Suara.com - Media massa di Indonesia, terutama televisi pernah dikritik oleh Presiden Joko Widodo karena menyanyikan program hanya berpatokan kepada lembaga rating. Sehingga program di TV Indonesia tidak berkualitas.
“Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif,” begitu kata Jokowi Agustus lalu.
Hal itu disampaikan Jokowi dalam Sidang Bersama DPR/DPD di Gedung DPR/MPR/DPD Jakarta, 4 hari sebelum usia Indonesia genap 70 tahun.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menilai kritikan itu harus ditanggapi serius. Salah satunya Indonesia harus membuat lembaga survei konsumen TV atau rating. Sebab selama ini rating TV di Indonesia ditentukan oleh lembaga asing, AC Nielsen. Pengusaha iklan menjadikan hasil survei Nielsen sebagai patokan ‘televisi yang mempunyai banyak penonton’.
"Cita-cita mempunyai lembaga ratting seperti Nielsen, harus kita jaga terus cita-citanya," kata Rudi.
Menurut Rudi, konsumen media massa Indonesia harus dijaga. Bagaimana caranya?
Begitu juga dalam hal perlindungan di era media digital. Mulai dari perlindungan atas informasi dan perlindungan hukum. Termasuk perlindungan dari jeratan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Saat ini revisi UU itu tengah berjalan di pemerintah. Tak lama lagi akan diserahkan ke DPR. Rudi mengklaim banyak perubahan yang ‘meringankan’ dalam UU ITU.
Apa saja perubahan itu? Simak wawancara khusus suara.com dengan Rudiantara di ruang kerjanya pecan lalu:
Perlindungan data pribadi di era digital saat ini sangat penting. Banyak kasus, pencurian data dan penggunaan data pribadi tapa izin. Bagaimana Kominfo mencegah kasus ini berulang?
Kita belum punya Undang-Undangnya, kita akan bicarakan dengan DPR dan mudah-mudahan masuk dalam prolegnas berikutnya. Hanya saja kalau tunggu prolegnas 2016, itu kan perlu waktu. Yang kami siapkan adalah Peraturan Menteri tentang Perlindungan Data Pribadi. Tahun ini akan kami keluarkan.
Kalau mengambil data, semisal nomor telepon, tanpa pesetujuan nggak boleh. Karena begini kalau konsepnya keanggotaannya itu kesepakatan keanggotaan. Misalnya kita di aplikasi saja, kita lihat term and condition data itu sendiri. Misal WhatsApp dan google memang ada yang seperti itu.
Karena itu harus dilakukan. Karena ketiadaan UU itu sendiri, kita akan masukkan ke prolegnas 2016. Tapi kalau nunggu juga lama. Kita akan keluarkan tahun ini juga Pemen Perlindungan Data Pribadi itu.
Sebab Mei lalu Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengaku mendapatkan pesan yang isinya tawaran ‘esek-esek’. Entah dari mana nomor telepon itu didapat…
Kalau yang kasus Mensos itu apa? Bu Mensos terima SMS dengan mencantumkan nama bu Mensos apa nggak? Kalau nggak, kita juga nggak tahu apakah menggunakan data yang dari suatu tempat atau SMS blas (acak) saja. Kalau SMS blas itu susah, kalau itu apakah penyalahgunaan data atau tidak itu susah. Kalau SMS blas itu asal saja.
Ada isu yang sudah lama beredar, operator seluler menjual data pelanggan. Bagaimana ini?
Operator nggak boleh, ada aturannya. Kecuali berkaitan dengan pelanggan itu sendiri. Tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain, di luar kepentingan pelanggan. Kecuali yang sifatnya analisis traffic, itu kan bukan namanya, bukan identitas si pelanggan.
Tapi informasi penggunaan, itu sih memang analisis dan nggak sampai ke nomor. Penggunaan nomor mungkin saja, tapi untuk mengelompokan nomor telepon daerah mana karena terafiliasi dengan wilayah.
Poin apa saja yang diatur dalam Permen itu?
Yang akan diatur soal penggunaan, tata cara yang tidak diperbolehkan. Kita juga ada konsultasi publik. Jadi sebelum ditandatangani, peraturan itu akan lewat konsultasi publik. Akan disebar ke publik lewat website atau juga komunitas. Akan dibahas sama-sama, nanti ada masukan apa? Kalau relevan dan strategis, akan kita masukkan dan ditindaklanjuti.
Apa sanski bagi si pelanggar?
Karena ini bentuknya peraturan menteri, beda dengan UU. Tidak terlalu enforceable atau ditegakkan. Maka itu kita tunggu UU-nya.
Karena fokus UU tahun ini ada 3 kan. Yaitu UU ITE, Revisi UU penyiaran, dan UU penggabungan RRI dan TVRI. Kalau kebanyakan, kita jadi nggak fokus. Jadi 3 dulu aja. Karena nanti juga ada revisi UU telekomunikasi yang boleh dikatakan ini sudah lama sejak 1999. Sudah 17 tahun. Sementara perkembangan telekomunikasi kita sudah banyak berubah.
UU ITE belum masuk DPR, tapi sudah diharmonisasi di pemerintah. Tinggal 1 step lagi kamu rapatkan di Polhukam setelah itu disampaikan ke presiden, setelah itu diserahkan ke DPR.
Sejumlah pasal dalam UU ITE itu juga banyak yang minta untuk dihapus. Di antaranya pasal pencemaran nama baik dan penistaan agama. Apakah akan dihapus?
Karena kepentingannya banyak. Kita kepentingan paling umum dan paling relevan saja. Khususnya pasal 27 ayat 3. Karena dianggap pasal karet. Pasal itu memungkinkan mereka bisa ditangkap dulu, baru ditanya.
Penetapan hukumannya sampai dengan 6 tahun, di mana kalau di atas 5 tahun bisa langsung dipidana. Sekarang kita turunkan di bawah 5 tahun. Jadi 4 tahun usulan kami. Jadi nggak bisa serta merta disalahgunakan. Selain itu, itu harus masuk ke delik aduan. Kalau nggak ada yang mengadu ya sudah.
Kita sudah bahas ini dengan komunitas yang mendorong ini diubah. Karena ini kan awal-awal jadi menteri, saya sudah bahas. Kasusnya pun sudah lebih dari 100. Yang lain ada beberapa perubahan, tapi bersifat teknis.
Di kalangan aktivis ingin menghilangkan pasal pidana, karena di KUHP sudah cukup mengatur....
Permasalahannya, KUHP ini kan belum ada karena masih tahap revisi. Jadi menurut saya, jalan dulu saja revisi UU ITE ini. Saat KUHP di revisi, yah disesuaikan lagi. Nanti pasti ada harmonisasi lagi.
Ada kasus pencematan nama baik gubernur. Nah gubernur itu tunggu tindakan pencemarannya itu masuk ke online karena dia ingin menjerat dengan UU ITE ini. Di UU ITE ini hukumannya lebih berat…
Nah itu yang kita hindari, dijadikan penyalahgunaan. Kalau saya sih, yang mana bisa jalan duluan, yah jalan lah. Jadi ini kan masih berproses. Masih ada pembahasan dengan pemerintah. Daripada bahas terus dan nggak maju-maju.
Apa pertimbangan diberikan hukuman 4 tahun?
Yang penting di bawah 5 tahun. Ya sudah lah itu dulu.
Insya allah oktober ini kita kirim ke DPR draf revisinya. Karena tinggal rapat di Menkopolhukam sekali. Saya perkirakan UU ITE ini yang pertama disahkan oleh DPR.
Yang penting ketok dulu saja, karena kita nggak bisa mengakomodir semua kepentingan. Saya pun di pemerintah harus mengkonfirmasi ke penegak hukum. Kenapa harus diubah? Kenapa begini? Ini bagian dari pihak yang kepentingannya berbeda.
Ratting TV juga belakangan dipermasalahkan oleh Presiden Joko Widodo. Namun isu ratting ini sudah lama. Ratting disebut mengacaukan program acara TV sehingga jadi tidak mendidik. Bagaiamana Kominfo meneruskan keluhan Presiden itu?
Sebetulnya ranah konten TV bukan ranah saya. Berdasarkan UU dibagi, kalau soal sumber daya terbatas dan perizinan ada di kominfo. Tapi soal konten ini di KPI.
Tapi yang namanya presiden itu kan kepala negara dan kepala pemerintah. Sementara KPI itu lapornya ke DPR, karena dipilih DPR. Tapi sebagai kepala negara, ini masalahnya kasus negara yang harus diselesaikan. Makanya saya di situ bicara mendukung posisi KPI. Kalau pun memang, nanti mau ada semacam lembaga ratting sendiri boleh-boleh saja, nanti kita lihat.
Tapi sekarang mau tak mau dan suka tak suka Nielsen itu menjadi rujukan yang memasang iklan. Kan yang TV tergantung iklan, dan pemasang iklan tergantung Nielsen. Kalau menurut saya, cita-cita mempunyai lembaga ratting seperti Nielsen, harus kita jaga terus cita-citanya. Tapi kita harus realistis mulainya dari mana?
Sekarang yang namanya KPI juga membuat survei secara berkala. Nantinya kita bentuk supportnya tidak hanya dalam bentuk survey. Tapi dalam bentuk metode. Jadi nantinya yang pasang iklan itu akan berpikir selain Nielsen ini ada yang lain rujukannya. Posisi saya akan mendukung KPI, terutama dalam hal balancing.
Nielsen selama metodenya terbuka dan transparansinya ada, so what? Karena kalau ada pembanding, kalau metodenya terbuka, ya itu mekanisme pasar.
Tapi Nielsen tertutup dalam hal metode...
Kalau itu harus ada usaha dari semuanya. Utamanya TV. Ownernya, KPI, Kominfo bicara "tolong buka". Agar transparan.
Apakah kominfo akan memberkan dana yang besar ke KPI untuk bisa membuat lembaga ratting dalam negeri?
Itu yang dilakuan. Memang budgetnya tidak besar karena masuk ke APBN. Karena dalam revisi UU penyiaran, saya berharap ada pemberdayaan dari KPI. Apakah KPI dan KPID ini berjalan bareng? Karena KPI dipilih DPR dan KPID dipilih DPRD. Apakah nanti ke depanya yang lebih efektif KPID adalah perwakila dari pusat, itu yang harus dibicarakan. Maka kalau KPI diberdayakan, termasuk monitoring dari kualitas kontennya, saat itu juga kita mempunyai dunia penyiaran yang berbeda.
Kritik atas Nielsen ini sudah dilakukan Amerika Serikat sejak tahun 60-an, sehingga mereka membuat membentuk pengawas ratting TV yang bisa mengaudit. Lalu Oktober kemarin TV-TV di Thailand melakukan tender ulang lembaga ratting karena tidak percaya dengan hasil ratting Nielsen. Apakah Indonesia bisa melakukan hal yang sama dengan tidak ketergantungan dengan lembaga ratting?
Kita melihatnya bukan lembaga rattingnya. Kita bersama kementerian perdagangan, ia mengawasi lembaga survei yang berkaitan dengan konsumen. Mungkin dari situ bisa kita buat.
Kalau misalnya itu dalam bentuk undang-undang, kita bicara dengan DPR. Tapi harus dilihat lebih makro, jangan dilihat kecil seperti Nielsen. Ini kan prinsipnya survei pasar. Nielsen itu kebetulan dia menyediakan ratting TV. Dia itu lembaga survei yang besar untuk pasar. Itu harus lebih komprehensif. Pada hasilnya ini membentuk opini kepada market. Nah market itu kan masyarakat Indonesia yang harus dilindungi.
Saya belum bicara soal ini ke Kemendag, tapi ini yang akan saya bicarakan dengan Menteri Perdagangan baru Thomas Lembong.
Hampir sebagian besar iklan di media online, 80 persen uangnya keluar negeri tanpa ke Indonesia?
Iya karena salah satu topik pembicaraan saya dengan Menkeu. Ini harus melibatkan perusahaan periklanan, karena tujuannya bukan untuk mematikan itu. Karena harus ada level kesetaraan. Sehingga kalau berkompetisi kalau selevel enak. Nah ini kan kalau di dalam negeri harus bayar pajak. Sementara di sana dilepas. Misalkan mereka harus ada di Indonesia, dan bayar di sini dalam bentuk rupiah.
Misal masalah Uber (sistem pemesanan taksi secara online), masyarakat diuntungkan nggak? Tapi ada juga yang merasa dirugikan. Tapi ini teknologi nggak bisa dibendung. Ini saya sebagai regulator di TIK, ini nggak bsia dibendung.
Makanya saya harus bicara dengan sektor transportasi dengan Pak Ignasius Jonan (Menteri Perhubungan). Bagaimana ini? Kalau dari sisi teknologi, ini masyarakat selalu merasakan manfaatnya.
Lainnya e-commers ini. Dia merusak tatanan yang ada dan agrasif nggak pernah berhenti. Tapi ini memberikan manfaat. Apalagi media sosial yang rada kacau. Mungkin setengah dari pada informasinya jangan didengerin. Jangan terlalu serius di media sosial. Makin ke sini, kualitas informasi dan keaslian informasi makin diragukan.
Bagaimana cara Kominfo menghadapi banyaknya hater di medis sosial?
Kalau menghadapi situs, kita bisa address cepat. Mengacu ke UU ITE. Ada yang sifatnya aduan dan analisis. Kemudian media social, itu harus sudah pasti caranya beda.
Kalau yang situs ada yang namanya blacklist, kalau media sosial nggak bisa. Harus minta ke Facebook, Google. Di negara lain penghapusan ini harus melewati pengadilan. Kalau di Indonesia, hubungan kami baik denga Facebook atau juga Google, dengan waktu yang tidak lama bisa dihilangkan dari medsos. Karena mereka punya etika sendiri.
Apakah ada hambatan dalam ‘memerangi’ para hater?
Kalau kiata bicara pornografi, di sini (Indonesia) porno, ada juga nude, lalu di negara barat dianggap art. Karena di kita ada UU pornografi. Tapi di dunia sana (barat) itu industri. Kalau kita block 10, tumbuh 20 dan seterusnya.
Nah akhirnya saya minta mereka (perushaan media social) buka kantor di Indonesia. Ini ada kepentingan sendiri. Misal OTT (over-the-top) ini kayak WhatsApp. Di Eropa, tahun 2016 mereka sudah subject ke lisensi. Kalau Indonesia menandatangani lisensi susah, yang akan pusing operator seluler.
Pemerintah juga mendorong OTT nasional, kami sudah bicara dengan AKSI. Kalau di Eropa diterapkan, nah di sini diterapkan.
Kominfo menargetkan internet berkecepatan tinggi bisa dinikmati sampai pelosok. Bagaimana kabar program itu?
Kita fokus ke broadband. Fokus kepada connectivity. Sampai sekarang ini 10 persen kabupaten kota madya belum terhubung broadband. Jadi kami punya program Palapa Ring. Ini sudah 10 tahun didiskusikan, tapi nggak jalan-jalan. Karena masalah keuangan nggak visible.
Nah sekarang kita putuskan pemerintah harus masuk. Karena di program Palapa Ring kabupaten dan kota madya itu harus terhubung sampai 2018. Kita akan subsidi.
Secara population coverage, untuk selular sudah 95 persen. Tapi itu 2G. Sekarang kita dorong ke 3G dan 4G. 4G tahun ini kita refarming 1.800 MHz. Karena ekonsistemnya paling bagus. Hari ini kita sudah mulai di Pulau Jawa, kita kan mulai dari timur. Akhir tahun sudah selesai. 1 Januari 2016 masyarakat sudah menikmati 4G tinggi di band 1.800 MHz.
Dari sisi handset saja ada 1.800 MHz lebih merk di dunia yang bisa 4G LTE. Tahun depan 2.100 MHz, terus secara bertahap. Nanti kalau digital sudah diperoleh, televis sudah migrasi dari analog ke digital. Terus nanti kita kejar lah. Kan kita nomor 4 di Asean, kalau disipllin infrasruktur.
Broadband itu saya pakai ekosistem ada 3 yaitu, NDA. Network, device kita keluarkan TKDN yang mulai 1 Januari 2012 minimal 30 persen. Kemudian aplikasi. Aplikasi e-commers yang kita kejar.
Bagaimana keterlibatan peran swasta?
Semua swasta untung, yang tidak untung pemerintah masuk. Swasta tidak bisa dipaksa ke sana. Tapi swasta memberikan konstribusi USO (Universal Service Obligation). Dengan USO ini kita kembalikan ke subsidi.
Nanti, 5 tahun lagi 2G nggak akan ada di Indonesia. Tahun 2020 saya bicara dengan teman-teman manufaktur, 4G itu harganya Rp1,1 juta. Tahun 2020, harganya Rp500 ribu. Harganya turun, dalam waktu bersamaan daya beli masyarakat meningkat.
Biografi Rudiantara
Chief RA, begitu panggilan akrab Rudiantara yang lahir di Bogor, 3 Mei 1959 silam. Lelaki 56 tahun itu merupakan profesional di bidang telekomunikasi dan pernah berkarier di Indosat, Telkomsel, Excelcomindo (kini XL Axiata), dan Telkom. Malang melintang di industri telekomunikasi itu lah kemudian di antara teman-teman dan koleganya, dia dipanggil Chief RA.
RA juga pernah bekerja di PT PLN (Persero) sebagai Wakil Direktur Utama. Pada saat ditunjuk menjadi menteri, ia menjabat sebagai anggota komisaris di Indosat.
Ia memulai karier pada tahun 1996 di Indosat sebagai General Manager Business Development. Ia juga pernah menjadi Chief Operating Officer PT Telekomindo Primabhakti sejak 1996 dan menduduki beberapa jabatan eksekutif selama 11 tahun di Indosat dan Telkomsel hingga 2006. Ia menjabat sebagai Wakil Presiden Direktur PT Semen Gresik (Persero), Presiden Direktur dan CEO PT Bukit Asam Transpacific Railways dan PT Rajawali Asia Resources.
Ia pernah menjadi Wakil Presiden Direktur PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) sejak 2008 dan kemudian menjadi direkturnya, Direktur Hubungan Korporat PT XL Axiata Tbk dari Maret 2005 hingga 2008 dan sekaligus sebagai direkturnya. Lalu sebagai Direktur Penjualan dan Pemasaran untuk Solusi Bisnis pada Juni 2003. Ia juga pernah menjadi Wakil Presiden Direktur PT Semen Indonesia (Persero), Tbk dan Semen Gresik Persero, juga sebagai Direktur.
Terakhir, ia menjadi sebagai Presiden Komisaris PT Rukun Raharja sejak 11 Juni 2014. Ia juga Komisaris Independen PT Indosat Tbk sejak 1 November 2012. Ia juga dipercaya sebagai Komisaris Independen di PT Telekomunikasi Indonesia sejak 1 Januari 2011 hingga Mei 2012, dan telah menjadi Komisionaris sejak September 2008. Ia juga menjadi Sekretaris Jenderal Asosiasi Telepon Selular Indonesia.
(Suwarjono)