Hana Hikoyabi: Melawan Diskriminasi Perempuan di Papua

Senin, 07 September 2015 | 07:00 WIB
Hana Hikoyabi: Melawan Diskriminasi Perempuan di Papua
Hana Hikoyabi. (suara.com/Pebriansyah Ariefana)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Anda juga berhadapan dengan budaya di Papua yang 'tidak ramah' dengan perempuan. Budaya yang 'tidak ramah' dengan perempuan ini seperti apa?

Di Papua ada 250 lebih suku, saya Suku Sentani. Memang secara adat ada hal-hal tidak memberikan keberpihakan penuh ke perempuan. Seperti ada adat yang mengatur soal tata cara pertemuan para kepala adat, perempuan dan anak tidak boleh ada di dalam pertemuan itu karena rapat mereka berbau majic dan mistis. Mereka bicara dengan alam yang tidak boleh bersentuhan dengan anak dan perempuan.

Jika perempuan gadis ikut dalam rapat itu, maka akan mandul. Kalau anak-anak akan menjadi gila. Itu sampai sekarang ada. Perempuan juga tidak boleh mendengar siasat yang diatur di para-para adat. Tapi ada alasan logis mereka dilarang. Khusus untuk perempuan yang belum menikah, kalau dia kawin dengan lelaki di kampung sebelah. Perempuan itu bisa membuka rahasia siasat ke kampung sebelah. Itu maksudnya. Jadi alasan politis. Seharusnya ada skat yang boleh diketahui dan tidak karena alasan tadi.

Hal lain, dalam pembagian mas kawin. Dalam aturan keluarga, perempuan dapat lebih sedikit. Bahkan saat pembangian tanah, perempuan itu juga tidak dapat.

Perempuan tidak bisa jadi kepala desa di Papua dan tidak punya hak bicara. Dampaknya perempuan di sana minder, tidak berani bicara menyampaikan hak-haknya. Bahkan jika tersakini, mereka tidak berani bilang karena merasa tidak pantas dan ada di bawah.

Itu terbawa ke dalam birokrasi atau struktur pemerintahan daerah dan partai politik, perempuan tidak boleh banyak bicara. Di pemerintahan perempuan selalu ada di bawah. Hampir semua suku di Papua begitu.

Anda menggunakan media untuk memberi pemahaman soal hak-hak perempuan, bagaimana caranya?

Pastinya saya tidak masuk langsung ke para para adat. Karena mereka akan tersinggung. Kita menulis di media itu untuk membangun perspektif bersama. Saya membagikan tulisan itu ke kepala suku. Misal tulis tentang sagu, ikan dan motif. Tapi disisipkan kata-kata kunci.

Misalnya ada banyak makanan. Kaum lelaki pasti akan mendapatkan lebih banyak dari perempuan. Kita tulis, bagaimana bisa mendapatkan gizi? Kan perempuan harus mengurus anak. Kalau perempuan nggak makan sagu, daging yang banyak, bagaimana generasinya bagus? Siapa yang bantu untuk menanam sagu, bantu perang, dan bantu bangun rumah? Akhirnya kepala adat itu berpikir, kalau ini alasan yang masuk di akal dan bisa diterima.

Bahkan saya membuat kelompok tani untuk perempuan yang ditinggalkan kawin lagi oleh suaminya. Mereka nggak punya uang untuk kasih makan anak. Makanya mereka mengambil barang ke koperasi, dan dijual ke pasar. Lalu mereka mengambil untung selisih jual barang itu.

Tapi, ada juga peraturan adat yang sudah positif berpihak ke perempuan. Misal saya sudah menikah, saya dipukul suami dan saya kembali ke saudara lelaki saya. Kalau suami saya ingin mengambil saya untuk dibawa pulang, dia harus memberikan mas kawin seperti pernikahan pertama. Itu harus bawa babi, makanan, manik-manik. Harganya bisa sampai Rp10 juta.

Lainnya, di Wamena ada kebiasaan 'esek-esek atau kegiatan 'jumpa kawin'. Itu harus kita perangi. Tapi tidak langsung bilang "stop". Mereka bisa panah (bunuh) kita. Tapi kalau pelan-pelan lewat tulisan, lambat laun bisa berubah. Lewat media ini sarana positif. Suara advokasi ini bisa pengarui orang untuk baca.

Saat Papua menjadi otonomi khusus, Anda terpilih menjadi anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) yang salah satu tugasnya menjadi jembatan antara yang pro NKRI dan anti NKRI. Tapi Anda malah dituduh Anti NKRI oleh Kementerian Dalam Negeri. Mengapa tuduhan itu bisa dialamatkan ke Anda?

Tahun 2005 saya terpilih jadi anggota Majelis Rakyat Papua karena selam ini saya dianggap memperjuangkan nasib perempuan dan anak. Makanya saya didorong oleh para aktivis. Proses suara dari kampung, distrik dan kabupaten.

Lalu saat pencalonan kedua, tahun 2014, saya dikatakan anti NKRI tanpa alasan dan pembuktian. Saya sudah buat klarifikasi. Alasan dari Mendagri saat itu tidak setia pada pancasila, UUD. Mana buktinya? Sebagai MRP, representasi kultural dari rakyat Papua, keterwakilan satu kelompok masyarakat adat, agama dan perempuan.

Jumlah anggotanya masing-masing 14. Saya jadi wakil ketua II. MRP itu lembaga kultural yang memperjuangkan hal-hal orang-orang asli Papua. Ini perintah Undang-Undang Otonomi Khusus. Bagaimana mempertahankan itu? Itu kan harus ada Perdasus. Sebagai keterwakilan perempuan ada isu sensitif, mereka teriak isu merdeka. Lembaga ini menjadi penengah kepada yang suka NKRI dan yang tidak suka. Saya katakan saat itu mau merah atau hitam, Papua harus terus berdiri. Majelis tugasnya mengantarkan suara ini ke pemerintah.

Di Papua, lebih banyak yang tak suka atau yang suka pada NKRI?

Sepanjang kita nggak membuka saluran ini, membendung dan menutup, kan kita nggak bisa tebak di balik yang seberang sana (kelompok anti-NKRI). Makanya harus buka saluran dengan berdialog. Kita pernah diancam kalau nggak membawa suara mereka. Bahkan saat bersidang, mereka bawa parang dan tombak.

Artinya kelompok yang selama ini dianggap sebagai anti-NKRI seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) sering menitipkan suara mereka ke Anda?

Bukan hanya OPM, tapi orang Papua lain. Sampai saya dituduh bagian dari kelompok anti NKRI. Saya kerja benar di sini, kenapa harus takut. Apa yang saya tulis berkaitan dengan hak-hak perempuan. Karena kebijakan pemerintah belum berpihak kepada perempuan dan anak. Makanya kita advokasi. Mari bicara dengan damai, sudah cukup darah jatuh di tanah Papua.

Kita harus memberikan ruang, OPM harus bicara, untuk menjadi jalan tengah untuk dasar kemanusiaan. Itu tidak dilakukan, itu makin membuat gap yang makin jauh.

Atas apa yang Anda lakukan itu, Anda medapatkan SK Trimurti Award 2015. Ini penghargaan pertama yang didapat. Apa arti penghargaan ini?

Ini penghargaan yang pertama dari mana pun. Saya melihat dari advokasi yang kami lakukan lewat Tabloid dwi mingguan Suara Perempuan Papua yang yang sudah kami lakukan sejak 2004. Ada pengharagaan seperti itu, ini motivasi. Kami ucapkan terimaksih.

Ada catatan berharga untuk kami. Tapi ada sesuatu dukungan jurnalis secara langsung pada kami, teman-teman penggagas, pendiri dan loper koran. Ini membuat kita lebih tajam, kuat, membawa pesan suara masyarakat kaum yang termajinalkan, perempuan dan anak akan menjadi fokus pemberitaan kami. Tapi juga memotifasi Papua untuk memulai sebuah gagasa baru. Mari kita menulis agar suara itu bisa menyambung dari waktu ke waktu.

Saya tidak ingin tinggalkan Papua kalau masih banyak perempuan termajinalkan, bodoh, belum pintar menulis, belum bisa duduk di legislatif, belum punya hak kesehatan. Sampai kapan pun orang Papua itu Indonesia Raya.

Biografi Hana Hikoyabi:

Hana lahir di Jayapura, 7 Juni 1966. Perempuan anak keempat dari 8 bersaudara itu mempunyai 3 orang anak dari pernikahannya dengan Marthen Sarwom. Anak Hana ada yang bersekolah dan bekerja di Jakarta. Ibu dari Aprilia Sarwom, Soleman Sarwom, dan Jacki Sarwom itu lulusan ilmu keguruan pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Cenderawasih. Dia juga menyelesaikan pendidikan S2 di kampus yang sama namun mengambil Master Kebijakan Publik.

Empat tahun setelah lulus kuliah S1, Hana mendaftarkan diri sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS), dan dia diterima. Anak dari pasangan Soleman Hikoyabi dan Hermina Matui Hikoyabi itu ditempatkan di Lembaga Permasyarakatan Anak Kelas IIA Tangerang, Banten di tahun 1996 sampai 1998.

Sekembalinya ke Papua dia diangkat jadi PNS dan menjabat sebagai sekertaris pribadi Kepala Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Provinsi Papua. Dia berkarier sebagai PNS di Kanwil Dephukham sampai 2005.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI