Mengapa Anda nekat untuk mengerjakan operasi sulit?
Orang jaman dulu itu nggak punya duit dan tidak mungkin operasi ke Jayapura. Kedua, mereka berprinsip dokter itu harus bisa tolong orang. Kalau selamat, hebat itu dokter, kalau mati kehendak tuhan. Jadi nggak ada nuntut-nuntut. Sampai saat ini, nggak pernah ada pasien mati dalam meja operasi saya.
Ada cerita, pernah jam 02.00 dinihari, ada orang yang sudah tidak ada nafas dan hampir mati saya operasi. Saya bilang, saya tidak akan memberikan anestesi karena ini harus segera. Suamiya saya minta tonton tindakan operasi ini.
Jadi ruangan operasi saya di sana itu bisa ditonton orang di lantai 2. Itu satu-satunya di seluruh Indonesia. Jadi keluarga pasien bisa lihat proses operasinya. Karena di Wamena, kalau orang terkena panah dan dikeluarkan panahnya, mereka sering belum pecaya jika anak panah itu sudah keluar.
Setelah anak panahnya dikeluarkan, mereka balik lagi dan mengira anak panah itu masih ada di dalam. Makanya keluarga pasien suka saya suruh jadi saksi kalau di dalamnya sudah tidak ada panah. Sudah saya kasih lihat, “nih tidak ada panahnya”. Jadi mereka nggak kembali ke rumah sakit. Begitu juga di operasi tumor, bisa mereka percaya dan melihat langsung tumornya sudah diangkat. Jadi mereka harus lihat.
Siapa tokoh yang menjadi panutan Anda?
Di Papua pernah bertugas sorang dokter dari Belanda, namanya Dokter Frin. Dia bisa melakukan semua operasi, padahal dia dokter umum. Bagaimana dia bisa melakukan itu? Model pendidikan kedokteran di Belanda dulu itu memperbolehkan seorang dokter umum mempelajari apapuan yang dia inginkan jika sudah bekerja di Indonesia selama 2 tahun.
Dia mempelajari operasi di Belanda 2 tahun sekali. Mulai dari operasi tenggorokan, jantung, paru-paru dan semuanya. Ini perlu dicontoh oleh Depkes Indonesia. Memberikan palatihan khusus untuk dokter di pedalaman. Agar 1 dokter bisa melakukan semua tindakan.
Kalau saya kan sudah tahu dasarnya. Makanya berani melakukan operasi. Kalau ilmu bedah itu kan prinsipnya jangan membuang jaringan yang tak perlu, awas pendarahan, dan awas infeksi. Jadi semua harus steril. Tiga prinsip itu yang kita pegang.
Situasi di pedalaman Papua dianggap daerah merah, bagaimana soal keamanan Anda dan dokter di sana saat itu?
Kita kalau jalan di hutan, pasti muncul gerombolan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Kita dicegat. Minta periksa lah, mereka katanya sakit. Kita obati mereka, tidak masalah sebenarnya. Kalau sudah selesai, mereka kembali sendiri.
Yang jadi masalah, kalau kita jalan dengan tentara. Mereka (OPM) sangat benci tentara. Justru kita bisa kena panah dan kena tembak. Untuk menyiasatinya, saya jalan diam-diam tanpa pengawalan. Jam 3 subuh saya sudah kabur jalan, para tentara marah.
Selain itu kalau jalan dengan tentara, kita harus kasih makan mereka. Apalagi jalanya sehari. Habis makanan kita. Lebih baik saya kasih makanan itu ke warga desa. Misal ubi, jagung, mie, atau beras.
Apakah OPM tidak menyerang dokter sejak dulu?
Sekarang saya pernah, ke Jayawijaya, rumah-rumah dibakar oleh gerobolan. Itu karena pihak tentara memerintahkan para dokter untuk menjauhi gerombolan. Saat itu saya bilang ini justru harus diubah. Kita harus rangkul gerombolan. Sementara tentara ingin OPM itu harus mati.
Argumentasi saya, obat-obatan Inpres itu juga dihitung untuk gerombolan. Waktu itu bupati membenarkan ucapan saya untuk juga melayani gerombolan. Akhirnya saya perintahkan kecematan, kalau ada gerombolan yang ingin berobat harus dilayani. Sejak itu tidak ada pembakaran puskesmas.
Kita berpandangan tidak membedakan suku ras agama dan golongan. Medis itu universal. Biar musuh, ditolong juga. Makanya saya memberi tahu ke petugas medis sana, jangan pakai baju loreng. Pakai baju putih yang ada tanda palang merah. Pasti aman dari serangan.
Apa yang membedakan pendidikan kedokteran saat ini dan dulu?
Itu yang menjadi masalah, pendidikan dokter agak beda. Sekolah kedokteran di zaman saya murah sekali. Saya sekolah 6 tahun, tahun pertama bayar Rp55 ribu pertahun, tahun kedua Rp50 ribu, terakhir bayar Rp40 ribu. Sementara dulu beli bukunya saja Rp1 juta. Makanya teman-teman seangkatan saya merasa tulus menolong orang, karena sekolah murah sekali dan tidak berpikir membalikan modal sekolah.
Sementara dokter sekarang itu beda, membuat jarak. Dokter dulu sangat betah kalau di pedalaman. Sekolah kedokteran saat ini mahal. Wajar kalau mereka bertujuan ingin kembalikan uang.
Saat ini untuk jadi dokter spesialis saja harus bayar Rp500 juta. Makanya harus mengembalikan uang. Kalau banyak dokter yang seperti itu, salahkan pemerintah. Kenapa sampai mahal begitu sekolah kedokteran?
Semestinya ada pendidikan tertetu yang pemerintah harus subsidi. Misalnya kedokteran. Dulu biaya sekolah kedokteran swasta dan negeri beda jauh. Bedanya berpuluh kali lipat, kalau sekarang sama saja.
Sekarang dokter dikirim lewat jalur PTT selama 2 tahun. Konsep ini nggak menguntungkan kalau segi pelayanan. Gaji PTT padahal lebih besar. Tapi dari segi tanggungjawab dan pelayanan beda sekali. Dia tidak ingin terlibat jauh di puskesmas. Yang penting dia kerja saja, dan menunggu PTT itu berakhir. Beda kayak dulu sudah langsung jadi PNS dan dia merasa berbakti.
S2 saya public health di Jakarta. Saya tidak mengambil spesialis karena saya kerja di pelayanan publik. Saya juga sekolah untuk kebidanan di Universitas Airlangga untuk belajar operasi-operasi darurat. Sebab di Papua, saya mengerjakan semua operasi. Mulai dari belah kepala, angkat limpa, sampai operasi tulang belakang.
Setelah Anda pensiun, apa yang Anda lakukan di sana?
Di sana saya menjadi konsultan kesehatan. Saya diminta untuk menjalankan program memberikan makan kepada ibu hamil selama 1.000 hari di Tolikara. Begitu si ibu hamil, kasih makan tiap hari, bergizi. Itu sduah ada hasilnya, bayinya sehat. Ibunya juga sehat. kita cek tekanan darahnya tiap hari. Itu dibantu Dinas Kesehatan Kabupaten. Itu uangnya mahal dan banyak.
Tapi ke depan, itu akan menjadi SDM yang hebat. Kita akan lanjutkan sampai SMA, dipantau terus kesehatannya. Yang lahir itu kita masukan asuransi pelajar selama 10 tahun. Nanti asuransinya diambil saat dia ingin masuk universitas. Dia jadi anak pintar, semua yang bayar bank.
Di Papua, ibu hamil itu tidak diurus. Suaminya tidak memberikan uang. Istri hamil berjuang sendiri. Itu karena adatnya begitu. Tugas laki-laki di sana hanya membuka lahan. Nanti istrinya yang disuruh kerja.
Saya memperbaiki sistem informasi kesehatan. Sebab sejak otonomi hancur sekali. Sekarang nggak ada orang yang membuat laporan kesehatan. Sistem informasi kesehatan tidak jalan. Provinsi pun tidak tahu laporan kesehatan di kabupaten/kota.
Apa hikmah dari perjalanan Anda selama ini?
Yang jelas saya merasa pengalaman saya luar biasa banyak. Saya jadi menguasai HIV dan TBC. Saya berperan banyak di sana. Sekarang saya masih konsultan kesehatan di kabupaten.
Bagaimana tanggapan orang di sekitar Anda?
Mereka masih nggak percaya pilihan saya sampai saat ini. Karena nggak banyak dokter yang memilih untuk praktik di perdalaman. Kebanyakan di kota. Temen-temen bilang, "lu dokter gila, gue nggak habis pikir".
Saya bilang ke anak, jangan berpikir hidup itu matematis. Gaji kecil nggak bisa punya rumah. Saya bilang kerja saja, Tuhan maha adil. Selain itu, saya jadi PNS nggak korupsi.
Biografi singkat Tigor Silaban
Tigor Silaban lahir di Bogor, 1 April 1953. Dia merupakan pensiunan PNS di Papua. Tigor merupakan alumnus dari SMA Kanisius Jakarta tahun 1978. Pendidikan kedokteran dia selesaikan di Universitas Indonesia. Sementara S2-nya dia mengambil ilmu Kesehatan Masyarakat di kampus yang sama.
Karir kedokterannya dia habiskan di Papua. Mulai menjadi dokter di kawasan pedalaman, sampai menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan di Kabupaten Jayawijaya sampai tahun 1993. Selama karirnya sebagai dokter, dia sudah mengantungi 38 tanda jasa di bidang kesehatan. Tigor merupakan anak dari Friedrich Silaban, seorang wakil kepala proyek pembangunan Masjid Istiglal. Ayahnya merupakan salah satu tim arsitek Masjid Istiglal.