Warsito Taruno: Lebih Bebas Jadi Peneliti Swasta daripada Negara

Senin, 14 September 2015 | 07:00 WIB
Warsito Taruno: Lebih Bebas Jadi Peneliti Swasta daripada Negara
Warsito Purwo Taruno. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tidak banyak peneliti seperti Warsito Purwo Taruno. Lelaki kelahiran Karanganyar, Jawa Tengah itu masih akif sebagai penemu sebagai alat-alat canggih di Indonesia tanpa bantuan dari uang negara sepeser pun.

Sejak berkuliah S2 di Shizouka University Jepang, Warsito sudah menghasilkan sedikitnya 7 penemuan di bidang fisika dan kimia sampai saat ini. Sementara ada 100 lebih publikasi penelitian di tingkat internasional.

Selama 12 tahun di Jepang dan 6 tahun di Amerika Serikat, tidak membuat Warsito lupa dengan Indonesia. Dia rela kembali ke Indonesia dan meniti karier sebagai peneliti dari nol. Dia memutuskan untuk menjadi peneliti swasta yang membangun perusahaan riset.

Warsito ingin berbebas berinovasi dan mengembangkan ciptaannya dengan modal sendiri. Dia juga mendapat bantuan dari swasta dan bantuan dari Ohio State University, Amerika Serikat. Warsito menghitung, jika menjadi peneliti di lembaga negara, dia tidak akan bebas menghasilkan penemuan-penemuan.

"Kebebasan, untuk peneliti itu adalah mutlak. Kebebasan berpikir. Makanya saya berpikir tempatnya itu di swasta," kata ayah 4 anak yang tinggal menetap di Kota Tangerang, Banten itu.

Salah satu penemuan terbesar Warsito adalah alat pembasmi sel kanker yang menjamin tingkat survival hampir 80 persen. Artinya tingkat harapan hidup penderita kanker hingga 80 persen. Itu sudah digunakan kepada 10 ribu pasiennya di Center for Tomography Research Laboratory (CTECH Labs) EdWar Technology, perusahaan riset yang dia dirikan sejak 2004 lalu.

Sampai saat ini Warsito masih melakukan riset untuk beberapa penemuannya, apa saja itu? Bagaimana kisah Warsito sebagai peneliti swasta Indonesia berkelas internasional yang berpenghasilan jutaan dolar?

Berikut wawancara suara.com dengan DR. Warsito Purwo Taruno, M.eng di kantornya di kawasan Alam Sutera, Tangerang Selatan pekan lalu:

Ada berapa jumlah penemuan Anda sampai saat ini?

Kalau yang terus bisa dipakai, pertama alat untuk pemindai pemprosesan minyak di Jepang atau bio reaktor. Reaktor itu mesin untuk  memproses zat kimia atau zat bio kimia. Kedua, alat untuk menghancurkan limbah dengan gelombang suara. Keduanya dipatenkan di Jepang. Ketiga, waktu di Amerika Serikat pengembangan sistem atau metode untuk memindai mesin pemprosesan minyak dengan menggunakan gelombang listik. Alat ini bisa melihat tembus pandang dalamnya mesin itu.

Keempat, metode algoritma dalam bentuk software komputer. Program itu untuk memproses citra bagaimana bisa mengubah gelombang menjadi citra di dalam objek itu. Lalu setelah saya balik ke Indonesia, saya membuat alat untuk sistem pemindai tabung gas Transjakarta. Alat ini bisa lihat objek di dalamnya sehingga mengetahui keadaan tabung gas berkarat atau tidak. Jika tabung gas berkarat, maka bisa meledak kapan saja. Karena tabung gas ini bertekanan tinggi.

Lalu saya membuat scaner atau alat pemindai otak manusia. Kondisi otak bisa terlihat dengan alat ini. Selanjutnya pengembangan dari alat itu adalah pemindai kanker payudara. Lalu alat untuk terapi kanker dan saat ini tengah dibuat aat scanner untuk seluruh tubuh.

Di luar penemuan alat itu, ada juga publikasi penelitian yang jumlahnya lebih dari 100 buah di tingkat nasional dan internasional. Semua tentang gelombang. Bagaimana gelombang itu bisa dipakai untuk melihat tembus pandang. Gelombang bisa pakai terapi dan menghancurkan limbah organik.

Bagaimana awal perjalanan Anda hingga menjadi peneliti dengan status 'penemu'?

Saya ingin jadi peneliti sejak kecil. Saya senang melihat bekerja di lab dengan memakai baju putih. Sekolah Dasar saya di dusun dekat Gunung Lawu. Saat itu tidak banyak peneliti. Nama yang terdengar hanya BJ Habibie.

Lalu saya bersekolah di Jepang dengan mendapatkan beasiswa dari BPPT tahun 1988 di Tokyo International Japanese School. Saya lanjut S2 dengan mengambil teknik Kimia di Shizouka University Jepang tahun 1992. Itu jurusan yang segala macam ada, saya belajar dari tentang proses kimia, mesin kimia, bahan kimia, elektronika, biokimia, sel, biologi dan kedokteran.

Teknologi kedokteran saya pelajari. Lalu gelar doktor saya dapat di bidang aplikasi elektronika dari Shizouka University Jepang tahun 1997. Saya sempat kerja di universitas itu. Lalu tahun 1999 pindah ke Amerika Serikat untuk bekerja di Ohio State University sampai tahun 2004.

Tidak banyak orang tertarik di dunia riset, apa yang membuat Anda tertarik?

Yang jelas, saya suka fisika dan matematika. Masuk ke teknik kimia, saya cenderung berpikir secara matematik dan fisika. Makanya saya konsentrasi ke bidang gelombang. Saya berfikir, dari gelombang itu bagaimana bisa diaplikasikan ke alat? Saya mencari riset yang mengembangkan konten seperti itu.

Saya berpikir ingin membuat alat yang membuat manfaat bagi banyak orang. Paling nggak alat itu tidak sia-sia, atau bisa dipakai di perusahaan dan industri. Saya berpikir sepeti itu.

Kemudian saya merasa ingin membayangkan ingin punya pekerjaan dan profesi yang memang aplikatif dari ilmu yang selama ini dipelajari. Makanya selama di Jepang dan Amerika saya penuh dengan riset.

Begitu balik di Indonesia bagaimana? Kalau masuk lembaga penelitian pemerintah, mungkin kesempatan untuk melakukan penelitian sesuai apa yang diinginkan, itu kemungkinan kecil. Terutama harus mengikuti lingkungan yang ada. Itu agak kurang cocok dengan saya. Karena saya akan masuk ke institusi yang harus mengikuti apa yang ada di situ kan. Belum tentu sesuai dengan yang digeluti selama 12 tahun di Jepang dan 6 tahun di Amerika Serikat.

Bagi saya, saat itu berpikir yang paling bagus dan sesuai dengan yang kita kerjakan harus seperti hobi. Jadi kondisi apapun seperti mengerjakan hobi. Bagaimana menyalurkan itu? Saya membangun riset di Indonesia mulai dari di sebuah ruko.

Sampai 2011 ada ruko di Modern Land, Kota Tangerang. Waktu itu belum mendirikan perusahaan, baru riset aja sendiri. Tidak ada institusinya, perusahaan garasi lah.

Yang dikerjakan tentang argoritma, karena itu yang hanya bisa dikerjakan dari sekian banyak pekerjaan. Kalau perlatan kan nggak mungkin, dana riset nggak ada. Yang bisa dikerjakan sendiri adalah membuat software, asal ada komputer. Saya link ke Amerika Serikat, kita kerjakan software di Indonesia. Saya dapat funding dari Amerika.

Di Jepang, seharusnya Anda mempunyai ruang lebih besar untuk menciptakan sebuah penemuan karena infrastruktur di sana lengkap, begitu juga di Amerika Serikat. Apa yang mendorong Anda pulang ke Indonesia?

Saya ingin pulang sejak tahun 1999, saat itu Indonesia tengah parah-parahnya. Karena kondisinya terlalu parah, saya ke Amerika. Karena ada tawaran pekerjaan. Tapi selama 12 tahun di Jepang, saya merasa itu sudah sangat bosan. Segala sesuatu sudah teratur.

Kalau saya berkarirnya sukses, saya kira tidak banyak hal yang bisa saya kerjakan untuk masyarakat luas. Di Jepang kan sudah ada semua, kita hanya mengerjakan satu titik di tengah lautan.

Waktu itu sempat ditawari jadi asosiate profesor itu posisi yang nggak gampang. Karena saya baru lulus dan orang asing. Setelah di sana 2 tahun. Saya ingin mencari sesuatu yang baru dan tantangan baru. Lebih terasa hidup daripada kemapanan itu sendiri.

Dan itu juga keputusan ke Indonesia juga begitu. Memang dari awalnyanya nggak mau lama di Amerika, maksimum 3 tahun tapi sampai 6 tahun. Itu terlalu lama. Itu juga yang menjadi alasan saya kembali ke Indonesia, meskipun saya tahu Indonesia itu berat. Tapi kalau saya tidak putuskan, saya tidak akan bisa memulai. Dari tahun 2003 sampai 2006, sebenarnya sudah separuh di Indonesia separuh di AS.
Saya di Indonesia dari nol. Dengan sengala sesuatunya segalanya. Sampai kemudian mencoba untuk mengembangkan sistem sendiri, membuat alat.

Anda mendirikan perusahaan riset, CTECH Labs EdWar Technology. Berapa modal yang Anda keluarkan?

Dari 2003 sampai 2010, kemungkinan saya menghabiskan sekitar 1 juta dolar Amerika Serikat. Dana itu sebagian dari project-project, terutama Amerika, Arab Saudi, dan Malaysia. Kemudian dari tabungan sendiri habis Rp1 miliar. Itu semua demi hobi.

Saya mendirikan Edwar tahun 2007, dimulai dari membuat alat pemindai kanker. Lalu yang booming itu penghancur sel kanker. Kita mengembangkan gelombang listrik untuk kesehatan.

Saat itu saya uji cobakan ke kakak saya yang sudah stadium 4 tahun 2010. Saat itu sudah tidak harapan. Saya sudah lama di riset gelombang. Di kalangan peneliti, gelombang itu bisa menghambat pertumbuhan sel. Alat ini mengalirkan gelombag listrik yang hanya mengganggu kelistrikan sel. Tapi sebelum ini, riset itu sudah ada di Israel.

Tapi di Israel menggunakan gelombang yang sama untuk menghambat sel kanker, akibatnya dia kurang pas bagaimana membuat gelombang yang benar. Nah kita tahu bagaimana caranya membangkitkan gelombang yang benar dan aman untuk kesehatan. Saya uji coba pada sel yang di lab. Setelah hasilnya bagus, ini sangat menjanjikan. Kakak saya sudah 5 tahun bertahan hidup karena tidak terdeteksi ada sel kanker.

Alat ini sudah dipakai di Jepang, Polandia, Singapore, Jerman, dan Amerika Serikat. India tengah penjajakan.

Bagaimana penjelasan medis alat pembasmi kanker itu?

Setelah pulang dari Amerika Serikat, saya mengajar di Fisika Medis Universitas Indonesia. Di sana fisika dan kanker bertemu. Bagaimana mengembangkan sistem untuk terapi dan diagnosa kanker.

Aliran listrik yang dipakai untuk terapi kanker itu mencapai 6 juta volt. Lalu untuk keperluan diagnosa atau pemindaian, itu mencapai 2.000 volt. Tapi alat pembasmi sel kanker ini di bawah 15 volt. Jauh lebih rendah.

Sel kanker yang ganas itu tingkat kelistrikannya tinggi. Sel itu mengeluarkan energi listrik. Sel akan berkembang sangat cepat ketika sel itu membelah. Saat sel membelah, kelistrikannya itu sangat tinggi. Saat itu kalau diganggu dengan gelombang listrik lain, sel akan terganggu dan menjadi berantakan. Sehingga sel itu hancur. Kalau listrinya rendah sel itu tidak mempengaruh. Jadi untuk memicu sel itu berantakan.

Beda dengan kemoterapi. Saat dikemo, selnya mati. Tapi tidak pecah. Kalau radiasi dengan gelombang 6 juta volt, dia terbakar tapi tidak pecah. Kemo itu racun sel, tapi yang kena bukan sel kanker saja. Sel di sekelilingnya juga kena. Maka itu kemo menyebabkan kerontokan. Kalau gelombang alat yang saya ciptakan ini, dia hanya bereaksi dengan sel yang listrinya sangat tinggi, saat sel membelah.

Alat ini bisa untuk semua, kanker otak, kanker darah dan kanker payudara.

Apa efek samping alat Anda ini?

Saat sel bereaksi dan pecah, pemakai alat ini akan merasa sakit seperti disentil-sentil. Dalam sedetik, ribuan sel yang pecah. Terbayang sakitnya.

Apakah jaminan 100 persen sembuh?

Tidak ada jaminan itu, tidak mungkin 100 persen sembuh. Karena itu harus dipakai terus menerus, untuk preventif. Menurut standar WHO, 5 tahun bisa dibilang sembuh.

Sampai saat tingkat survivalnya sampai 78 persen. Itu artinya seberapa besar bertahan hidup. Kalau dihitung, sekitar 2 persen orang yang bisa hidup dari kanker. Itu pun staium kanker awal.

Sudah berapa orang yang menggunakan alat Anda?

Sampai saat ini khusus di Indonesia 10.000 orang yang sudah pakai. Satu orang itu memerlukan sekitar 5 jenis alat. 1 set dijual Rp10 juta.

Mengapa Anda memilih menjadi peneliti yang berusaha? Bukankah lebih enak menjadi peneliti negara?

Kalau bergabung dengan negara, dananya terbatas dan tidak dijamin. Kita nggak bisa menerima dana dari tempat lain dan tidak bebas mengerjakan apapun. Bagi saya, yang paling berharga itu kebebasan. Sebagai peneliti itu adalah mutlak. Kebebasan berpikir. Makanya saya berpikir tempatnya itu di swasta.

Seberapa sulit menjadi peneliti di Indonesia?

Supaya peneliti bisa melakukan penelitian, kan harus konsentrasi dan tidak pikir lain-lain. untuk kasus di Indonesia, misalkan bisa hidup layak, itu saja nggak terjamin. Rata-rata gaji peneliti sekitar Rp5-6 juta untuk S1. Kalau segitu, dia nggak bisa terpenuhi kebutuhan dasarnya. Bagaimana bisa konsentrasi dengan penelitiannya?

Berikutnya bagaimana fasilitas riset. Di pemerintah saja berat menjamin itu. Di pemerintah itu bukan hanya alasan dana, karena GDP kita sudah sangat besar. Ini masalah cara mengatur uang saja. Saya menilai Indonesia tidak melihat penelitian sebagai sesuatu yang penting.

Seberapa banyak peneliti swasta di Indonesia?

Sedikit. Kurang dari puluhan di Indonesia. Karena sama sekali tidak mudah menjadi peneliti swasta. Sangat berat. Saya mencari dana sendiri dari sawasta. Saya tidak pernah menggunakan uang APBN sepeser pun. Makanya ini sangat berat.

Anda mempunyai lembaga sekaligus perusahaan riset sendiri, sudah banyak juga penemuan Anda. Apakah Anda sudah puas?

Belum. Mungkin sampai tahun 2012, hampir seluruhnya sudah saya ambil. Sekarang saya ingin membangun sistem sampai tahun 2017. Bagaimana kita membangun sistem yang disebut membangun pilar-pilar perusahaan. Jadi selama ini belum terbangun. Kita masih perusahaan start up

Cita-cita saya, orang bisa tersenyum mendapatkan harapan hidupnya kembali dari apa yang saya kerjakan. Secara pribadi, sudah tercapai. Tapi supaya itu benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas, itu perlu sistem.

Ada berapa banyak sumber daya manusia di perusahaan Anda?

Kita punya peneliti itu ada 50 orang. Mahasiswa yang mausk riset itu ada 25 orang. Para peneliti itu masih baru, mungkin baru 5 tahun. Sampai tahun 2010 kemarin kita baru punya 10 orang peneliti. Tapi untuk seluruh jumlah karyawan ada 150 orang. Para peneliti itu kerjanya riset aja, mengembangkan produk baru. Mereka dibayar full di sini.

Berapa omzet perusahaan riset Anda ini?

Omzet perusahaan sampai jutaan dolar setahun. Untuk ekspor tahun ini kemungkinan sampai 1 juta dolar. Biaya kita paling besar ke riset hampir sekitar 30 persen. Karena kita fokus bagaimana membangun masa depan. Jumlah itu tidak akan membayar modal yang sudah saya keluarkan sejak awal. Jadi perusahaan ini dibangun bukan untuk balik modal, karena tidak akan bisa.

Biografi Warsito Purwo Tarun

Warsito Purwo Taruno lahir di Karanganyar, 15 Mei 1967. Dia awalnya kuliah di Fakultas Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun dia mendapatkan beasiswa di Tokyo International Japanese School. Setelah itu, Warsito melanjutkan studi S2 di Shizouka University jurusan Chemical Engineering. Warsito mendapatkan gelar Ph.D Electronic Science and Technology dari universitas yang sama.

Kerja kerasanya selama puluhan tahun membuat Warsito meraih banyak penghargaan nasional dan internasional. Di antaranya Anugerah dari American Institute of Chemist Foundation Outstanding Post-doctoral Award tahun 2002. Warsito juga lulusan terbaik bidang kimia di Universitas Shizouka. Warsito disejajarkan dengan 16 ilmuwan Indonesia yang diberi kesempatan unjuk gigi di depan Douglas D. Osheroff, peraih Nobel Fisika 1996 yang berkunjung ke Indonesia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI