Suara.com - Belum lama ini Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (FK IPB) bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat mencatat kerugian akibat kebakaran lahan di Jambi sejak 2014 lalu sebesar Rp 50 triliun. Itu baru 1 provinsi.
Sedikitnya 350.000 hektare (ha) hutan gambut di Provinsi Jambi rusak berat. Hutan gambut yang rusak tersebut mencapai 50 persen dari sekitar 700.000 ha hutan gambut di dearah itu. Data versi Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riau di tahun 2015 menyebutkan kebakaran itu merugikan nilai ekonomi mencapai Rp 20 triliun. Itu hanya di Riau.
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sampai akhir, Minggu (20/9/2015) mencatat hutan yang terbakar Provinsi Riau, mencapai 2.643 hektar (ha), Kalimantan Barat 995,32 ha, Kalimantan Tengah 1.220,40 ha, Kalimantan Selatan 185,70 ha, Sumatera Selatan 476,57, dan Jambi 2.217 ha. Puluhan ribu orang mengalami gangguan saluran pernapasan akut (ISPA).
Pakar Perubahan Iklim dari Institut Pertanian Bogor, Profesor Rizaldi Boer menjelaskan saat tahun 1997 Indonesia juga dilanda kebakaran lahan kering yang sangat parah. Bahkan saat itu konsentrasi CO2 yang dikeluarkan mencapai 1 part per million (ppm). Saat ini kekeringan dan kebakaran itu sebanding saat tahun itu.
Sebuah penelitian dari Universitas Indonesia menyebutkan jika dahsyatnya kebakaran lahan yang melanda Provinsi Riau saat itu saja menimbulkan serangan asma sebanyak 15.984 kasus, serangan bronkitis pada anak 15.305 kasus, ISPA 75.606 kasus, kematian 30 kasus, penyakit saluran pernafasan yang dirawat di rumah sakit 3.815 kasus, dan kunjungan rawat jalan penyakit saluran pernafasan 8.838 kasus.
Selain kerugian ekonomi dan kesehatan, kebakaran lahan yang tengah terjadi saat ini bisa menimbulkan dampak yang jauh lebih besar. Menurut Rizaldi, kebakaran lahan ini berdampak langsung dengan ancaman perubahan iklim dunia. Perjalanan menuju perubahan iklim itu berdampak pada timbulnya cuaca ekstrim.
"Hilangnya tutupan hutan itu akan mempengaruhi keseimbangan energi wilayah Asia Tenggara atau iklim regional," jelas Rizaldi.
Rizaldi juga menjelaskan pemerintah mempunyai peranan besar dalam mencegah terjadinya cuaca ekstrim akibat kebakaran lahan dan hutan. Direktur Centre for Climate Risk Opportunity Management in Southeast Asia anda Pacific (CCROM-SEAP) itu mengkritik selama ini pemerintah hanya 'senang' memadamkan api daripada mencegah api itu membakar lahan dan hutan.
Seperti apa kengerian jika kebakaran lahan dan hutan ini tidak bisa diatasi oleh Pemerintah Indonesia? Apakah solusi jitu untuk mencegah kebakaran ini?
Berikut wawancara suara.com dengan Rizaldi Boer di Kampus IPB di Bogor, Jawa Barat pekan lalu:
Asap pekat melanda Sumatera dan Kalimantan akibat kebakaran lahan dan hutan. Seberapa besar pengaruh gelombang el nino menyebabkan kebakaran ini?
Sebenarnya yang terbakar itu bukan hutan, justru yang sering terbakar itu adalah semak belukar atau lahan pertanian tanaman semusim. Ini wilayah-wilayah yang terlantar atau pun lahan-lahan bekas tebas bakar atau lahan berpindah. Biasanya itu yang sering terjadinya pemicu kebakaran. Karena itu lebih mudah terbakar dibandingkan hutan yang masih hijau.
Lalu memang pengaruh el nino sangat besar, Karena el nino menyebabkan kemarau panjang di Indonesia. Atau kemarau yang kering sering sekali dan berasosiasi dengan fenomena el nilo.
El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut atau sea surface temperature di samudra Pasifik sekitar equator. Khususnya di bagian tengah dan timur atau sekitar pantai Peru. Karena lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, maka penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer yang pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim.
El nino yang sekarang ini sama kuatnya seperti yang terjadi pada 1997. Kebakaran lahan tahun 1997 itu yang paling besar yang pernah terjadi di indonesia. Di mana diperkirakan kontribusinya sama dengan 1 ppm konstrasi CO2-nya.
Jadi atnosfer kita kandungan CO2-nya sudah mencapai 400-500 ppm. Nah kebakaran saat itu menyumbang sama dengan 1 ppm, itu sangat besar. Saat itu kebakaran lahan dan hutan dikarenakan pembakaran dengan sengaja. Karena sistem tebas bakar ini sudah ada sejak zaman nenek moyang kita.
Sekarang ini keadaan semak belukar semakin luas. Banyak sekali hutan-hutan kita yang terdegradasi, rusak dan berubah jadi semak belukar. Saat kemarau panjang kawasan itu kering, jadi ketersediaan fuel itu banyak sekali. Pada saat terjadi pembukaan lahan dengan membakar. Maka saat siang sangat terik, api sulit dipadamkan. Apalagi dengan angin.
Makanya saat tahun-tahun el nino pasti meningkat dan kebakaran meluas ke mana-mana. Sehingga sulit dikendalikan.
Selain itu ada juga yang memanfaatkan situasi kering untuk membuka lahan dengan cepat. Karena itu yang paling mudah dan murah. Pada musim-musim normal membuka lahan dengan cara membakar nggak masalah. Tapi pada iklim kering, kebakaran bisa meluas dengan cepat dan tidak bisa dikendalikan.
Iklim normal itu seperti apa?
Petani biasanya melakukan tebas bakar pada bulan Juni-Juli, karena dia butuh kondisi yang kering. Kalau ilalang itu dibakar bisa cepat habis. Abu hasil bakar dipakai untuk pupuk. Setelah itu musim hujan dan api padam. Mereka langsung menanam. Musim hujan masuk pada Oktober atau November.
Dengan adanya el nino, musim hujan bisa mundur, Jadi kondisi kering sekali, sehingga hujan itu di bawah normal. Artinya kalau rata-rata ada sedikit hujan, tapi tahun ini sudah tidak ada sama sekali. Ada sedikit api saja, bisa memicu kebakaran.
Apalagi di wilayah gambut. Kalau di gambut tata airnya tidak dikelola dengan baik dan permukaan gambut kering sekali, api bisa menjalar di bawah. Kebakaran di bawah permukaan ini yang semakin sulit kita kembalikan. Ini menyebabkan memberikan konnstribusi emisi yang luar biasa.
Untuk saat ini di mana titik kebakaran yang paling parah?
Titik kebakaran ini sudah kita petakan dan bisa diakses dalam kebakaranhutan.or.id. Kita sudah bisa petakan itu untuk seluruh wilayah. Kawasan yang berwarna merah adalah yang paling parah kebakaran. Aplikasi kebakaranhutan.or.id ini juga dipakai untuk memprediksi kawasan rawan kebakaran lahan. Ini kita sebut sebagai peta kerentanan.
Tapi secara keseluruhan, wilayah rawan kebakaran ada di Riau, Seumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Jambi. Kerawanan bisa semakin tinggi jika pembangunan dengan melibatkan pembalakan hutan terus dilakukan.
Apa yang memicu kebakaran di sana?
Kalau kondisi kemarau yang agak kering, prakiraan hujan di bawah normal. Defenisi normal itu nilainya antara 0,85 sampai 1,15 dari nilai rata-rata. Kalau hujan rata-rata 100 -115 milimeter, dia masih dikatakan normal.
Pada musim hujan di bawah normal, ini kan kering sekali. Kalau kondisi sering itu bisa dikatakan iklim yang kondisif untuk kebakaran. Pada musim kemarau, awal musim hujannya juga mundur.
Kalau terjadinya el nino. El nino itu berproses di lautan pasifik. Ada sirkulasi udara. Saat terjadi el nino, suhu air laut di Pasifik itu panas, meningkat daripada biasa. Kalau penaikan nya sampai 1,5 derajat celcius itu masih lemah. Kalau penaikannya sudah 2 derajat celcius itu dikatakan sangat kuat. Kita sudah hampir mendekati 2 derajat. Gumpalan el nino ini terjadi di pasifik, tapi berakibat di Indonesia menjadi kering karena angin bergerak ke sana sehingga tidak ada hujan.
Dalam kondisi iklim normal, suhu permukaan laut di sekitar Indonesia umumnya hangat dan karenanya proses penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk. Hanya saja ketika fenomena el nino terjadi, saat suhu permukaan laut di pasifik equator bagian tengah dan timur menghangat. Justru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan suhu atau menyimpang dari biasanya. Akibatnya, terjadi perubahan pada peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia.
Sejak tahun 1950, suhu pasifik ini sudah tercatat. Khusus sampai Agustus kemarin, kenaikan suhu air pasifik di kisaran 1,58 derajat. Sehingga ini sudah dalam kategori tinggi.
Sampai kapan siklus el nino ini berakhir?
Saat ini hampir seluruh di Indonesia itu kering. Fenomena el nino ini istilahnya fase yang tidak akan pernah berakhir. Kalau dia sudah terbentuk, dia akan terus terbentuk dan tidak akan habis sampai siklusnya berakhir. El nino itu lamanya 8 sampai 16 bulan. Jadi bisa melewati tahun.
Akhir tahun ini diprediksi sudah mulai melemah. Tapi masih tinggi sampai dia kembali normal sampai Maret-april tahun depan. Tapi kalau hujan sudah mulai turun, tidak akan terpengaruh lagi. Jadi musim hujan kita tidak akan tertanggu.
Artinya kebakaran lahan ini bisa terjadi berulang?
Sebenarnya hal seperti ini sudah bisa diprediksi dan antisipasi. Tapi itu kan nggak mudah. Butuh koordinasi yang baik antar lembaga. Siapa yang bertanggungjawab. Kalau mengatasi kebakaran kalau sifatnya pencegahan itu harus dilakukan dengan serius. Apa sih faktor-faktor pendorong terjadinya kebakaran? Kalau banyak wilayah terlantar, mengapa program pemerintah tidak menaikkan status lahan itu?
Jika lahan yang terlantar itu diberikan izin, maka cenderung akan terjadi konflik Karena masyarakat juga mengklaim lahan itu. Di sisi lain masyarakt ingin mengolah itu juga nggak ada duit. Ini lingkaran setan yang nggak pernah selesai.
Pemerintah sudah mengetahui informasi itu, tapi tidak optimal dimanfaatkan. Seharusnya kalau ada sistem seperti ini, kita sudah harus beralih ke pencegahan. Padahal secara konsep sudah ada. Tapi sekarang Indonesia selalu bermain di tanggap darurat ini, kalau sudah terbakar, baru deh sibuk. Mengerahkan sekian ribu TNI, dan polisi. ini cost-nya besar sekali. Belum lagi kerusakannya. Seharusnya ini bisa digeser.
Sistem tebas bakar ini dilegalkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lalu bagaimana?
Tapi kita harus memahami apa sih faktor-faktor pendorong terjadi kebakaran. Mungkin mata pencarian masyakat satu-satunya pertanian, atau mungkin yang selalu dipakai itu tebas bakar.
Kalau memang ingin menggunakan tebas bakar, maka bulannya harus mundur mendekari musim hujan. Yang terbakar ini kan di lahan yang terlantar, bisa nggak pemerintah memberikan dukungan, lahan-lahannya. Banyak hal yang sudah bisa digunakan untuk antisipasi.
Dengan adanya sistem pencegah kebakaran ini diharapkan bisa membantu pemerintah daerah baik dalam mengarahkan program pembangunan mereka dan antisipasi. Bisa mengembangkan program jangka panjang pendek dan darurat. Kita harapkan dengan adanya sistem ini, bisa diubah menjadi pencegahan.
Sehingga anggaran yang keluar dari darurat bencana bisa dikembangkan ke sektor pembangunan. Tapi memang butuh usaha keras. Sistem ini sudah kita serahkan ke KLHK, mudah-mudahan bisa dioperasionalkan. Sekarang sudah diterima, tapi belum dioprasionalkan. Butuh banyak diskusi, keakurasian dan sebagainya. BMKG juga terlibat, melihat risikonya seperti apa.
Sampai saat ini berapa jumlah hutan yang habis karena kebakaran?
Angka pastinya sulit diduga. Tapi kebakaran hutan menjadi salah satu faktor yang deforestasi hutan. Tapi itu tidak besar, karena yang banyak kebakaran saat ini bukan hutan. Hutan yang terbakar itu biasanya merambat dari semak belukar. Sehingga pinggiran hutan itu terbakar. Kalau di tengah hutan rimba itu tidak mungkin terbakar. Karena sumber apinya nggak ada, kebasahannya tidak memungkinkan untuk terbakar.
Jadi hutan yang berkurang akibat terbakar tidak terlalu besar. Tapi kalau kita lihat dari rata-rata deforestasi hutan dari tahun 90-an sampai sekarang ada 0,9 juta hektar. Berapa persen akibat kebakaran? Itu tidak tahu.
Tapi yang 0,9 hektar itu yang jelas akibat kegiatan ilegal. Karena dari luas itu yang terbangun menjadi sawit, HTI atau pemukiman itu nggak sampai setengahnya. Setengahnya lebih, itu menjadi lahan yang tidak produktif. Itu luas sekali sampai 20 juta hektar. lalu kenapa itu tidak dimanfaatkan? Jadi banyak persoalan menahun kita nggak terselaikan. Padahal pemerintah sudah tahu itu, tapi penyelesaiannya nggak pernah tuntas.
Sejauhmana kebakaran lahan saat ini yang menutup Sumatera dan kalimantan mempengaruhi perubahan iklim secara global?
Ada perngaruhnya, tapi tergantung seberapa besar emisi yang dilepaskan. Kalau kita lihat, emisi global itu kan 9,9 giga ton karbon pertahun. Indonesia emisinya rata-rata 1,2 giga ton. Ini bersumber dari semua sektor, mulai dari industri, kehutanan, dan lain-lain. Dari kehutanan ini hampir setengahnya atau 0,6 gigaton. Dari 0,6 giga ton itu, ada 0,2 gigaton dari kebakaran. Itu besar. Ini 2 kali emisi sektor pertanian.
Kalau emisi dari kebakaran itu bisa diturunkan ini luar biasa. Jadi kalau sekarang 0,2 saja, Itu artinya 40 persen karbon yang dihasilkan. Sementara target penurunan emisi kita 26 persen Itu artinya tercapai dengan dengan membereskan kebakaran saja. Tapi itu nggak pernah beres-beres.
Indonesia menjadi rangking kesepuluh yang terbanyak menghasilkan emisi karbon. Sementara kontribusi Asia memberikan emisi karbon hampir 50 persen dari emisi dunia. Cina yang pertama, India, Indonesia, dan Jepang.
Lalu mengapa negara maju sering menakan Indonesia untuk menurunkan emisi karbon?
Karena kita ini negara tropis, dan nilai hutan tropis itu sangat berharga. Tidak hanya dalam konteks emisi karbon. Tapi juga biodiversity. Kemudian fungsi hutan menjaga stabilitas iklim regional.
Bayangkan kalau hutan kita hilang 100 ribu hektar, itu bisa mengubah iklim So’E atau di wilayah tertentu sudah terpengaruhi iklimnya. Kenapa? Hutan itu sangat berfungsi menjadi buffer (penyangga), energi matahari itu dipakai untuk memproses penguapan air, pemanasan udara dan pemanasan bumi. Tiga faktor itu menjadi pendukung.
Hutan itu mempunyai bio massa yang banyak, lalu diserap. Sehingga porsi pemanasan yang digunakan semakin besar, sehingga tersisa untuk pemanasan udara berkurang, kalau panas dari bumi ilang, maka porsi di udara dan air itu akan lebih banyak. Kalau semuanya panas, tekanan di atas itu berubah tekanan atmosfer berubah. Ini akan memperngaruhi gerakan angin yang membawa uap air. Kalau hutan semakin hilang, iklim lokal ini akan mejadi kacau. Itu bisa menyebabkan iklim ekstrim.
Hutan itu berfungsi menyerap CO2. CO2 itu mempengaruhi perubahan iklim global. Jadi suhu bumi ini menjadi panas. Deforestasi hutan juga bisa mempengaruhi keseimbangan energi. Terganggunya keseimbangan energ akan berpengaruh ke tekanan udara. Kalau hutan tropis ini terganggu, maka akan memrusak semua.
Selain indonesia, negara mana yang hutannya rentan terhadap perubahan iklim?
Semua hutan.
Indonesia menaikan target penurunan emisi karbon sampai 2030 sebesar 29 persen. Menurut Anda apakah ini bisa tercapai?
Kalau nggak dilakukan perubahan yang mendasar nggak akan tercapai lah. Harus dilakukan strategi mitigasi dari sisi energi. Bagaimana sumber energi terbarukan ditingkatkan, begitu juga energi laut kita. Sementara kita masih mengandalkan batubara untuk energi.
Pada pertemuan Konferensi Para Pihak tentang Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 yang digelar UNFCCC di Paris nanti kalau ingin menyelamatkan dunia, harus dengan komitmen bersama. Mustahil bisa diatasi. Intended Nationally-Determined Contribution (INDC) ini bukan sekadar janji. Tapi janji itu diniatkan.
INDC itu perlu komitmen antar sektor sebelum dilaksanakan. Nah di Indonesia ini yang komit siapa yang melaksanakan dan siapa yang bertanggungjawab. Ini kan problem. Pemerintah kan begitu merencanakan akan jelas sektor mana saja yang harus mengerjakan. Jangan sampai INDC sudah di-submit, jangan sampai ada sektor yang mengatakan tidak tahu tentang itu. Misal sektor industri.
Apakah dampak nyata perubahan iklim di kawasan?
Kalau lepas CO2 semakin banyak, itu akan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca. Sebesar apa yang dilepaskan. Dengan meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer, akan pempengaruhi pemanasan global. Itu akan mempengaruhi iklim. Akhirnya akan menyebabkan iklim yang berubah.
Yang ditakutkan adalah terjadinya iklim ekstrim yang sudah terjadi sebelumnya. Pada wilayah kering, bisa terjadi semakin kering. yang wilayah basah akan semakin basah. Hujan ekstrim yang akan terjadi 20 tahun sekali, ini 10 tahun sekali sudah terjadi. Sehingga intensitas bencana ini meningkat.
Negara lain juga mempunyai hutan dan sering terbakar, mengapa tidak disorot oleh negara-negara maju?
Karena tidak diekspose oleh media. Negara seperti Kanada, Australia, dan Amerika juga mempunyai banyak hutan yang terbakar. Hutan mereka habis. Tapi umumnya kebakaran itu karena alam. Misal petir atau pergesakan antara batang pohon yang sangat kering.
Tapi di Indonesia disorot karena pembakaran dilakukan secara sengaja. Itu fakta.
Apakah ada korelasi langsung kebakaran lahan yang saat ini terjadi bisa mempengaruhi perubahan iklim kawasan?
Kalau mengancam tata kehidupan, itu dampak langsung. Tapi adanya kebakaran yang sangat besar dan itu menuju pada ada banyak hutan yang semakin rusak atau mengarah pada tutupan hutan karena kebakaran hebat, itu bisa mempengaruhih iklim regional. Tapi seberapa besar? Itu harus dilihat lagi.
Artinya ada kemungkinan kebakaran hutan ini mengubah iklim kawasan?
Sangat bisa, kalau kebakaran tak terkendali dan semakin banyak hutan terbakar. Hilangnya tutupan hutan itu akan mempengaruhi keseimbangan energi wilayah Asia Tenggara atau iklim regional.
Sebab perubahan di sini mempengaruhi tempat lain juga. Ini karena sistem alam. Semisal el nino ini kan terjadinya ribuan km dari Indonesia, di lautan pasifik. Indonesia menjadi kering. Sementara di Amerika Selatan menjadi basah hingga terjadi cuaca ekstrim seperti hujan. Jadi nggak sesederhana yang kita berpikir. Alam ini saling terhubung, di sini rusak, di sana terkena dampak.
Biografi singkat Rizaldi Boer
Rizaldi Boer merupakan Direktur Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP). Ia juga sebagai dosen senior di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Dia sudah terlibat dalam banyak program penelitian iklim nasional dan internasional yang berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi.
Sejak 2008 ketika IPB didirikan CCROM SEAP, Prof. Boer sebagian besar melakukan penelitian analisis risiko iklim dan perubahan iklim. Dia telah terlibat dan telah menyebabkan sejumlah proyek nasional dan / atau regional pada variabilitas iklim dan perubahan iklim.
Dia memiliki pengalaman yang luas bekerja pada proyek konsultasi dengan organisasi internasional seperti GIZ (German Technical Cooperation), Bank Pembangunan Asia (ADB), ADPC (Asian Disaster Preparedness Center), APN (Jaringan Asia Pasifik untuk Riset Perubahan Global), GEF - UNEP dan International Research Institute untuk Iklim dan Masyarakat (IRI). Selain itu, ia ditugaskan oleh WMO sebagai ketua untuk RA V Kelompok Kerja Pertanian Meteorologi dan ditugaskan oleh UNFCCC sebagai reviewer ketersediaan utama gas rumah kaca dari negara Annex 1.
Boer juga sering diundang sebagai pembicara pada variabilitas iklim dan perubahan iklim dan instruktur di sejumlah kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan iklim. Prof. Boer juga staf pengajar di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor sejak 1987.