Suara.com - Sepanjang tahun 2015 sampai, Minggu (11/10/2015) kemarin ada 137 pesawat yang kecelakaan di berbagai negara di dunia. Pesawat itu mulai dari jenis Boeing, Airbus, bahkan Cessna.
Khusus di Indonesia ada 6 pesawat kecelakaan pesawat. Keenam pesawat itu adalah Trigana Air jenis DHC-6-300 Twin Otter (11 Januari 2015), Deraya Air Taxi jenis British Aerospace ATP-F (LFD) (4 Maret 2015), Hercules C-130B milik TNI AU (30 Juni 2015), Trigana Air jenis ATR 42-300 (16 Agustus 2015), Cardig Air jenis Boeing 737-3Q8BDSF (28 Agustus 2015), dan Aviastar jenis DHC-6 Twin Otter 300 (2 Oktober 2015). Berdasarkan data situs Aviation Safety, dari 6 pesawat, 4 di antaranya kecelakaan di Papua.
Pengamat penerbangan dan investigator swasta khusus kasus-kasus kecelakaan pesawat, Gerry Soejatman tidak kaget dengan banyaknya kecelakaan pesawat di Indonesia timur, seperti di Papua. Medan yang sulit dan infrastuktur terbatas di sana, seharusnya membuat pemerintah memaklumi kecelakaan itu.
"Dengan menteri (Menteri Perhubungan Ignatius Jonan) yang sekarang, maskapai nggak boleh salah. Kalau salah, dihukum," kata Gerry.
Saat ini peringkat Indonesia versi Federation Aviation Administration (FAA) di kategori 2 atau a Failure. Ini disebabkan regulator Indonesia tidak memenuhi standar pengawasan keselamatan penerbangan yang ditetapkan International Civil Aviation Organization (ICAO). FAA menyebut sistem penerbangan di Indonesia kacau. Makanya seluruh sistem penerbangan di Indonesia perlu diperbaiki.
FAA menemukan kekurangan terkait dengan regulasi untuk menjembatani masalah pengawasan dan pengecekan berkala dalam peraturan kelaikan udara di Kemenhub. FAA juga menyoroti masalah sumber daya manusia seperti kebutuhan inspektor pesawat khusus. Selama ini inspektor untuk melakukan pengawasan terhadap jenis pesawat tertentu hanya terdiri dari dua orang. Itu pun disuplai dari maskapai lokal.
Gerry mengatakan peraturan penerbangan di Indonesia ‘amburadul’. Menurutnya, Kementerian Perhubungan terlalu mudah menutup sebuah maskapai penerbangan. Padahal alasannya tidak ada sangkut pautnya dengan alasan keamanan penerbangan.
Salah satunya keinginan Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang akan membekukan 8 maskapai penerbangan karena belum memenuhi ketentuan pemenuhan kepemilikan pesawat. Ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun tentang penerbangan.
"Itu undang-undang dagelan menurut saya," kata Gerry.
Peraturan penerbangan Indonesia mana saja yang ‘amburadul’? Apakah solusi yang bisa dilakukan agar penerbangan di Indonesia timur minim insiden kecelakaan?
Berikut analisa Gerry Soejatman dalam wawancara suara.com pekan lalu di Sudirman Central Business District (SCBD), Jakarta:
Indonesia disorot Federation Aviation Administration (FAA) karena sistem penerbangan di Indonesia buruk. Anda melihat ada masalah apa dengan penerbangan di Indonesia?
Dari sisi keselamatan penerbangan, tugas pemerintah itu gampang. Pemerintah membuat peraturan apa? Lalu diikuti tidak peraturan itu? Kita punya kendala, banyak laporan maskapai penerbangan tertutup, laporan penerbangan tidak jalan. Makanya tahun 2007 kita kena oleh FAA.
Pada 16 April 2007, FAA menurunkan peringkat Indonesia ke kategori 2 atau a Failure. Karena regulator Indonesia tidak memenuhi standar pengawasan keselamatan penerbangan yang ditetapkan International Civil Aviation Organization (ICAO). (ICAO: badan khusus PBB yang menangani permasalahan penerbangan sipil antar negara)
Seharusnya, kalau ada maskapai pekerbangan yang melaporkan safety report, Kementerian Perhubungan harus terbuka untuk berdiskusi, mendengarkan cerita, dan dicari pencegahannya. Semenjak menterinya Ignatius Jonan (Kementerian Perhubungan), maskapai tidak berani laporkan safety report. Sebenarnya ini persoalan mindset. Karena tugas regulator itu bukan sebagai polisi. Regulator ini tugasnya kayak panti sosial, maskapai punya masalah apa? Kasih tahu peraturannya. Tapi kalau maskapai penerbangan tidak ingin ikuti peraturannya, tendang dan selesai (tutup).
Tapi sebelum sampai ke tahap itu (penutupan) harus dibina dulu. Tapi sekarang ini regulator kayak polisi, main hukum saja. Maka budaya safety ini tidak bisa ditanamkan kalau seperti itu. Kalau saat ini maskapai mengaku ada salah, langsung ditindak. Itu tidak akan membuat maskapai sadar dan membentuk budaya safety.
Dengan menteri yang sekarang, maskapai nggak boleh salah. Kalau salah, dihukum.
Bukankah itu dilakukan lantaran agar maskapai itu menjadi aman untuk terbang?
Bicara soal penerbangan, bukan bicara soal "tidak akan ada musibah penerbangan". Maskapai yang bagus pun akan kena musibah. Kalau nggak mau ada musibah, tutup saja semua maskapai penerbangan. Setiap ingin 'bermain' di dunia penerbangan, pasti ada risiko itu.
AirAsia itu kurang baik apa? Masih tetap kecelakaan. Garuda Indonesia sering sekali tergelincir. Padahal AirAsia dan Garuda yang terbaik di antara penerbangan lainnya.
Kalau laporan minor (tidak baik) maskapai turun tahun ini, saya tidak terkejut. Makapai nggak berani melapor. Saat ini kalau ada kecelakaan, pemerintah pasti akan mencari siapa yang salah. Sikap seperti itu yang harus diubah. Laporan safety dari maskapai itu banyak dilakukan sejak 2010 sampai 2013. Tapi saat ini sudah tidak banyak. Tahun 2014 sudah mulai kendur.
Indonesia juga disorot banyak maskapainya yang tidak memenuji standar keamanan…
Defenisi tidak memenuhi standar dari mana? Maskapai kita sudah diakui oleh Eropa. Garuda, AirAsia. Maskapai kita 10 tahun terakhir ini sudah lebih bagus. Tapi memang masih ada yang bandel, tapi mereka itu bisa dicari. Hampir semua maskapai penerbangan di Indonesia memenuhi standar keamanan. Paling hanya 2-3 buah maskapai yang tidak standar.
Tapi yang perlu di lihat, daerah operasi mereka ini ada di mana? Sebut lah di wilayah timur, wajar kalau disebut tidak aman. Medannya itu yang tidak aman. Ngeri banget terbang di pedalaman.
Tapi masyarakat di sana berhak mendapatkan transportasi penerbangan. Pemerintah tidak bisa melarang maskapai di sana tidak beroperasi dengan alasan tidak layak terbang. Medannya saja ekstrim. Apakah mau pemerintah memotong puncak bukit untuk dijadikan bandara? Kebanyakan bandara di Papua dan kawasan timur itu ada di lembah.
Coba pasang ILS (Instrument Landing Syatem) di bandara di Wamena, mantul itu sinyalnya karena ada di lembah dan di antara gunung. ILS adalah alat bantu pendaratan instrumen (non visual) yang digunakan untuk membantu penerbang dalam melakukan prosedur pendekatan dan pendaratan pesawat di suatu bandara.
ILS ini ada 3 sistem, yaitu Localizer (LOC) yang memberikan sinyal pemandu azimuth mengenai kelurusan pesawat terhadap garis tengah landasan pacu, atau membantu pesawat terbang agar tepat di centerline landasan pada saat mendarat. Localizer beroperasi pada daerah frekuensi 108 MHz hingga 111,975 MHz. Glide Slope (GS) yang memberikan sinyal pemandu sudut luncur pendaratan (3 derajat) , atau membantu pesawat terbang agar tepat di touchdown pada saat mendarat. Glide Slope sering juga disebut Glide Path (GP) dan bekerja pada frekuensi UHF antara 328,6 MHz hingga 335,4 MHz. Dan Marker Beacon yang menginformasikan sisa jarak pesawat terhadap titik pendaratan. Marker beroperasi pada frekuensi 75 Hz.
Sekarang saja barang-barang sudah menumpuk di Papua karena jarang ada penerbangan. Sebab Airlines yang mengangkut barang di Papua harus mempunyai izin sebagai airlines kargo. Mana ada yang bisa. Itu menyebabkan harga barang di Papua naik 2 kali lipat.
Infrastuktur penerbangan di Indonesia timur tidak memadai?
Jangankan di timur, di Kalimantan saja sering tak ada listrik.
Kita harus sadar, jika kita hanyalah manusia. Dan Indonesia bukan hanya Pulau Jawa. Jangan membuat aturan yang terpusat pada Jawa. Lihat lah di luar medannya seperti apa? Itu di Kalimantan saja, ada listrik nggak? Bahan bakar tersedia nggak? Kalau ada pesawat jatuh, ini dianggap salah penerbangan.
Jadi berhentilah melihat siapa yang salah. Tapi apa yang kurang dan yang perlu diperbaiki.
Di Papua, medannya saja sudah susah. Solusinya, Kementerian Perhubungan jangan berpikir sebagai orang Jakarta dan Jawa. Di sana berbeda apa yang dibutuhkan di Jawa. Misal ILS itu tidak bisa dipasang di bandara di kawasan pegunungan seperti Papua. Karena akan memantul ke dinding sinyalnya. Itu bukan solusi tepat. Kalau memang ILS itu harus dipasang, maka bukit seluas 5000 hektar di sana harus dipangkas untuk dijadikan bandara.
Wajar tidak bandara mengeluarkan puluhan triliun hanya untuk bandara yang dikunjungi ratusan orang? Nggak masuk akal itu. Bandara perintis, butuh ILS atau tidak? Selama ini aman-aman aja. Jadi jangan main tutup pesawat kalau pesawat kecelakaan.
Contoh kasus di Amerika Serikat, di Alaska. Dulu hitungannya, kemarian penerbangan di sana setiap 4 hari ada 1 orang yang mati. Saat ini 1 orang mati perbulan. Mereka duduk bersama dan berdiskusi. Mungkin nggak pesawat besar masuk situ. Mereka harus bawa barang-barang ke Alaska.
Kondisi di Alaska dan bagian timur Indonesia, terutama Papua ini sama. Kalau tidak ada pesawat terbang ke sana (Papua dan Alaska), makan ada banyak mausia yang mati kelaparan dan kedinginan. Di Alaska, penerbangan dengan medan sulit dan maskapai tahu kalau risikonya mati.
Yang penting ikuti prosedur keselamatan, tapi kalau tetap kecelakaan, siapa yang salah? Nah di Indonesia harus menerima itu, jika penerbangan di Papua itu sulit. Semestinya khusus di Papua itu, pesawat jangan sampai dilarang terbang. Mau makan apa daerah-daerah di sana?
Bagaimana kalau pelarangannya itu demi keamanan?
Sekarang, tipe pesawat mana yang belum pernah kecelakaan? Semua hampir pernah. Setiap pesawat yang ingin terbang pasti dicek dan dinyatakan layak. Lalu mau dicek apalagi? Saat ini, kalau ada kecelakaan, maka pesawat dinyatakan tidak boleh terbang dan harus diperiksa. Harus diperiksa apanya? Inspektorat juga pasti tanya, apa yang ingin diperiksa.
FAA juga menyoroti kebutuhan inspektor pesawat khusus di Indonesia. Inspektor ini untuk melakukan pengawasan terhadap jenis pesawat tertentu. Indonesia saat ini hanya mempunyai dua orang pengawas yang disuplai dari maskapai lokal. Bagaimana keadaan sebenarnya terkait hal itu?
Iya meang kurang, karena inspektor itu harus memeuhi persyaratan. Qualifit tidak? Saat ini inspector dari kalangan militer. Inspektor itu bukan berdasarkan kuantitas, tapi kualitas. Kalau jumlah inspektorat 1.000 orang tapi kualitasnya jelek, percuma. Di Indonesia ada 50-an orang inspektor. Cuma 50 orang ini punya spesifikasi. Banyak inspector banyak dari swasta murni.
Mereka memeriksa airlines A, tapi kerjanya di Airlines B. Inspektor gajinya Rp80 sampai Rp130 juta sebulan. Apa pemerintah mau bayar yang gajinya lebih besar daripada menteri? Di luar negeri juga begitu, kalau tidak bisa bayar, bisa sewa insektor yang kerja di maskapai lain. Kalau pemerintah punya inspektor yang benar, gajinya besar dan akan melanggar aturan gaji PNS. Intinya, tidak segampang yang dikira.
Pemerintah Indonesia tidak ingin ada pilot yang mati dalam tugas. Kalau ada yang mati, salah. Ini anggapan salah. Kemarin, pilot Pesawat United Airlines pingan saat terbang. Mau bilang itu ada ‘main’ di medical check up? Ini kan cari-cari masalah aja.
Sejauhmana kesadaran maskapai penerbangan untuk melaporkan safety flight?
Laporan minor maskapai dilaporkan secara sukaela dari maskapai, tidak ada kewajiban. Isinya persoalan insiden yang terjadi maskapai, bukan hanya saat kecelakaan. Kemenhub harus menerima itu dan membinanya. Maskapai juga harus sadar jika sudah berbuat salah. Maskapai ingin dibantu mengatasi maslaah untuk mencegah. Selama ini Kemenhub selalu tanya, orang yang berbuat salah itu sudah dipecat belum?
Kalau memang melanggar, melanggar di penerbangan itu kalau disengaja. Kalau tidak disengaja itu namanya kesalahan. Kalau melanggar tidak sengaja, jangan dihukum.
Infrastruktur bandara di Indonesia disebut tidak layak dari sisi keamanan. Sebab belum lama terjadi penyusupan penumpang gelap di roda pesawat. Bagaimana pandangan Anda?
Di negara lain banyak yang seperti itu, orang dengan mudah bisa masuk bandara. Tapi masalahnya bukan orang bisa masuk atau tidak. Tapi bisa masuk, kok nggak ketahuan. Kedua, itu penumpang gelap, sudah tahu berbahaya, ngapain dibela? Masukan penjara saja, tidak perlu dilepaskan. Mau membuat bandara kayak penjara? Ongkosnya berapa?
Misalnya landasan di tengah gunung di Papua nggak menggunakan pagar. Memang mau bikin pagar kayak apa? Kayu yang dipakai untuk membuat rumah. Bisa melihat pesawat dari dekat itu hak sebagai warga negara. Kalau orang nggak boleh lihat pesawat, 10 tahun lagi nggak akan ada pilot.
Jika penerbangan di kawasan timur sudah ekstrim dan berbahaya, apa solusinya?
Terbang dengan visual. Pertama pilot belajar terbang itu dengan visual, tanpa arahan kontrol. Tidak pakai navigasi. Baca peta dan GPS. Penerbangan visual itu bukan suatu yang dilarang, itu halal. Itu lazim digunakan penerbangan komersil dengan pesawat kecil. Di Indonesia, SusiAir terbang pakai visual. Saya terbang di Jakarta pakai visual.
Syaratnya jarak padang harus minimum 5 km dan tidak boleh masuk awan dan hujan tidak bisa terbang. Di Australia dan Selandia Baru penerbangan pakai visual. Di Amerika, penerbangan pakai visual itu banyak. Jadi nggak masalah dan tidak membahayakan.
Hanya saja kita harus mengakui kalau penerbangan di Papua itu sulit, dibutuhkan bantuan lebih. Pesawat tidak bisa terbang lebih dari 10 ribu kaki. Karena keterbatasan oksigen, pegunungan di sana tingginya 13 ribu kaki dan banyak awan. Pesawat harus balik.
Bagaiana bisa aman? Yang kita butuhkan adalah bagaimana kita bisa memperdaya ilmu teknologi yang bisa memberikan informasi itu ke pilot. Kita belajar dari Alaska. Pesawat di sana sering menabrak pegunungan. Kita bisa pakai alat yang namanya RNP (Required Navigation Performance), dipasang ke pesawiat kecil. Tapi itu mahal sekali dan mamskapai bisa bangkrut kalau menggunakan itu.
Kita bisa terbang dengan visual, tapi harus memasang pemancar di beberapa titik agar bisa memberikan informasi cuaca dan keadaan lembah.
Anda mengatakan aturan penerbangan di Indonesia terlalu ‘aturan Jawa’. Mungkinkah Indonesia membuat peraturan sendiri tentang penerbangan khusus di kawasan timur?
Bisa. Dalam peraturan keselamatan area. Bisa saja aturan penerbangann khusus di terbang visual yang masuk pegunungan. Contohnya di Alaska, dia punya. Negera bagian itu membuat aturan soal standar keselamatan. Karena areanya saja sudah beda.
Kalau terbang di Papua itu harus punya EDSB, alat yang tidak perlu pakai radar untuk mengirimkan pesan. Itu berbentuk semacam radio, antena radio. Pasang di panel, pakai baterai. Nantinya ATC itu cuma monitor saja.
Kalau di Indonesia alat itu belum ada. Di amerika sudah diterapkan sejak tahun 2000-an. Alatnya nggak murah. Jika di Alaska, Dinas Perhubungan Udara di sana memberikan fasilitas kredit untuk maskapai yang ingin memasang alat itu. Pemerintah memberikan subsidi. Tapi jika maskapai mempunyai pesawat baru yang ingin dipasangkan, dia harus beli sendiri.
Saat ini saja penerbangan perintis yang disubsidiitu sudah nggak banyak, kebanyakan swasta murni. Rakyat di Papua sudah bisa mampu bayar dan tidak harus disubsidi lagi. Sebab kebanyakan yang pakai pesawat itu adalah pedagang.
Apa saja aturan penerbangan Indonesia yang kacau?
Peraturan Menteri Nomor 30 tahun 2015, tentang sanksi administratif terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan. Isinya apapun yang salah pasti harus dihukum, diberikan sanski. Kalau begitu, mau nggak maskapai memberikan safety report ke regulator? Mereka akan takut dan diam saja. Safety report itu sifatnya voluntary.
Kalau di luar negeri lebih parah, voluntary dan anonymous. Ini karena supaya orang mengaku dan kesalahan sekecil apapun bisa sadar. Kalau orang sudah komitmen dengan safety. Dia tidak mencari yang harus disalahkan. Mereka akan mencari cara bagaimana untuk tidak terulang lagi.
Lalu aturan undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang penerbangan soal aturan kuota pesawat. Itu undang-undang dagelan menurut saya. Nggak masuk akal, nggak ada hubungannya dengan keselamatan. Sekarang kalau orang bisnis maskapai dengan kurang dari 10 pesawat, tapi semua pesawat dia aman dan safety, apakah salah?
Lainnya soal peraturan batas tarif minimum, itu juga nggak masuk akal. Lebih baik perang tariff, biarkan saja. Begitu maskapai ketahuan nggak aman, hentikan saja. Sebab monitoring keselamatan itu bukan soal penaikan harga. Seharusnya operasionalnya dilihat.
Dari sisi maskapai, mana yang perlu dibenahi?
Maskapai harus serius dengan safety. Yang lucu, di Indonesia itu maskapai yang serius dengan safety itu yang insiden. Lion saja sudah sagat serius sekarang. Mereka lebih serius daripada Garuda.
Meski pun mereka sering telat...
Sering telat bukan masalah safety. wajar nggak dia telat? Di Eropa saja ada maskapai yang telatnya hitungnya harian. Waktu itu Air Madrid di Spanyol. Akhirnya Airlines itu ditutup karena bukan safety, tapi mereka tidak bisa memberikan layanan yang konsisten. Jadi penutupan Airlines itu bisa dilakukan jika alasannya tepat.
Biografi singkat Gerry Soejatman
Gerry merupakan pengamat penerbangan dan investigator swasta khusus kasus-kasus kecelakaan pesawat. Lulusan keuangan University of Technology Sydney, Australia ini sudah memperhatikan dan mempelajari dunia penerbangan sejak kecil. Karir Gerry di industri penerbangan dimulai dengan menjadi Wakil Presiden sebuah perusahaan survei udara terpencil di Jakarta. Selain itu Gerry pernah bergabung di DNK Aviation dengan memimpin Aviation Solutions.
Gerry aktif di forum-forum penerbangan nasional dan internasional. Kekritisan pengamatannya di dunia penerbangan, membuat Gerry sering kali menjadi pengamat kunci di media internasional seperti National Geographic saat kecelakaan Adam Air Boeing 737-400 tahun 2007.
Dia juga penulis tetap website komunitas penerbangan terbesar di dunia, airliners.net. Salah satunya Gerry mengulas kasus kecelakaan pesawat Air France di Samudra Atlantik pada 2009. Analisa Gerry ditampilkan di sana.