Suara.com - Sampai Oktober 2015, data Migrant Care mencatat masih ada 281 TKI terancam hukuman mati. Sementara sebanyak 59 orang sudah divonis mati, sisanya masih dalam proses hukum.
TKI yang terancam hukuman mati itu ada di Malaysia sebanyak 212 orang, 36 orang di Arab Saudi, 28 orang di Cina, 1 orang di Singapura, 1 orang di Qatar, 1 orang di Uni Emirat Arab, dan 1 orang di Taiwan.
Sementara itu data dari Kemenlu, dalam 1 tahun pemerintahan Jokowi sudah ada 87.673 WNI sudah terlesesaikan masalahnya. Kemenlu juga mengevakuasi 74.636 WNI overstayer, 2.471 WNI dari daerah konflik dan bencana di Yaman, Suriah, dan Nepal.
Selain itu ada 253 kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Berbeda dari data Migrant Care, Kemenlu mencatat ada 246 yang terancam hukuman mati. Sebanyak 41 berhasil dibebaskan pada 2015.
Di balik keberhasilan pembebasan TKI di Arab Saudi yang terancam hukuman mati ada sosok negosiator yang handal. Negosiator ini ada di barisan paling depan dalam perlindungan WNI dan TKI bermasalah. Mereka keluar masuk pintu rumah untuk melobi korban pembunuhan yang ingin TKI Indonesia dihukum mati.
Salah satu negosiator terhandal di Kementerian Luar Negeri Indonesia adalah Fadhly A. Bachmid. Cara kerja Fadhly sebagai negosiator unik dan ‘menegangkan’. Sebab perannya sangat penting, yaitu membujuk keluarga korban pembunuhan untuk memberikn maaf ke TKI.
“Maaf itu, di Saudi sangat berarti. Tanpa maaf, pengadilan akan mengeksekusi mati. Tapi tidak semua maaf bisa meloloskan TKI yang terhukum mati,” kata Fadhly.
Selama menjadi diplomat Arab Saudi, Fadhly pernah berhasil melobi keluarga korban pembunuhan oleh TKI. Ada 6 TKI yang berhasil dimaafkan dan bebas dari hukuman mati. Fadhly mendekati keluarga korban dengan cara khusus selama bertahun-tahun.
Bagaimana cerita lengkap Fadhly dalam proses bernegosiasi mencari maaf? Seperti apa caranya?
Berikut cerita lengkap Fadhly kepada suara.com saat dia ada di Indonesia akhir pekan lalu:
Bagaiaman proses awal Anda bisa menjadi negosiator TKI terhukum mati di Arab Saudi?
Saya gabung di Kementerin Luar Negeri sejak tahun 2009. Awanya saya tidak terpikirkan akan ditempatkan di pos perlindungan. Dalam benak saya, diplomat itu akan membawa misi-misi kepentingan negara. Ini punya risiko untuk saya pribadi.
Saya ditugaskan ke luar negeri pascaeksekusi Ruyati binti Supabi tahun 2012, April. Ruyati dituduh membunuh majikannya.
Saya dipanggil oleh pimpinan jika ada seleksi kecil. Saya diterima dan ditempatkan di KJRI Jeddah. Di sana ditempatkan di bidang peyelesaian kasus-kasus TKI dan WNI. KJRI Jeddah ini luas wilayah yang lumayan, men-cover 7 provinsi. Sementara personel yang ada sekitar 15 orang home staf (staf Indonesia), dibantu 50-an lokal staf. Sementara WNI di sana ada 700-800 ribu sampai 1 juta. Itu di kawasan barat. Sementara yang timur dibantu oleh KBRI Ryadh.
Di sana, saya menyelesaikan kasus-kasus kriminal WNI dan TKI dari sisi korban dan pelaku. Tahun 2009, pertama kali di tugaskan ke Jeddah. Pelaksana Pejabat Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jedah bangian Perlindungan WNI, Didi Wahyudi mengajak untuk menyelesaikan satu kasus berat.
Saat itu lagi heboh pembunuhan warga negara Pakistan yang dilakukan oleh TKI asal Banjarmasin. Keenam TKI itu berasal dari Kabupaten Hulu Sungai Utara ada 5 orang dan 1 orang dari Kabupaten Tapinyang. Mereka adalah Saiful mubarak, Sam’ani muhammad, Muhammad Mursyidi, Akhmad Zizi Hartati, Abdul Aziz Sufiyani dan Muhammad Daham Arifin.
Mereka terjerat kasus pengeroyokan dan pembunuhan terhadap Zubair bin Hafidz Ghul Muhammad imigran Pakistan yang memeras dan mengintimidasi mereka karena mereka tenaga kerja illegal di sana.
Saat itu saya masih magang di sana. Saya diajak ke tempat keluarga korban karena mereka orang Paskistan dan saya pernah tinggal di Pakistan, Islamabad selama 3 tahun. Saat itu saya mahasiswa hubungan internasional di International Islamic University. Saya tahun dan paham budaya Pakistan dan bisa berbahasa Urdu. Saya diajak untuk melakukan pendekatan ke keluarga korban.
Saat pertama kali datang, mereka sangat tidak menerima. Masih ada sakit hati terhadap yang dilakukan pelaku kepada anak-anak mereka. Tapi perlahan saya mencoba meyakinkan mereka. Bahwa kedatangan saya bukan kaitannya dengan kasus. Tapi silahturahmi saya sebagai orang yang pernah bekerja dan tinggal di Pakistan. Memahami budaya dan mempunyai utang budi ke Pakistan.
Saya datang dalam arti untuk bersilahturahmi, tidak lebih dari itu. Perlahan mereka sudah mulai menerima kedatangan saya. Setelah mulai terbina hubungan saya dengan adik almarhum, Yunus. Saya dibantu oleh lokal staf, Abdul Hakim. Dia fasih bahasa urdu. Kebetulan istri beliau orang Pakistan.
Secara bergntian saya dan dia ke sana untuk pendekatan. Dalam arti non litigasi. Dari sisi formal persidangan dan segalanya tetap berjalan.
Tahun 2011, saya akrab dengan Yunus. Tapi tahun 2012 saya ditugaskan ke Suriah. Selama saya tidak ada di Jeddah, KJRI tetap menindak lanjuti. Menghadiri sidang dan mendampingi pengacara. Saya kembali lagi tahun 2013 dan kedekatan sudah sangat akrab.
Ada satu moment yang saya dekat sekali dengan keluarga Yunus. Tatkala ibunya saat itu cuci darah. Yunus telepon, karena kami sudah sangat dekat. “Fadhly, saya ingin ke rumah sakit bawa ibu saya. Bisa bantu?”. Saya bilang, “okay saya datang.”
Saya datang ikut menggotong ibunya dari kursi pindah ke mobil dan dari mobil pindah ke ranjang. Ibunya yang selama ini melihat saya, dan melihat saya ikhlas membantu. Dia menatap saya, tangannya diletakan ke kepala saya. Dia bilang, “terimakasih, Shukriya beta dalam baha urdu. Saya bilang sama-sama. Dua pekan kemudian saya datang ke mereka dan disediakan makanan Pakistan. Saya bilang, saya masih suka makanan Pakistan dan rindu makanan itu. Karena saya 3 tahun di sana.
Kedekatan itu terus berlanjut. Bahkan beberapa kali saya membantu pengobatan ke rumah sakit, perpanjang izin tinggal Yunus. Saat Yunus istrinya melahirkan, saya datang. Lebaran saya datang. Ramadan saya datang. Jadi sudah terbina.
Akhirnya mereka bilang, sudah memaafkan pelakunya dan tidak meminta apa-apa. Setelah itu kita jalan terus sidang, dan saat 2014, bulan Febuari sidang memutuskan permintaan maaf dari keluarkga korban dikukuhkan secara hukum. Akhirnya semua WNI dikembalikan ke Banjarmasin.
Perjalanan kasus ini memakan waktu lama dan dikerjakan secara tim dan bergantian. Mengingat rotasi diplomat di lingkungan kementerian luar negeri yang dinas.
Timur Tengah tengah dilanda konflik, bagaimana jaminan keamanan diplomat di KJRI Timur Tengah?
Saya pernah ditugaskan di Suriah. Saat itu untuk membantu tim pemulangan WNI pascaperang dan kerusuhan di sana. Saya masuk wilayah yang saat itu lagi gencarnya serangan antara oposisi dan pasukan pemerintah. Di sana saya 2012 sampai 2013. Kami ditugaskan bantu repatriasi WNI di sana. Saya harus melewati tempat-tempat yang menjadi sasaran tembak bentrok oposisi yang ingin dilumpuhkan oleh pemerintah.
Bahkan pernah satu waktu, 25 menit sebelum kami lewat, ada serangan rudal ke kantor Kementerian Keamanan Suriah di Damaskus. Tapi itu panggilangan tugas. Dalam benak saya ini misi kemanusiaan. WNI di sana mayoritas adalah tenaga kerja yang kurang beruntung.
Selain itu juga dengan intensitas kegiatan saya yang banyak berkecimpung di dunia ini. Tatkala tahun 2013, Raja Arab Saudi memberikan amnesty kepada WNI over stayer. Kami diperbantukan percepatan dan memberikan permit dan sebagainya.
Sebagai negosiator, seberapa banyak jaringan Anda?
Di Jeddah saya akan sampai 3 tahun mendatang. Tahun kemarin diperpanjang. Di sana saya bukan orang baru, karena sudah banyak relasi di imigrasi, kepolisian, penjara, dan sebagainya. Jadi saya tidak perlu memuka lahan baru. Saya hanya meneruskan. Terbukti beberapa kasus yang akan dipersidangkan, kita intervensi dan cegah agar tidak sampai ke persidangan. Artinya cukup sampai di Badan Investigasi Arab Saudi saja.
Seperti kasus WNI jamaah umroh yang mengaku sebagai Imam Mahdi. Ada 11 jemaah. Mereka ditangkap di Mekah, Arab Saudi. Mereka tengah menjalankan salat Id sehari setelah Idul Fitri berlangsung. Ada 11 orang, dua perempuan, sisanya sembilan laki-laki. Mereka berkumpul di depan Ka'bah dan melakukan Salat Id beberapa hari setelah Idul Fitri berlangsung.
Kita sampaikan ke tim investigasi Arab Saudi, kita sampaikan bahwa Insya Allah kesepuluh WNI dan 1 yang mengaku Imam Mahdinya akan dilakukan pembinaan di Indonesia. Kita mohon jangan ditindaklanjuti. Akhirnya dibebaskan. Tim Perlindungan KJRI Jeddah atau konsuler adalah tim yang solid dan memiliki semangat Perlindungan yang luar biasa. Serta arahan konsul Jenderal dan PFK 1, saudara Dicky Yunus yang selalu membimbing dan mengarahkan saya.
Ada juga WNI kita yang mencoba menggunting kain kiswa penutup kabah. Akhirnya bisa juga ditindak tanpa diangkat ke persidangan. Ada juga yang tertangkap membawa primbon.