Bagaimana kalau pelarangannya itu demi keamanan?
Sekarang, tipe pesawat mana yang belum pernah kecelakaan? Semua hampir pernah. Setiap pesawat yang ingin terbang pasti dicek dan dinyatakan layak. Lalu mau dicek apalagi? Saat ini, kalau ada kecelakaan, maka pesawat dinyatakan tidak boleh terbang dan harus diperiksa. Harus diperiksa apanya? Inspektorat juga pasti tanya, apa yang ingin diperiksa.
FAA juga menyoroti kebutuhan inspektor pesawat khusus di Indonesia. Inspektor ini untuk melakukan pengawasan terhadap jenis pesawat tertentu. Indonesia saat ini hanya mempunyai dua orang pengawas yang disuplai dari maskapai lokal. Bagaimana keadaan sebenarnya terkait hal itu?
Iya meang kurang, karena inspektor itu harus memeuhi persyaratan. Qualifit tidak? Saat ini inspector dari kalangan militer. Inspektor itu bukan berdasarkan kuantitas, tapi kualitas. Kalau jumlah inspektorat 1.000 orang tapi kualitasnya jelek, percuma. Di Indonesia ada 50-an orang inspektor. Cuma 50 orang ini punya spesifikasi. Banyak inspector banyak dari swasta murni.
Mereka memeriksa airlines A, tapi kerjanya di Airlines B. Inspektor gajinya Rp80 sampai Rp130 juta sebulan. Apa pemerintah mau bayar yang gajinya lebih besar daripada menteri? Di luar negeri juga begitu, kalau tidak bisa bayar, bisa sewa insektor yang kerja di maskapai lain. Kalau pemerintah punya inspektor yang benar, gajinya besar dan akan melanggar aturan gaji PNS. Intinya, tidak segampang yang dikira.
Pemerintah Indonesia tidak ingin ada pilot yang mati dalam tugas. Kalau ada yang mati, salah. Ini anggapan salah. Kemarin, pilot Pesawat United Airlines pingan saat terbang. Mau bilang itu ada ‘main’ di medical check up? Ini kan cari-cari masalah aja.
Sejauhmana kesadaran maskapai penerbangan untuk melaporkan safety flight?
Laporan minor maskapai dilaporkan secara sukaela dari maskapai, tidak ada kewajiban. Isinya persoalan insiden yang terjadi maskapai, bukan hanya saat kecelakaan. Kemenhub harus menerima itu dan membinanya. Maskapai juga harus sadar jika sudah berbuat salah. Maskapai ingin dibantu mengatasi maslaah untuk mencegah. Selama ini Kemenhub selalu tanya, orang yang berbuat salah itu sudah dipecat belum?
Kalau memang melanggar, melanggar di penerbangan itu kalau disengaja. Kalau tidak disengaja itu namanya kesalahan. Kalau melanggar tidak sengaja, jangan dihukum.
Infrastruktur bandara di Indonesia disebut tidak layak dari sisi keamanan. Sebab belum lama terjadi penyusupan penumpang gelap di roda pesawat. Bagaimana pandangan Anda?
Di negara lain banyak yang seperti itu, orang dengan mudah bisa masuk bandara. Tapi masalahnya bukan orang bisa masuk atau tidak. Tapi bisa masuk, kok nggak ketahuan. Kedua, itu penumpang gelap, sudah tahu berbahaya, ngapain dibela? Masukan penjara saja, tidak perlu dilepaskan. Mau membuat bandara kayak penjara? Ongkosnya berapa?
Misalnya landasan di tengah gunung di Papua nggak menggunakan pagar. Memang mau bikin pagar kayak apa? Kayu yang dipakai untuk membuat rumah. Bisa melihat pesawat dari dekat itu hak sebagai warga negara. Kalau orang nggak boleh lihat pesawat, 10 tahun lagi nggak akan ada pilot.
Jika penerbangan di kawasan timur sudah ekstrim dan berbahaya, apa solusinya?
Terbang dengan visual. Pertama pilot belajar terbang itu dengan visual, tanpa arahan kontrol. Tidak pakai navigasi. Baca peta dan GPS. Penerbangan visual itu bukan suatu yang dilarang, itu halal. Itu lazim digunakan penerbangan komersil dengan pesawat kecil. Di Indonesia, SusiAir terbang pakai visual. Saya terbang di Jakarta pakai visual.
Syaratnya jarak padang harus minimum 5 km dan tidak boleh masuk awan dan hujan tidak bisa terbang. Di Australia dan Selandia Baru penerbangan pakai visual. Di Amerika, penerbangan pakai visual itu banyak. Jadi nggak masalah dan tidak membahayakan.
Hanya saja kita harus mengakui kalau penerbangan di Papua itu sulit, dibutuhkan bantuan lebih. Pesawat tidak bisa terbang lebih dari 10 ribu kaki. Karena keterbatasan oksigen, pegunungan di sana tingginya 13 ribu kaki dan banyak awan. Pesawat harus balik.
Bagaiana bisa aman? Yang kita butuhkan adalah bagaimana kita bisa memperdaya ilmu teknologi yang bisa memberikan informasi itu ke pilot. Kita belajar dari Alaska. Pesawat di sana sering menabrak pegunungan. Kita bisa pakai alat yang namanya RNP (Required Navigation Performance), dipasang ke pesawiat kecil. Tapi itu mahal sekali dan mamskapai bisa bangkrut kalau menggunakan itu.
Kita bisa terbang dengan visual, tapi harus memasang pemancar di beberapa titik agar bisa memberikan informasi cuaca dan keadaan lembah.
Anda mengatakan aturan penerbangan di Indonesia terlalu ‘aturan Jawa’. Mungkinkah Indonesia membuat peraturan sendiri tentang penerbangan khusus di kawasan timur?
Bisa. Dalam peraturan keselamatan area. Bisa saja aturan penerbangann khusus di terbang visual yang masuk pegunungan. Contohnya di Alaska, dia punya. Negera bagian itu membuat aturan soal standar keselamatan. Karena areanya saja sudah beda.
Kalau terbang di Papua itu harus punya EDSB, alat yang tidak perlu pakai radar untuk mengirimkan pesan. Itu berbentuk semacam radio, antena radio. Pasang di panel, pakai baterai. Nantinya ATC itu cuma monitor saja.
Kalau di Indonesia alat itu belum ada. Di amerika sudah diterapkan sejak tahun 2000-an. Alatnya nggak murah. Jika di Alaska, Dinas Perhubungan Udara di sana memberikan fasilitas kredit untuk maskapai yang ingin memasang alat itu. Pemerintah memberikan subsidi. Tapi jika maskapai mempunyai pesawat baru yang ingin dipasangkan, dia harus beli sendiri.
Saat ini saja penerbangan perintis yang disubsidiitu sudah nggak banyak, kebanyakan swasta murni. Rakyat di Papua sudah bisa mampu bayar dan tidak harus disubsidi lagi. Sebab kebanyakan yang pakai pesawat itu adalah pedagang.
Apa saja aturan penerbangan Indonesia yang kacau?
Peraturan Menteri Nomor 30 tahun 2015, tentang sanksi administratif terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang penerbangan. Isinya apapun yang salah pasti harus dihukum, diberikan sanski. Kalau begitu, mau nggak maskapai memberikan safety report ke regulator? Mereka akan takut dan diam saja. Safety report itu sifatnya voluntary.
Kalau di luar negeri lebih parah, voluntary dan anonymous. Ini karena supaya orang mengaku dan kesalahan sekecil apapun bisa sadar. Kalau orang sudah komitmen dengan safety. Dia tidak mencari yang harus disalahkan. Mereka akan mencari cara bagaimana untuk tidak terulang lagi.
Lalu aturan undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang penerbangan soal aturan kuota pesawat. Itu undang-undang dagelan menurut saya. Nggak masuk akal, nggak ada hubungannya dengan keselamatan. Sekarang kalau orang bisnis maskapai dengan kurang dari 10 pesawat, tapi semua pesawat dia aman dan safety, apakah salah?
Lainnya soal peraturan batas tarif minimum, itu juga nggak masuk akal. Lebih baik perang tariff, biarkan saja. Begitu maskapai ketahuan nggak aman, hentikan saja. Sebab monitoring keselamatan itu bukan soal penaikan harga. Seharusnya operasionalnya dilihat.
Dari sisi maskapai, mana yang perlu dibenahi?
Maskapai harus serius dengan safety. Yang lucu, di Indonesia itu maskapai yang serius dengan safety itu yang insiden. Lion saja sudah sagat serius sekarang. Mereka lebih serius daripada Garuda.
Meski pun mereka sering telat...
Sering telat bukan masalah safety. wajar nggak dia telat? Di Eropa saja ada maskapai yang telatnya hitungnya harian. Waktu itu Air Madrid di Spanyol. Akhirnya Airlines itu ditutup karena bukan safety, tapi mereka tidak bisa memberikan layanan yang konsisten. Jadi penutupan Airlines itu bisa dilakukan jika alasannya tepat.
Biografi singkat Gerry Soejatman
Gerry merupakan pengamat penerbangan dan investigator swasta khusus kasus-kasus kecelakaan pesawat. Lulusan keuangan University of Technology Sydney, Australia ini sudah memperhatikan dan mempelajari dunia penerbangan sejak kecil. Karir Gerry di industri penerbangan dimulai dengan menjadi Wakil Presiden sebuah perusahaan survei udara terpencil di Jakarta. Selain itu Gerry pernah bergabung di DNK Aviation dengan memimpin Aviation Solutions.
Gerry aktif di forum-forum penerbangan nasional dan internasional. Kekritisan pengamatannya di dunia penerbangan, membuat Gerry sering kali menjadi pengamat kunci di media internasional seperti National Geographic saat kecelakaan Adam Air Boeing 737-400 tahun 2007.
Dia juga penulis tetap website komunitas penerbangan terbesar di dunia, airliners.net. Salah satunya Gerry mengulas kasus kecelakaan pesawat Air France di Samudra Atlantik pada 2009. Analisa Gerry ditampilkan di sana.