Rudiantara: Pertahankan Semangat Bentuk Lembaga Rating TV Sendiri

Senin, 05 Oktober 2015 | 07:00 WIB
Rudiantara: Pertahankan Semangat Bentuk Lembaga Rating TV Sendiri
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Media massa di Indonesia, terutama televisi pernah dikritik oleh Presiden Joko Widodo karena menyanyikan program hanya berpatokan kepada lembaga rating. Sehingga program di TV Indonesia tidak berkualitas.

“Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif,” begitu kata Jokowi Agustus lalu.

Hal itu disampaikan Jokowi dalam Sidang Bersama DPR/DPD di Gedung DPR/MPR/DPD Jakarta, 4 hari sebelum usia Indonesia genap 70 tahun.

Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara menilai kritikan itu harus ditanggapi serius. Salah satunya Indonesia harus membuat lembaga survei konsumen TV atau rating. Sebab selama ini rating TV di Indonesia ditentukan oleh lembaga asing, AC Nielsen. Pengusaha iklan menjadikan hasil survei Nielsen sebagai patokan ‘televisi yang mempunyai banyak penonton’.

"Cita-cita mempunyai lembaga ratting seperti Nielsen, harus kita jaga terus cita-citanya," kata Rudi.

Menurut Rudi, konsumen media massa Indonesia harus dijaga. Bagaimana caranya?

Begitu juga dalam hal perlindungan di era media digital. Mulai dari perlindungan atas informasi dan perlindungan hukum. Termasuk perlindungan dari jeratan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Saat ini revisi UU itu tengah berjalan di pemerintah. Tak lama lagi akan diserahkan ke DPR. Rudi mengklaim banyak perubahan yang ‘meringankan’ dalam UU ITU.

Apa saja perubahan itu? Simak wawancara khusus suara.com dengan Rudiantara di ruang kerjanya pecan lalu:

Perlindungan data pribadi di era digital saat ini sangat penting. Banyak kasus, pencurian data dan penggunaan data pribadi tapa izin. Bagaimana Kominfo mencegah kasus ini berulang?

Kita belum punya Undang-Undangnya, kita akan bicarakan dengan DPR dan mudah-mudahan masuk dalam prolegnas berikutnya. Hanya saja kalau tunggu prolegnas 2016, itu kan perlu waktu. Yang kami siapkan adalah Peraturan Menteri tentang Perlindungan Data Pribadi. Tahun ini akan kami keluarkan.

Kalau mengambil data, semisal nomor telepon, tanpa pesetujuan nggak boleh. Karena begini kalau konsepnya keanggotaannya itu kesepakatan keanggotaan. Misalnya kita di aplikasi saja, kita lihat term and condition data itu sendiri. Misal WhatsApp dan google memang ada yang seperti itu.

Karena itu harus dilakukan. Karena ketiadaan UU itu sendiri, kita akan masukkan ke prolegnas 2016. Tapi kalau nunggu juga lama. Kita akan keluarkan tahun ini juga Pemen Perlindungan Data Pribadi itu.

Sebab Mei lalu Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengaku mendapatkan pesan yang isinya tawaran ‘esek-esek’. Entah dari mana nomor telepon itu didapat…

Kalau yang kasus Mensos itu apa? Bu Mensos terima SMS dengan mencantumkan nama bu Mensos apa nggak? Kalau nggak, kita juga nggak tahu apakah menggunakan data yang dari suatu tempat atau SMS blas (acak) saja. Kalau SMS blas itu susah, kalau itu apakah penyalahgunaan data atau tidak itu susah. Kalau SMS blas itu asal saja.

Ada isu yang sudah lama beredar, operator seluler menjual data pelanggan. Bagaimana ini?

Operator nggak boleh, ada aturannya. Kecuali berkaitan dengan pelanggan itu sendiri. Tidak boleh digunakan untuk kepentingan lain, di luar kepentingan pelanggan. Kecuali yang sifatnya analisis traffic, itu kan bukan namanya, bukan identitas si pelanggan.

Tapi informasi penggunaan, itu sih memang analisis dan nggak sampai ke nomor. Penggunaan nomor mungkin saja, tapi untuk mengelompokan nomor telepon daerah mana karena terafiliasi dengan wilayah.

Poin apa saja yang diatur dalam Permen itu?

Yang akan diatur soal penggunaan, tata cara yang tidak diperbolehkan. Kita juga ada konsultasi publik. Jadi sebelum ditandatangani, peraturan itu akan lewat konsultasi publik. Akan disebar ke publik lewat website atau juga komunitas. Akan dibahas sama-sama, nanti ada masukan apa? Kalau relevan dan strategis, akan kita masukkan dan ditindaklanjuti.

Apa sanski bagi si pelanggar?

Karena ini bentuknya peraturan menteri, beda dengan UU. Tidak terlalu enforceable atau ditegakkan. Maka itu kita tunggu UU-nya.

Karena fokus UU tahun ini ada 3 kan. Yaitu UU ITE, Revisi UU penyiaran, dan UU penggabungan RRI dan TVRI. Kalau kebanyakan, kita jadi nggak fokus. Jadi 3 dulu aja. Karena nanti juga ada revisi UU telekomunikasi yang boleh dikatakan ini sudah lama sejak 1999. Sudah 17 tahun. Sementara perkembangan telekomunikasi kita sudah banyak berubah.

UU ITE belum masuk DPR, tapi sudah diharmonisasi di pemerintah. Tinggal 1 step lagi kamu rapatkan di Polhukam setelah itu disampaikan ke presiden, setelah itu diserahkan ke DPR.

Sejumlah pasal dalam UU ITE itu juga banyak yang minta untuk dihapus. Di antaranya pasal pencemaran nama baik dan penistaan agama. Apakah akan dihapus?

Karena kepentingannya banyak. Kita kepentingan paling umum dan paling relevan saja. Khususnya pasal 27 ayat 3. Karena dianggap pasal karet. Pasal itu memungkinkan mereka bisa ditangkap dulu, baru ditanya.

Penetapan hukumannya sampai dengan 6 tahun, di mana kalau di atas 5 tahun bisa langsung dipidana. Sekarang kita turunkan di bawah 5 tahun. Jadi 4 tahun usulan kami. Jadi nggak bisa serta merta disalahgunakan. Selain itu, itu harus masuk ke delik aduan. Kalau nggak ada yang mengadu ya sudah.

Kita sudah bahas ini dengan komunitas yang mendorong ini diubah. Karena ini kan awal-awal jadi menteri, saya sudah bahas. Kasusnya pun sudah lebih dari 100. Yang lain ada beberapa perubahan, tapi bersifat teknis.

Di kalangan aktivis ingin menghilangkan pasal pidana, karena di KUHP sudah cukup mengatur....

Permasalahannya, KUHP ini kan belum ada karena masih tahap revisi. Jadi menurut saya, jalan dulu saja revisi UU ITE ini. Saat KUHP di revisi, yah disesuaikan lagi. Nanti pasti ada harmonisasi lagi.

Ada kasus pencematan nama baik gubernur. Nah gubernur itu tunggu tindakan pencemarannya itu masuk ke online karena dia ingin menjerat dengan UU ITE ini. Di UU ITE ini hukumannya lebih berat…

Nah itu yang kita hindari, dijadikan penyalahgunaan. Kalau saya sih, yang mana bisa jalan duluan, yah jalan lah. Jadi ini kan masih berproses. Masih ada pembahasan dengan pemerintah. Daripada bahas terus dan nggak maju-maju.

Apa pertimbangan diberikan hukuman 4 tahun?

Yang penting di bawah 5 tahun. Ya sudah lah itu dulu.

Insya allah oktober ini kita kirim ke DPR draf revisinya. Karena tinggal rapat di Menkopolhukam sekali. Saya perkirakan UU ITE ini yang pertama disahkan oleh DPR.

Yang penting ketok dulu saja, karena kita nggak bisa mengakomodir semua kepentingan. Saya pun di pemerintah harus mengkonfirmasi ke penegak hukum. Kenapa harus diubah? Kenapa begini? Ini bagian dari pihak yang kepentingannya berbeda.

Ratting TV juga belakangan dipermasalahkan oleh Presiden Joko Widodo. Namun isu ratting ini sudah lama. Ratting disebut mengacaukan program acara TV sehingga jadi tidak mendidik. Bagaiamana Kominfo meneruskan keluhan Presiden itu?

Sebetulnya ranah konten TV bukan ranah saya. Berdasarkan UU dibagi, kalau soal sumber daya terbatas dan perizinan ada di kominfo. Tapi soal konten ini di KPI.

Tapi yang namanya presiden itu kan kepala negara dan kepala pemerintah. Sementara KPI itu lapornya ke DPR, karena dipilih DPR. Tapi sebagai kepala negara, ini masalahnya kasus negara yang harus diselesaikan. Makanya saya di situ bicara mendukung posisi KPI. Kalau pun memang, nanti mau ada semacam lembaga ratting sendiri boleh-boleh saja, nanti kita lihat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI