar saja ke negara yang bisa mempertahankan hutannya atau bahkan menambah hutannya.

Tapi itu akhirnya tidak jalan. Karena negara maju tidak jalan. Sejak bali disepakati berapa nilai uangnya. Di sana mereka ujung-ujungnya mundur dari kesepakatan itu. Makanya di Bali ada Bali Action Plan, di sana ada keputusan yang harus diikuti. Saking tingginya keputsan itu, itu yang membuat kita di level tinggi dalam pembahasan perubahan iklim.

Penurunan emisi menjadi hal utama dalam keputusan COP Paris nanti, bagaimana cara teknis suatu negara menurunkan emisi karbon?

Ada yang menjadi faktor penentu penurunan emisi. Pertama, menghentikan pembakaran hutan, kedua membereskan sampah agar tidak sembarangan dibakar dan mengeuarkan metan, dan ketiga penghematan energi nasional. Yang ketiga itu janjinya penurunan sekian pesrsen, saat ini sudah lewat setengah. Sekarang sudah 15 persen. Lihat nanti 2020. Jadi on-track.

Apa hal yang sangat mendesak, sehingga dunia harus menurunkan emisi karbon?

Sekarang ini dunia melihat, kalau dunia nggak melakukan semua itu, dunia akan hancur. Jadi mereka akan melakukan itu. Orang negara berkembang bilang nggak bisa, karena miskin. Nah di Indonesia selalu dilihat, “tuh Indonesia bisa”. Tapi tetap saja tidak bisa disyaratkan. Karena, siapa yang bisa mensyaratkan itu? Kan kalau di Indonesia, hanya presiden yang bisa mendesak untuk menjalankan. Di konferensi dunia, mereka jadi mencontoh Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI