Suara.com - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masuk dalam titik terendah sepanjang 4 tahun terakhir. Jumat (25/9/2015) pekan lalu rupiah anjlok sampai Rp14.675 perdolar AS.
Dalam sebuah riset Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, sejak pertengahan 2011, Rupiah sudah tergerus sampai 42,14 persen terhadap dolar. Ini akibat pelemahan ekonomi global.
Sebagai negara yang miskin produk ekspor, Indonesia memang paling merasakan pelemahan ekonomi ini. Terlebih diprediksi pelemahan ekonomi ini belum ada ujungnya.
Sementara dampak nyata pelemahan ekonomi di Indonesia adalah banyaknya pemutusan hubungan kerja. Pengusaha sudah mengurangi jam kerja para karyawan hingga Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karena penjualan produknya menyepi.
Data banyaknya buruh yang diPHK sudah banyak dilansir di media. Di Bekasi, Jawa Barat sudah ada 120.000 buruh yang diPHK. Lainnya, data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebutkan ada 36.000 buruh diPHK. Di Jombang, Jawa Timur sudah ada 1.520 buruh diPHK. Sementara, data resmi Kementerian Tenaga Kerja mencatat hanya 26 ribu buruh yang diPHK karena pelambatan ekonomi.
Ekonom dari Universitas Gajah Mada, Tony Prasetiantono melihat dampak pelemahan ekonomi ini akan semakin nyata dan signifikan. Sayangnya, kata dia, ini diprediksi akan terus berlanjut sampai 2016 mendatang. Meski Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro optimis pelemahan ekonomi ini berakhir tahun depan.
"Kalau Pak Menteri Keuangan memang harus begitu, harus memberikan optimisme," kata Komisaris Independen Bank Permata itu.
Tony pun melihat banyaknya paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sudah cukup baik. Dia yakin itu bisa mengangkat perekonomian. Tapi itu akan berlangsung lama. Sebab paket kebijakan ekonomi yang langsung diumumkan Presiden Joko Widodo itu adalah kebijakan jangka panjang.
Hanya saja, Tony memberikan catatan terhadap paket-paket kebijakan yang ditelurkan Pemerintahan Jokowi. Jika tidak, pelemahan terus berlanjut dan semakin parah.
Apa sebenarnya yang menyebabkan pelemahan ekonomi di Indonesia? Separah apa pelemahan ekonomi saat ini? Apa solusi untuk keluar dari anjloknya ekonomi negara yang sekali mengklaim kaya raya ini?
Berikut wawancara suara.com dengan Tony akhir pekan lalu di Kampus UGM, Yogyakarta dalam suasana santai:
Sampai saat ini the Fed masih menunda menaikkan suku bunga. Sementara IHSG dan rupiah terus anjlok hampir Rp15.000 perdolar AS. Bagaimana Anda membaca kondisi ini?
Jadi sekarang ini yang terjadi adalah liquiditas di seluruh dunia. Liquiditas itu uang, dana terlalu banyak. Kenapa terlalu banyak? Karena ketika krisis tahun 2008 Amerika mencetak uang banyak sampai 4,2 triliun dolar. Itu jumlah yang sangat besar. Anda ingat Juli 2011 nilai tukar rupiah terhadap dolar Rp8.600. Itu puncak rupiah menguat atau sebaliknya puncak dolar melemah.
Nah ekonomi amerika lama-lama jadi baik karena dolar melemah kemudian, nah kalau dolar murah ekonomi Amerika membaik kenapa? Karena ongkos produksi jadi murah. Dengan dolar yang makin murah dan produksi membaik, akibatnya employment tercipta, tercipta lapangan pekerjaan. Nah itu terjadi terus sampai sekarang, ekonomi Amerika membaik.
Dampak dari ekonomi Amerika membaik adalah pemerintah Amerika menghentikan cetak uang karena dianggap kebijakan itu sudah sukses. Lalu Amerika berinisiatif untuk menarik kembali uang itu caranya adalah dengan berencana menaikkan suku bunga, The Fed. Itu karena amerika merasa kebijakannya sudah cukup sukses, sekarang waktunya untuk mengoreksi.
Suku bunga mau dinaikkan karena suku bunga sekarang itu rendah sekali di Amerika, 0,25 persen. Mau dinaikkan menjadi 0,5 persen supaya uang itu nggak mengalir ke sana kemari. Akibatnya terjadi aktivitas spekulasi, orang itu membuat, orang-orang kaya itu memperlakukan dolar likuiditas itu sebagai barang spekulasi, itu bahaya. Tapi belum sempat amerika mengoreksi itu sekarang sudah terjadi.
Jadi kalau menurut saya sekarang ini dolar sudah liar ke sana kemari. Orang kaya sudah miliki dolar, ang celaka kita. Sekarang ini menurut saya, dulu yang mencari dolar itu pengusaha, mau bayar utang, importer. Nah sekarang tidak, orang biasa juga mau beli dolar karena melihat dolar adalah alat untuk investasi. Alat untuk menyelamatkan kekayaan.
Jadi kita ini sudah masuk pada wilayah itu tanpa bisa kita control. Jadi sebenarnya yang salah itu Amerika sebetulnya. Tapi juga ekonom juga tidak mengingatkan waktu itu, karena nggak sadar yang sudah dilakukan itu nanti dampaknya apa. Kita tahunya ya kuantatitatif fishing. Kuantitatif fishing adalah cetak uang, nanti dolar melemah Amerika ekonomi membaik.
Jadi Amerika juga bingung, jadi mau panggil pulang dolar itu dikendalikan. Akibatnya sekarang dolar itu terlalu kuat. Amerika juga nggak suka, hanya kenaikan suku bunga itu belum terjadi, ditunda – tunda terus. Karena kalau sampai itu dinaikkan suku bunganya dolarnya semakin kuat lagi.
Nah yang terkena masalah sekarang ini kita. Yang paling parah sekarang itu ada Indonesia, Brazil dan Malaysia. Masing – masing negara itu punya masalah sendiri. Indonesia terkena dampak karena struktur ekonominya jelek. Lebih banyak ke arah primary product. Eksport kita kebanyakan bangsanya batubara, kelapa sawit, dan timah yang harganya jatuh semua. Kenapa harganya jatuh? Karena harga minyak jatuh dan suplay berlebihan.
Pemerintahan Joko Widodo sudah mengeluarkan 2 kali kebijakan ekonomi. Seberapa jauh kebijakan itu berpengaruh ke perbaikan ekonomi?
Jokowi tidak salah. ‘Obat’ itu sudah untuk jangka panjang. Karena yang jangka pendek itu nggak ada. Karena kita sakitnya struktural. Ini ibaratnya, Anda sakit kanker minta obat yang seminggu sembuh, obat kanker itu semuanya memerlukan waktu.
Obat yang jangka pendek untuk perbaiki ekonomi itu hampir nggak ada. Kecuali kalau kita negara besar, punya cadangan devisa yang besar 300 miliar dolar AS. Tapi kan cadangan devisa kita malah tinggal 100 miliar dolar AS.
Memang sekarang ini kita harus berusaha meyakinkan investor untuk datang ke Indonesia. Tapi semuanya itu perlu waktu. Termasuk kemarin Pak Jokowi pergi ke Timur Tengah, dengan harapan mereka menaruh dana ke Indonesia. Tapi mana? Dan tidak ada pengalaman kita Timur Tengah itu kirim uang banyak ke Indonesia, itu nggak ada. Ya maaf itu agak sia – sia.
Jadi kita membanyangkan punya banyak kesamaan, kita kirim haji banyak, umroh banyak, muslim terbesar di dunia, terus mereka kirim uang. Ternyata nggak seperti itu, mereka juga punya problem harga minyak dari 100 dolar AS perbarrel ke 40 dolar AS perbarrel. Indonesia maunya dalam jangka pendek tiba – tiba ada modal datang brek, terus rupiah menguat.
Dulu kan pasar melihatnya cadangan devisa naik, duitnya dari mana? Nggak bisa, satu – satunya yang bisa membuat rupiah menguat, kalau kita bisa surplus perdagangannya membesar. Itu nggak mungkin dalam waktu pendek. Tiba-tiba ekspornya naik terus impornya turun terus, surplusnya meningkat. Itu kan nggak bisa. Jadi menurut saya ya memang solusinya pelan-pelan.
Sementara solusi yang di paket-paket kebijakan ekonomi itu sifatnya memperbaiki struktur ekonomi. Perbaikan struktur itu perlu waktu. Investor masuk perlu waktu, nggak seketika masuk banyak, terus kita menguat itu nggak bisa.
Tapi apa jangka pendek yang bisa memperbaiki ekonomi ini?
Tidak ada. Saya sudah 2 kali ketemu Pak Jokowi dan berdiskusi. Saya tidak menganggap solusi saya itu manjur dalam jangka pendek. Kalau dulu itu solusinya bagaimana cadangan devisa secepatmnya diisi. Caranya bisa dengan berutang. Bisa dengan IMF datang. Sekarang itu pasar lebih cerdas. Sekarang itu apa saja sudah bisa jadi gosip atau rumor. Misalnya amerika mau menaikkan suku bunga, baru mau saja dolar sudah menguat. Jadi sekarang semuanya serba ditabrak karena pengetahuan investor sudah sangat canggih dengan teknologi. Semua serba real time.