Prof. Rizaldi Boer: Kebakaran Lahan Sumatera Ancam Iklim Regional

Senin, 21 September 2015 | 07:00 WIB
Prof. Rizaldi Boer: Kebakaran Lahan Sumatera Ancam Iklim Regional
Prof. Rizaldi Boer. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sampai saat ini berapa jumlah hutan yang habis karena kebakaran?

Angka pastinya sulit diduga. Tapi kebakaran hutan menjadi salah satu faktor yang deforestasi hutan. Tapi itu tidak besar, karena yang banyak kebakaran saat ini bukan hutan. Hutan yang terbakar itu biasanya merambat dari semak belukar. Sehingga pinggiran hutan itu terbakar. Kalau di tengah hutan rimba itu tidak mungkin terbakar. Karena sumber apinya nggak ada, kebasahannya tidak memungkinkan untuk terbakar.

Jadi hutan yang berkurang akibat terbakar tidak terlalu besar. Tapi kalau kita lihat dari rata-rata deforestasi hutan dari tahun 90-an sampai sekarang ada 0,9 juta hektar. Berapa persen akibat kebakaran? Itu tidak tahu.

Tapi yang 0,9 hektar itu yang jelas akibat kegiatan ilegal. Karena dari luas itu yang terbangun menjadi sawit, HTI atau pemukiman itu nggak sampai setengahnya. Setengahnya lebih, itu menjadi lahan yang tidak produktif. Itu luas sekali sampai 20 juta hektar. lalu kenapa itu tidak dimanfaatkan? Jadi banyak persoalan menahun kita nggak terselaikan. Padahal pemerintah sudah tahu itu, tapi penyelesaiannya nggak pernah tuntas.

Sejauhmana kebakaran lahan saat ini yang menutup Sumatera dan kalimantan mempengaruhi perubahan iklim secara global?

Ada perngaruhnya, tapi tergantung seberapa besar emisi yang dilepaskan. Kalau kita lihat, emisi global itu kan 9,9 giga ton karbon pertahun. Indonesia emisinya rata-rata 1,2 giga ton. Ini bersumber dari semua sektor, mulai dari industri, kehutanan, dan lain-lain. Dari kehutanan ini hampir setengahnya atau 0,6 gigaton. Dari 0,6 giga ton itu, ada 0,2 gigaton dari kebakaran. Itu besar. Ini 2 kali emisi sektor pertanian.

Kalau emisi dari kebakaran itu bisa diturunkan ini luar biasa. Jadi kalau sekarang 0,2 saja, Itu artinya 40 persen karbon yang dihasilkan. Sementara target penurunan emisi kita 26 persen Itu artinya tercapai dengan dengan membereskan kebakaran saja. Tapi itu nggak pernah beres-beres.

Indonesia menjadi rangking kesepuluh yang terbanyak menghasilkan emisi karbon. Sementara kontribusi Asia memberikan emisi karbon hampir 50 persen dari emisi dunia. Cina yang pertama, India, Indonesia, dan Jepang.

Lalu mengapa negara maju sering menakan Indonesia untuk menurunkan emisi karbon?

Karena kita ini negara tropis, dan nilai hutan tropis itu sangat berharga. Tidak hanya dalam konteks emisi karbon. Tapi juga biodiversity. Kemudian fungsi hutan menjaga stabilitas iklim regional.

Bayangkan kalau hutan kita hilang 100 ribu hektar, itu bisa mengubah iklim So’E atau di wilayah tertentu sudah terpengaruhi iklimnya. Kenapa? Hutan itu sangat berfungsi menjadi buffer (penyangga), energi matahari itu dipakai untuk memproses penguapan air, pemanasan udara dan pemanasan bumi. Tiga faktor itu menjadi pendukung.

Hutan itu mempunyai bio massa yang banyak, lalu diserap. Sehingga porsi pemanasan yang digunakan semakin besar, sehingga tersisa untuk pemanasan udara berkurang, kalau panas dari bumi ilang, maka porsi di udara dan air itu akan lebih banyak. Kalau semuanya panas, tekanan di atas itu berubah tekanan atmosfer berubah. Ini akan memperngaruhi gerakan angin yang membawa uap air. Kalau hutan semakin hilang, iklim lokal ini akan mejadi kacau. Itu bisa menyebabkan iklim ekstrim.

Hutan itu berfungsi menyerap CO2. CO2 itu mempengaruhi perubahan iklim global. Jadi suhu bumi ini menjadi panas. Deforestasi hutan juga bisa mempengaruhi keseimbangan energi. Terganggunya keseimbangan energ akan berpengaruh ke tekanan udara. Kalau hutan tropis ini terganggu, maka akan memrusak semua.

Selain indonesia, negara mana yang hutannya rentan terhadap perubahan iklim?

Semua hutan.

Indonesia menaikan target penurunan emisi karbon sampai 2030 sebesar 29 persen. Menurut Anda apakah ini bisa tercapai?

Kalau nggak dilakukan perubahan yang mendasar nggak akan tercapai lah. Harus dilakukan strategi mitigasi dari sisi energi. Bagaimana sumber energi terbarukan ditingkatkan, begitu juga energi laut kita. Sementara kita masih mengandalkan batubara untuk energi.

Pada pertemuan Konferensi Para Pihak tentang Iklim (Conference of Parties/COP) ke-21 yang digelar UNFCCC di Paris nanti kalau ingin menyelamatkan dunia, harus dengan komitmen bersama. Mustahil bisa diatasi. Intended Nationally-Determined Contribution (INDC) ini bukan sekadar janji. Tapi janji itu diniatkan.

INDC itu perlu komitmen antar sektor sebelum dilaksanakan. Nah di Indonesia ini yang komit siapa yang melaksanakan dan siapa yang bertanggungjawab. Ini kan problem. Pemerintah kan begitu merencanakan akan jelas sektor mana saja yang harus mengerjakan. Jangan sampai INDC sudah di-submit, jangan sampai ada sektor yang mengatakan tidak tahu tentang itu. Misal sektor industri.

Apakah dampak nyata perubahan iklim di kawasan?

Kalau lepas CO2 semakin banyak, itu akan meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca. Sebesar apa yang dilepaskan. Dengan meningkatnya gas rumah kaca di atmosfer, akan pempengaruhi pemanasan global. Itu akan mempengaruhi iklim. Akhirnya akan menyebabkan iklim yang berubah.

Yang ditakutkan adalah terjadinya iklim ekstrim yang sudah terjadi sebelumnya. Pada wilayah kering, bisa terjadi semakin kering. yang wilayah basah akan semakin basah. Hujan ekstrim yang akan terjadi 20 tahun sekali, ini 10 tahun sekali sudah terjadi. Sehingga intensitas bencana ini meningkat.

Negara lain juga mempunyai hutan dan sering terbakar, mengapa tidak disorot oleh negara-negara maju?

Karena tidak diekspose oleh media. Negara seperti Kanada, Australia, dan Amerika juga mempunyai banyak hutan yang terbakar. Hutan mereka habis. Tapi umumnya kebakaran itu karena alam. Misal petir atau pergesakan antara batang pohon yang sangat kering.

Tapi di Indonesia disorot karena pembakaran dilakukan secara sengaja. Itu fakta.

Apakah ada korelasi langsung kebakaran lahan yang saat ini terjadi bisa mempengaruhi perubahan iklim kawasan?

Kalau mengancam tata kehidupan, itu dampak langsung. Tapi adanya kebakaran yang sangat besar dan itu menuju pada ada banyak hutan yang semakin rusak atau mengarah pada tutupan hutan karena kebakaran hebat, itu bisa mempengaruhih iklim regional. Tapi seberapa besar? Itu harus dilihat lagi.

Artinya ada kemungkinan kebakaran hutan ini mengubah iklim kawasan?

Sangat bisa, kalau kebakaran tak terkendali dan semakin banyak hutan terbakar. Hilangnya tutupan hutan itu akan mempengaruhi keseimbangan energi wilayah Asia Tenggara atau iklim regional.

Sebab perubahan di sini mempengaruhi tempat lain juga. Ini karena sistem alam. Semisal el nino ini kan terjadinya ribuan km dari Indonesia, di lautan pasifik. Indonesia menjadi kering. Sementara di Amerika Selatan menjadi basah hingga terjadi cuaca ekstrim seperti hujan. Jadi nggak sesederhana yang kita berpikir. Alam ini saling terhubung, di sini rusak, di sana terkena dampak.

Biografi singkat Rizaldi Boer

Rizaldi Boer merupakan Direktur Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and Pacific (CCROM-SEAP). Ia juga sebagai dosen senior di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Dia sudah terlibat dalam banyak program penelitian iklim nasional dan internasional yang berkaitan dengan adaptasi dan mitigasi.

Sejak 2008 ketika IPB didirikan CCROM SEAP, Prof. Boer sebagian besar melakukan penelitian analisis risiko iklim dan perubahan iklim. Dia telah terlibat dan telah menyebabkan sejumlah proyek nasional dan / atau regional pada variabilitas iklim dan perubahan iklim.

Dia memiliki pengalaman yang luas bekerja pada proyek konsultasi dengan organisasi internasional seperti GIZ (German Technical Cooperation), Bank Pembangunan Asia (ADB), ADPC (Asian Disaster Preparedness Center), APN (Jaringan Asia Pasifik untuk Riset Perubahan Global), GEF - UNEP dan International Research Institute untuk Iklim dan Masyarakat (IRI). Selain itu, ia ditugaskan oleh WMO sebagai ketua untuk RA V Kelompok Kerja Pertanian Meteorologi dan ditugaskan oleh UNFCCC sebagai reviewer ketersediaan utama gas rumah kaca dari negara Annex 1.

Boer juga sering diundang sebagai pembicara pada variabilitas iklim dan perubahan iklim dan instruktur di sejumlah kegiatan pelatihan yang berkaitan dengan iklim. Prof. Boer juga staf pengajar di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor sejak 1987.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI