Anda mendirikan perusahaan riset, CTECH Labs EdWar Technology. Berapa modal yang Anda keluarkan?
Dari 2003 sampai 2010, kemungkinan saya menghabiskan sekitar 1 juta dolar Amerika Serikat. Dana itu sebagian dari project-project, terutama Amerika, Arab Saudi, dan Malaysia. Kemudian dari tabungan sendiri habis Rp1 miliar. Itu semua demi hobi.
Saya mendirikan Edwar tahun 2007, dimulai dari membuat alat pemindai kanker. Lalu yang booming itu penghancur sel kanker. Kita mengembangkan gelombang listrik untuk kesehatan.
Saat itu saya uji cobakan ke kakak saya yang sudah stadium 4 tahun 2010. Saat itu sudah tidak harapan. Saya sudah lama di riset gelombang. Di kalangan peneliti, gelombang itu bisa menghambat pertumbuhan sel. Alat ini mengalirkan gelombag listrik yang hanya mengganggu kelistrikan sel. Tapi sebelum ini, riset itu sudah ada di Israel.
Tapi di Israel menggunakan gelombang yang sama untuk menghambat sel kanker, akibatnya dia kurang pas bagaimana membuat gelombang yang benar. Nah kita tahu bagaimana caranya membangkitkan gelombang yang benar dan aman untuk kesehatan. Saya uji coba pada sel yang di lab. Setelah hasilnya bagus, ini sangat menjanjikan. Kakak saya sudah 5 tahun bertahan hidup karena tidak terdeteksi ada sel kanker.
Alat ini sudah dipakai di Jepang, Polandia, Singapore, Jerman, dan Amerika Serikat. India tengah penjajakan.
Bagaimana penjelasan medis alat pembasmi kanker itu?
Setelah pulang dari Amerika Serikat, saya mengajar di Fisika Medis Universitas Indonesia. Di sana fisika dan kanker bertemu. Bagaimana mengembangkan sistem untuk terapi dan diagnosa kanker.
Aliran listrik yang dipakai untuk terapi kanker itu mencapai 6 juta volt. Lalu untuk keperluan diagnosa atau pemindaian, itu mencapai 2.000 volt. Tapi alat pembasmi sel kanker ini di bawah 15 volt. Jauh lebih rendah.
Sel kanker yang ganas itu tingkat kelistrikannya tinggi. Sel itu mengeluarkan energi listrik. Sel akan berkembang sangat cepat ketika sel itu membelah. Saat sel membelah, kelistrikannya itu sangat tinggi. Saat itu kalau diganggu dengan gelombang listrik lain, sel akan terganggu dan menjadi berantakan. Sehingga sel itu hancur. Kalau listrinya rendah sel itu tidak mempengaruh. Jadi untuk memicu sel itu berantakan.
Beda dengan kemoterapi. Saat dikemo, selnya mati. Tapi tidak pecah. Kalau radiasi dengan gelombang 6 juta volt, dia terbakar tapi tidak pecah. Kemo itu racun sel, tapi yang kena bukan sel kanker saja. Sel di sekelilingnya juga kena. Maka itu kemo menyebabkan kerontokan. Kalau gelombang alat yang saya ciptakan ini, dia hanya bereaksi dengan sel yang listrinya sangat tinggi, saat sel membelah.
Alat ini bisa untuk semua, kanker otak, kanker darah dan kanker payudara.
Apa efek samping alat Anda ini?
Saat sel bereaksi dan pecah, pemakai alat ini akan merasa sakit seperti disentil-sentil. Dalam sedetik, ribuan sel yang pecah. Terbayang sakitnya.
Apakah jaminan 100 persen sembuh?
Tidak ada jaminan itu, tidak mungkin 100 persen sembuh. Karena itu harus dipakai terus menerus, untuk preventif. Menurut standar WHO, 5 tahun bisa dibilang sembuh.
Sampai saat tingkat survivalnya sampai 78 persen. Itu artinya seberapa besar bertahan hidup. Kalau dihitung, sekitar 2 persen orang yang bisa hidup dari kanker. Itu pun staium kanker awal.
Sudah berapa orang yang menggunakan alat Anda?
Sampai saat ini khusus di Indonesia 10.000 orang yang sudah pakai. Satu orang itu memerlukan sekitar 5 jenis alat. 1 set dijual Rp10 juta.
Mengapa Anda memilih menjadi peneliti yang berusaha? Bukankah lebih enak menjadi peneliti negara?
Kalau bergabung dengan negara, dananya terbatas dan tidak dijamin. Kita nggak bisa menerima dana dari tempat lain dan tidak bebas mengerjakan apapun. Bagi saya, yang paling berharga itu kebebasan. Sebagai peneliti itu adalah mutlak. Kebebasan berpikir. Makanya saya berpikir tempatnya itu di swasta.
Seberapa sulit menjadi peneliti di Indonesia?
Supaya peneliti bisa melakukan penelitian, kan harus konsentrasi dan tidak pikir lain-lain. untuk kasus di Indonesia, misalkan bisa hidup layak, itu saja nggak terjamin. Rata-rata gaji peneliti sekitar Rp5-6 juta untuk S1. Kalau segitu, dia nggak bisa terpenuhi kebutuhan dasarnya. Bagaimana bisa konsentrasi dengan penelitiannya?
Berikutnya bagaimana fasilitas riset. Di pemerintah saja berat menjamin itu. Di pemerintah itu bukan hanya alasan dana, karena GDP kita sudah sangat besar. Ini masalah cara mengatur uang saja. Saya menilai Indonesia tidak melihat penelitian sebagai sesuatu yang penting.
Seberapa banyak peneliti swasta di Indonesia?
Sedikit. Kurang dari puluhan di Indonesia. Karena sama sekali tidak mudah menjadi peneliti swasta. Sangat berat. Saya mencari dana sendiri dari sawasta. Saya tidak pernah menggunakan uang APBN sepeser pun. Makanya ini sangat berat.
Anda mempunyai lembaga sekaligus perusahaan riset sendiri, sudah banyak juga penemuan Anda. Apakah Anda sudah puas?
Belum. Mungkin sampai tahun 2012, hampir seluruhnya sudah saya ambil. Sekarang saya ingin membangun sistem sampai tahun 2017. Bagaimana kita membangun sistem yang disebut membangun pilar-pilar perusahaan. Jadi selama ini belum terbangun. Kita masih perusahaan start up
Cita-cita saya, orang bisa tersenyum mendapatkan harapan hidupnya kembali dari apa yang saya kerjakan. Secara pribadi, sudah tercapai. Tapi supaya itu benar-benar bermanfaat bagi masyarakat luas, itu perlu sistem.
Ada berapa banyak sumber daya manusia di perusahaan Anda?
Kita punya peneliti itu ada 50 orang. Mahasiswa yang mausk riset itu ada 25 orang. Para peneliti itu masih baru, mungkin baru 5 tahun. Sampai tahun 2010 kemarin kita baru punya 10 orang peneliti. Tapi untuk seluruh jumlah karyawan ada 150 orang. Para peneliti itu kerjanya riset aja, mengembangkan produk baru. Mereka dibayar full di sini.
Berapa omzet perusahaan riset Anda ini?
Omzet perusahaan sampai jutaan dolar setahun. Untuk ekspor tahun ini kemungkinan sampai 1 juta dolar. Biaya kita paling besar ke riset hampir sekitar 30 persen. Karena kita fokus bagaimana membangun masa depan. Jumlah itu tidak akan membayar modal yang sudah saya keluarkan sejak awal. Jadi perusahaan ini dibangun bukan untuk balik modal, karena tidak akan bisa.
Biografi Warsito Purwo Tarun
Warsito Purwo Taruno lahir di Karanganyar, 15 Mei 1967. Dia awalnya kuliah di Fakultas Teknik Kimia Universitas Gadjah Mada (UGM). Namun dia mendapatkan beasiswa di Tokyo International Japanese School. Setelah itu, Warsito melanjutkan studi S2 di Shizouka University jurusan Chemical Engineering. Warsito mendapatkan gelar Ph.D Electronic Science and Technology dari universitas yang sama.
Kerja kerasanya selama puluhan tahun membuat Warsito meraih banyak penghargaan nasional dan internasional. Di antaranya Anugerah dari American Institute of Chemist Foundation Outstanding Post-doctoral Award tahun 2002. Warsito juga lulusan terbaik bidang kimia di Universitas Shizouka. Warsito disejajarkan dengan 16 ilmuwan Indonesia yang diberi kesempatan unjuk gigi di depan Douglas D. Osheroff, peraih Nobel Fisika 1996 yang berkunjung ke Indonesia.