Tigor Silaban: Legenda Dokter di Zona Merah Pedalaman Papua

Senin, 19 Oktober 2015 | 07:00 WIB
Tigor Silaban: Legenda Dokter di Zona Merah Pedalaman Papua
Tigor Silaban. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Teman sejawat tidak habis pikir dengan pilihan Tigor Silaban yang memilih bekerja di pedalaman Papua sebagai dokter. Bahkan Tigor memilih di kawasan ‘zona merah’ yang rawan penembakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) sebagai tempat praktiknya.

Di usianya yang ke -62 tahun ini, anak asli Bogor, Jawa Barat itu masih mengabdikan diri menjadi ‘petugas kesehatan’ di Tolikara, Papua. Dia keluar masuk hutan mencari orang yang butuh pertolongan. Bahkan ayah 3 anak ini memilih menjadi warga Papua dan meningalkan Jawa.

Tigor adalah dokter ‘langka’ di Indonesia. Di saat para dokter ingin bekerja di kawasan yang sudah tersentuh pembangunan dan kecanggihan teknologi, dia malah memilih bertugas di Pedalaman Oksibil, Puncak Jaya, Papua. Dia di sana sejak tahun 1979.

Keterbatasan alat kesehatan di Papua jaman dulu tidak membuatnya mengeluh. Di tengah keterbatasannya itu, Tigor tetap melakukan operasi besar. Mulai dari operasi melahirkan sampai operasi tumor. Banyak kisah yang diceritakan Tigor, semua kisah ‘mengerikan’ dan menggelitik.

Sebab tindakan operasi yang dia lakukan selama di pedalaman Papua tidak lazim. Namun Tigor mengklaim keselamatan pasien nomor satu. Makanya selama 34 tahun aktif menjadi dokter, tidak ada satu pasien pun yang meninggal di meja operasinya.

"Karena nggak banyak dokter yang memilih untuk praktik di perdalaman. Kebanyakan di kota. Temen-temen saya bilang, ‘lu dokter gila, gue nggak habis pikir’," cerita Tigor.

Selain pengalaman seru menjadi dokter di pedalaman Papua yang masih ‘perjaka’, Tigor juga bercerita tentang operasi-operasi ala pedalaman Papua yang belum ada listrik. Bahkan dia harus berjalan berminggu-minggu dari kampong ke kampong untuk mengobati penduduk.

Bagiamana cerita serunya? Berikut wawancara suara.com dengan Tigor Silaban saat datang ke Jakarta beberapa waktu lalu:

Bagimana awal Anda menjadi dokter pedalaman di Papua?

Dulu kan semua calon dokter mengikuti Instruksi Presiden (Inpres) tentang pengiriman dokter ke daerah. Isinya meletakkan dokter yang baru lulus untuk masuk ke daerah-daerah yang perlu dioptimalkan pelayanan kesehatannya. Tapi belakangan instruksi tersebut sudah tidak bisa memaksa seseorang.

Saat itu kita ditempatkan di puskesmas. Jadi ada benarnya Inpres itu dulu. Penempatan sampai ke puskesmas pembantu, jadi ada tenaga dokter di sana. Inpres itu dimulai tahun 70-an awal. Saya tahun 1979 ke pedalaman Papua. Dalam Inpres itu ada paket membangun puskesmas, puskesmas pembantu, dan semua alat kesehatan, tenaga dokter gigi, ahli gizi, perawat, bidan, dan tenaga lingkungan dikirim dari Jakarta.

Kebutuhan dokter di Papua selalu tercatat, jadi kalau butuh tinggal hubungi pusat dan dikirim kebutuhan itu.

Tapi masalah obat, Pemda belum punya uang dan belum bisa membeli. provinsi belum berstatus otonomi, dan selalu kekurangan uang. Semua dari pusat. Tapi sekarang pun setelah otonomi, puskesmas tidak juga berlebihan, walaupun uang banyak. Puskesmas sekarang kosong, tenaganya mau cari ke kota semua. Itu persoalan lain lagi. Ada uang tapi orangnya nggak mau ditempatkan di sana. Maunya ke kota.

Bagaimana kondisi di sana?

Dulu saya ditempatkan di Kabupaten Jayawijaya. Keadaan di sana tidak sama seperti sekarang. Dulu, kabupaten Jayawijaya seluas Jawa Barat, sekarang sudah dipecah. Dulu transportasi hanya menggunakan Pesawat Cessna dari Wamena. Kira-kira lama perjalanan 15 sampai 20 menit. Sementara akses darat hanya bisa dilalui dengan jalan kaki selama seminggu.

Dulu, saya melakukan itu. Jalan kaki selama seminggu sekali dengan perawat lelaki. Sebab jaman dahulu pesawat sangat sulit didapat. Karena prioritas pengangkutann pesawat untuk misionaris. Pesawat jarang dan medannya sangat sulit. Tapi jika diperlukan untuk kebutuhan pasien, pasti bisa.

Pertama praktik di Papua saya ditempatkan di Oksibil. Dulu di sana daerah merah atau zona berbahaya. Bahkan Panglima TNI tidak boleh ke sana. Penembakan masih marak di Puncak Jaya.

Apa alasan Anda ingin ditempatkan di sana, bukan kah menjadi dokter di kota lebih enak?

Saya ingin bertugas di sana atas keinginan sendiri. Saya janji dengan Tuhan, kalau saya lulus, saya ingin bekerja di pedalaman Papua, jauh dari Jakarta. Saya ingin menorong orang, dan tidak ingin praktik.

Saya terus terang nggak suka dengan kedokteran, saya lebih suka arsitek seperti ayah saya. Saya daftar di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saja, sementara tema-teman saya mempunyai pilihan cadangan. Saya berharap tidak diterima di UI. Ayah saya bilang, kalau nggak keterima, saya boleh masuk teknik. Tapi sayangnya saya diterima, jadinya saya malas sekolah karena bukan dari hati. Banyak mainnya daripada sekolahnya.

Satu saat agar absensi saya terjaga, saya sampai bayar dengan rokok petugas absensi. Saat itu absen kurang dari 25 persen, maka nggak boleh ikut ujian.

Tapi makin di tingkat akhir, saya bingung. Kok sekolah lancar banget. Sementara teman-teman saya banyak yang gagal dan nggak naik kelas. Makanya saya malu dengan Tuhan. Saya janji kalau saya lulus, saya akan kerja jauh dari Jakarta.

Anda ada di kawasan rawan konflik dan penembakan, apa yang Anda siapkan saat itu?

Saya 37 tahun jadi dokter, tapi nggak pernah praktek atau membuka praktek. Saya ingin daerah merah, yaitu Oksibil. Saya bawa bekel ke Oksibil untuk 2 tahun. Bawa minyak tanah 1 drum, sewa pesawat, bawa beras dan sebagainya.

Setelah saya tugas di sana, dalam beberapa bulan ada dokter di bunuh. Saya diminta pindah oleh bupati Wamena dari Oksibil untuk membantu karena di Wamena tidak ada dokter. Saat itu Rakyat marah karena saya pindah. Saya melihat betapa mereka butuh dokter. Di Oksibil, saya dokter satu-satunya.

Saat dokter di Wamena terbunuh, kabar itu disiarkan lewat radio panggil di masing-masing puskesmas. Banyak para kepala suku medengar, mereka pikir saya yang di bunuh. Mereka angkat senjata untuk berperang ke desa sebelah. Meski sudah dijelaskan, mereka tidak percaya.

Akhirnya saya minta ke Bupati, kalau ke Wamena, pesawat harus mampir dulu ke Bokondini untuk bertemu dengan para kepala suku itu. Agar mereka lihat dan percaya kalau saya masih hidup.

Akhirnya saya di Wamena, karena di sana kekurangan dokter dan tenaga medis. Saya rangkap tugas di puskesmas dan rumah sakit. Saat itu saya sudah jadi Pegawai Negeri Sipil, jadi setelah dikirim statusnya langung jadi PNS. Bukan seperti sekarang menjadi pegawai tidak tetap (PTT) terlebih dulu. Saya nggak suka dengan konsep PTT itu. Dokter PTT itu nggak punya pegangan dan merasa tak terikat dengan tugasnya. Beda dengan PNS yang otomatis terikat.

PTT itu semacam wajib kerja dan sebagai syarat jika dokter ingin sekolah kembali ambil spesialis. Kalau Dokter PTT itu mikirnya, “kapan dia akan selesai bertugas?”. Saya bilang, saat dulu kita akan kekurangan dokter senior saat PTT ini jalan. Sebab dalam aturan pegawaian harus pegawai negeri yang senior akan memimpin dinas atau rumah sakit. Jadi yang pimpin dinas kesehatan atau rumah sakit itu bukan dokter.

Setelah sistem PTT ini, daerah pedalaman tidak mempunyai perawat gigi. Sebab semua ditangani dengan dokter umum.

Seberapa terbatasnya fasilitas kesehatan saat Anda datang?

Waktu saya pertama ke Bokondini, serba terbatas. Saat saya di kabupaten, saya bawa alat-alat operasi minor, alat aborsi, persalinan, vakum ekstrasi dari gudang milik dinas kesehatan di Wamena. Saya bawa ke puskesmas saya, itu yang saya pakai untuk bekerja.

Bagaimana Anda bisa bekerja dengan keadaan terbatas itu?

Dulu, saya untuk tolong orang tidak pakai anestesi atau pembiusan, kecuali untuk yang luka-luka berat. Itu ada anestesi lokal. Semisal angkat tumor kecil kita lakukan. Dari persalinan sulit sampai persalinan yang sudah mati kita kerjakan juga.

Ada salah satu kasus, bayi di dalam kandungan sudah meninggal, dan posisinya melilit dengan tali pusar. Jadi, kita potong kepala bayinya saja. Sebelum memotong, kita Tanya ke ayah si bayi, “mau ibu selamat atau dua-duanya meninggal?”. Akhirnya saya gunting leher bayi, si ibu selamat.

Operasi lain apa saja yang berbahaya?

Kalau di puskesmas, kita nggak boleh mengerjakan operasi atau tindakan medis yang secara logika tidak boleh kita kerjakan di puskesmas. Misal caesar. Karena perawat di sana pengatahuannya parah sekali. Mereka lulusan SPK1 atau setelah tamat SD lalu ikut pendidikan keperawatan. Di puskemas saya ada 6 orang perawat SPK1.

Kita kunjungi rumah yang sakit dengan jalan kaki sampai 6 jam di Bokondini. Tiap pekan mengunjungi puskemas kampung sebelah dengan obat yang seadanya. Obat yang dikirimkan dari Depkes sangat sedikit sekali jenisnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI